Kamis, 17 Januari 2013

Pemberontakan Sakerah

Sakera adalah seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan, Jatim, Indonesia. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Sakera sadalah seorang jagoan daerah yang melawan penjajah Belanda di perkebunan tebu Kancil Mas Bangil. Legenda jagoan berdarah Bangil ini sangat populer di Jawa Timur utamanya di Pasuruan dan Madura. Sakera bernama asli Sadiman yang bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki Pak Sakera. Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda pimpinan ambisius perusahaan ini ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luas dengan harga semurah-murahnya.dengan cara yang licik orang belanda itu menyuruh carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan. Sakera melihat ketidak adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan berkali kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disana ia dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil. Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena. Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khasnya ‘Clurit’ ketika mencoba menangkap Sakera. Dengan cara yang licik pula polisi belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Goverment Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya degan pukulan bambu apus. Lagi-lagi belanda berhasil mertangkap kembali Pak Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung. Sakera gugur digantung di penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah paling selatan Kota Bangil).husnu mufid

Minggu, 06 Januari 2013

Jumenengan Raja Majapahit Bali

Dari Jumenengan ke 3 Raja Majapahit Bali di Istana Mancawarna Bali Kebangkitan Trah Tegeh Kori Kresna Kepakisan Upacara peringatan tahun ke-3 Jumenengan atau kenaikan tahta Raja/Ngadeg Ratu, Abhiseka Raja Majapahit Bali XIX Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan. diperingati kembali pada Senin, 31 Desember 2012, Istana Mancawarna Tampaksiring Bali. Berikut ini prosesinya dilaporkan posmo. Upacara pertama, diawali dengan Raja Yadnya yakni guru piduka tepat pulu 13 wib. Seluruh undangan yang terdiri dari para brahmana, tokoh masyarakat dan panitia menempati tempat yang telah disediakan. Mereka duduk bersila di teras dan halaman Istana Mancawarna. Suasanya berubah menjadi khusuk bernuansakan Hindu dan Siwa Bhudda. Tidak beberapa kemudian diadakan pembacaan Sloka Suci Kitab Hindu Weda Bhagawad Gita oleh Brahmana dan Raja Majapahit Bali Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Suyasa. Ketika kitab tersebut dibaca angin semilir datang, matahari bersinar dan langit cerah. Tapi hawa segar terasa di halaman Istana Mancawarna Tampaksiring Bali. Semua undangan yang hadir mendengarkan bacaan Sloka Kitab Bhagawad Gita dengan penuh perhatian. . Kemudian dilanjutkan dengan ritual upacara Agni Hotra. Dimana sejumlah Brahmana mengelilingi api dalam lingkaran batu bata merah sambil membacakan mantra suci yang ditujukan kepada Raja Majapahit Bali agar selamat dan sukses dalam menjalankan tugasnya membangkitkan kejayaan Majapahit serta damainya Indonesia. Upacara ritual ini benar-benar penuh dengan doa suci. Selanjutnya diadakan upacara penjamasan atau pencucian pusaka peninggalan kerajaan Majapahit di masa lalu maupun pusaka pusaka milik Raja Majapahit Bali. Pusaka tersebut dicuci dengan api agni hotra yang sedang menyala. I Gusti Ngurah Arya Wedhakarna Mahendradatta Suyasa III sebagai pencuci pusaka tersebut secara langsung. Semua undangan dan para Brahmana tertuju pada ritual pencucian pusaka tersebut. Upacara penjamasan diakhiri dengan memasukkan semua pusaka ke dalam Istana Mancawarna Tampak Siring Bali. Acara selanjutnya diadakan pelepasan burung merpati putih keudara oleh Raja Majapahit Bali. Kemudian dilanjutkan dengan upacara ritual Palukatan Agung. Dalam upacara ini Raja Majapahit Bali minum air beberapa kali dan disucikan dengan air suci dari Tirta Empul Tampaksiring dicampur dengan bunga warna warni. Salah satunya adalah bunga kamboja warna kuning putih. Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan diri dan sebagai simbol penghormatan pada Dewa Indra, raja dari Indraloka dan raja perang. Setelah dicuci dengan air Tirta Empul nampak cahaya pada wajah dan seluruh tubuh Raja Majapahit Bali. Mirip dengan Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit. Naik Kereta Kencana Usai pencucian diri kemudian dilanjutkan dengan upacara jumenengan dimana Raja Majapahit Bali menaiki Kereta Kencana Kyai Dalem Basuki Amangkunegara dan Kereta Kencana Kyai Panjenengan Segoro Kidul yang merupakan hibah dari Gusti Pangeran Mahkota Puro Mangkunegaran. Saat menaiki kereta kencana tersebut dilakukan ritual oleh seorang Brahmani. “Acara ritual jumenengan Raja Majapahit Bali ke 3 ini diperingati sebagai pertanda (cihna). Bahwa bumi Nusantara sebagai upasaksi agung dari perjuangan sosok pria yang bernama walaka, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III yang merupakan kebangkitan trah Dinasti Tegeh Kori Kresna Kepakisan,”ujar KRT Agus Santoso Adipati Anom Ronggolawe Tlatah Tuban.. Setelah berakhirnya acara ritual jumenangan, maka diadakan jamuan makan siang di Istana Mancawarna. Khas jamuan kerajaan Majapahit. Dalam jamuan makan ini diselingi pembicaraan tentang penemuan pusaka Bung Karno, penyerahan lukisan Raja Majapahit Bali dan rencara pembuatan Musiuk Majapahit. “Ya saya kedepan akan membangun Musium Majapahit. Hal ini saya lakukan demi bangsa dan negara. Mengingat banyak pusaka-pusaka Majaphit yang masih berserakan dan perlunya dikumpulkan kembali dalam satu musium,”ujar I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Suyasa III Raja Majapahit Bali. Jamuan makan kemudian ditutup dengan minum anggur khas Majapahit. Dimana minuman tersebut merupakan minuman para raja-raja Majapahit. Seluruh tamu undangan meminum bersama dan bergembira. HUSNU MUFID .

Sabtu, 05 Januari 2013

Walipitu di Pulau Bali 1

Menyongsong Ritual Ziarah Wali Pitu di Bali (1) Makamnya Dihormati Umat Hindu dan Islam Keberadaan wali bukan hanya di Pulau Jawa saja, melainkan di Pulau Bali pun ada sejumlah wali yang kini mulai banyak dikenal umat Islam. Siapakah sebenarnya wali-wali tersebut yang pada Jumat, Sabtu, Minggu, 22, 23, 24 Februari 2013 akan diziarahi peserta ziarah Walipitu posmo. Berikut ini laporannya. Pertama, Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat. Wali yang pertama bernama Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat, yang punya nama Bali, Ida Cokordo. Ia putra Raja Mengwi I yang menikah dengan seorang putri muslimah dari Kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kecil ia dibesarkan oleh ibundanya di Blambangan, setelah dewasa menemui ayahandanya, Raja Mengwi I. Syech Ahmad Hamdun Khoirussholeh alias Raden Mas Sepuh yang bernama kecil Pangeran Amangkuningrat. Sejak kecil, beliau diasuh oleh ibundanya, seorang muslimah asal Blambangan, Jawa Timur. Proses ditemukannya Makam Keramat Pantai Seseh dimulai sejak Jamaah Manaqib yang ada di Bali mendapat petunjuk, yaitu pada bulan Muharram 1413 H atau 1992 M yang kemudian ditemukan juga makam keramat yang lain. Makam ini terletak di Pantai Seseh, Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung yang berdampingan dengan Pura Agung di Tanah Lot. Jarak antara Pantai Seseh dan Jalan Raya Tabanan - Denpasar ± 15 km. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya juga dihormati oleh umat Hindu. Juru kuncinya bahkan seorang pemuka Hindu. Raden Amangkurat terkenal sakti mandraguna, namun tetap rendah hati dan pemaaf, terutama kepada musuh yang telah menyerah. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya di Pantai Seseh, Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung (berdampingan dengan Candi Pura Agung di Tanah Lot), juga dihormati oleh umat Hindu. Bahkan juru kuncinya adalah seorang pendeta Hindu. Karena terletak di pantai Seseh, makam ini juga terkenal dengan sebutan Makam Keramat Pantai Seseh. Kedua, Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi. Wali kedua ialah Syekh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi. Nasabnya diyakini bersambung sampai Rasulullah SAW. Untuk mencapai lokasi makam, para peziarah harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Mereka harus sangat hati-hati karena anak tangganya masih asli dari tanah, tanpa pagar atau pegangan tangan. Makam ini terletak di bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali, yang hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam, yaitu makam Habib Umar dan pengikutnya yang luasnya 4×4 meter. Makam ini sebenarnya sudah lama ada, namun menurut keterangan dari beberapa tokoh masyarakat setempat baru saja ditemukan sekitar 40-50 tahun berselang oleh seorang yang mencari kayu bakar di bukit Bedugul tersebut. Untuk mencapai makam tersebut, peziarah harus berjalan kaki mendaki kurang lebih 4 jam. Setiap Rabu terakhir bulan Safar, masyarakat setempat berbondong-bondong naik ke bukit berziarah di makam Habib Umar bin Yusuf Al Maghribi ini untuk memperingati wafatnya dengan mengadakan do’a bersama dan kenduri selamatan. Ketiga, Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid. Wali yang ketiga ialah Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid, yang makamnya terdapat di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Makam keramat ini terletak tak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan Pulau Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Di depan makam dibangun patung seorang tokoh bersorban dan berjubah menunggang kuda. Semasa hidupnya Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dhalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang raja menghadiahkan seekor kuda kepadanya sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju istana Klungkung. Suatu hari, pulang mengajar di istana, ia diserang oleh kawanan perampok. Ia wafat dengan puluhan luka di tubuhnya. Jenazahnya dimakamkan di ujung barat pekuburan Desa Kusamba. Malam hari selepas penguburan, terjadi keajaiban. Dari atas makam menyemburlah kobaran api, membubung ke angkasa, memburu kawanan perampok yang membunuh sang Habib. Akhirnya semua kawanan perampok itu tewas terbakar. Kaum muslimin setempat biasa menggelar haul Habib Ali setiap Ahad pertama bulan Syakban. Keempat, Makam Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al Hamid berada di tepi pantai di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, tidak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Semasa hidupnya, Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang Prabu menghadiahkan seekor kuda sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju puri Klungkung. Pada suatu hari, sewaktu Habib Ali pulang dari Klungkung dan sesampainya di pantai Kusamba, beliau diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dengan senjata tajam dan tewas di tempat. Akhirnya, jenazah beliau dimakamkan di ujung barat pekuburan Desa Kusamba. TIM POSMO

Walipitu di Pulau Bali 2

Menyongsong Ritual Ziarah Wali Pitu di Bali (3) Menyebarkan Islam di Lingkungan Istana Di Pulau Bali ternyata ada seorang wali wanita bernama Siti Khodijah. Perjuangannya memang cukup berat dalam menyebarkan agama Islam. Beliau rela mengorbankan nyawanya demi tegaknya agama Islam di Pulau Dewata. Siapakah wali tersebut. Berikut ini laporan posmo Dewi Khodijah adalah nama setelah beliau berikrar masuk agama Islam. Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai. Beliau adalah adik Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M. Pada waktu Raja Pamecutan tengah berperang, salah seorang prajurit dapat menahan seorang pengelana di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Orang yang ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan kepada Raja Pamecutan untuk diusut. Akhirnya diketahui bahwa dia adalah seorang senopati dari Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan, Lombok, namun perahu yang ditumpanginya diserang badai dahsyat yang membuat senopati Mataram tersebut terdampar di pantai selatan Desa Tuban. Beliau bernama Pangeran Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, sedangkan para pengiring atau punggawanya sebanyak 11 orang tiada kabar beritanya. Setelah diketahui bahwa tawanan tersebut adalah seorang senopati dari Mataram, Raja Pamecutan meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja Pamecutan menjanjikan, apabila perang telah usai dan kemenangan diraihnya, Pangeran Sosrodiningrat akan dinikahkan dengan adik Raja Pamecutan. “Kemudian Pangeran Sosrodiningrat bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang ada di medan perang tanpa memikirkan janji raja. Dia malah berpikir apakah mungkin dapat menikah dengan seorang putri yang beragama Hindu, sedangkan dirinya beragama Islam,” ujar Drs Husnu Mufid, MPdI, Ketua Panitia Ziarah Walipitu Bali. Setelah perang tersebut dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan, Pangeran Sosrodiningrat menikah dengan Ratu Ayu Anak Agung Rai (Dewi Khodijah). Setelah dipersunting oleh Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, Ratu Ayu Anak Agung Rai memeluk Islam dan bersungguh-sungguh menekuni dan melaksanakan ajaran Islam yang baru dipeluknya. Setelah beberapa tahun, musibah datang menimpanya. Pada suatu malam yang gelap, sewaktu Dewi Khodijah mengerjakan salat malam di kamar yang pintunya terbuka, secara tidak sengaja ia terlihat oleh punggawa raja yang sedang berjaga dan terdengar suara takbir “Allahu Akbar”. Yang didengar oleh punggawa bukanlah kalimat “Allahu Akbar”, melainkan “makeber” yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Sang punggawa memperhatikan semua gerakan salat yang dilakukan oleh Dewi Khodijah yang dinilai olehnya sebagai pekerjaan leak (orang jadi-jadian yang berbuat jahat). Sang punggawa langsung melaporkan kepada raja tentang keberadaan leak di kamar keputren. Raja akhirnya memerintahkan beberapa punggawa untuk mendatanginya. Memancarkan Sinar Saat melihat Dewi Khodijah sedang sujud, tanpa memikirkan risiko, para punggawa menyerbu dengan senjata terhunus dan menghujamkannya ke punggung Dewi Khodijah. Darah segar tersembur ke atas dari punggung Dewi Khodijah yang terkena ujung tombak. Bersamaan dengan itu, terjadilah keanehan yang luar biasa, darah segar Dewi Khodijah yang keluar dari punggungnya mengeluarkan cahaya terang kebiru-biruan dan dapat menembus dinding atap atas hingga keluar memenuhi udara dan memancarkan sinar yang menerangi istana Pamecutan. Seluruh kota Denpasar bahkan menjadi terang-benderang seperti siang hari. Semua penduduk terutama keluarga istana sangat terkejut, termasuk Raja Pamecutan. Bersamaan dengan itu, para punggawa melaporkan bahwa yang dibunuh bukan leak, melainkan orang biasa dan mengeluarkan darah. Saat itu, terdengar jeritan dengan ucapan “Allahu Akbar” hingga tiga kali. Jenazah Dewi Khodijah yang tertelungkup dengan tombak terhujam di punggungnya sulit diangkat dan dibujurkan. Tubuhnya bermandikan darah yang sudah membeku. Keluarga kerajaan yang ingin menolong mengangkatnya tidak dapat berbuat apa-apa. Jenazahnya tetap sujud tidak berubah. Baginda mencari bantuan kepada umat Islam yang ada di sana agar mau merawat jenazah adiknya menurut cara Islam. Umat Islam lalu segera membantu merawat jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menyalati, sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Meski demikian, satu hal yang tak dapat diatasi yaitu batang tombak yang menghujam di punggungnya tidak dapat dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak, jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang tombak yang terbuat dari kayu itu bersemi dan hidup sampai sekarang. Hal tersebut dapat dibuktikan apabila Anda berkunjung ke makam Dewi Khodijah. TIM POSMO

Walipitu di Pulau Bali 3

Menyongsong Ritual Ziarah Wali Pitu di Bali (4) Makamnya Tak Tersentuh Lahar Gunung Agung Makam wali-wali yang ada di Pulau Bali kini banyak didatangi peziarah dari Pulau Jawa. Mereka meyakini para wali bukan hanya Walisongo. Tapi Walipitu pun juga ada di Pulau Dewata. Tidak heran tiap hari banyak yang menziarahi. Bahkan telah menjadi wisata religi. Berikut ini laporan posmo. Keenam, Habib Syaikh Mawlana Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi. Wali kelima ialah Habib Syaikh Mawlana Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi. yang dimakamkan tidak jauh dari makam Habib Ali bin Zainal Al-Idrus di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Di atas makam tersusun batu bata merah tanpa semen yang tak terawat dan tampak sangat tua. Makam itu selamat dari amukan lahar Gunung Agung yang meletus dengan dahsyat pada 1963. Ketuju, Syaikh Abdul Qadir Muhammad. Wali yang keenam ialah Syaikh Abdul Qadir Muhammad, yang nama aslinya Thee Kwan Pau-lie, di Desa Temukus, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Penduduk menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rebu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing mengelar upacara menurut keyakinan masing-masing. ”Makam Keramat Karang Rupit terletak di Desa Temukus (Labuan Aji), Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Makam tersebut berada di tepi Jalan Raya Seririt. Berjarak ± 15 km dari Singaraja,”ujar Drs. Husnu Mufid,MPdI Ketua pantia. Kedelapan, Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih. Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur, Beliau lahir pada tahun 1890 di Banyuwangi. Menjelang usia 20 tahun, atau sekitar tahun 1910, Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya di Pondok pesantren di Jombang yang di asuh oleh Kyai Wahab Abdullah. Selain mendalami ilmu Al Quran di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.Jauh sebelum beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, Syiar Islam Juga beliau mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. Perjalanan ke Bali beliau lakukan perjalan ini atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah Syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih. Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah.Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya, maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Kini Makam beliau banyak di kunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang ke Loloan. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan fikih bagi syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali. Makam Habib Ali beralamat Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” TIM POSMO