Kamis, 23 Oktober 2014

Makam Syarifah Khodijah di Bangil




Kekeramatan Makam Cucu Sunan Gunung Jati di Bangil, Pasuruan, Jatim
Cikal Bakal Para Ulama Besar

Semasa hidup, Syarifah Khodijah kondang disebut Mbah Ratu Ayu dikenal sebagai sosok yang memiliki karomah besar. Beliau juga penyebar agama Islam yang militan di Kabupaten Pasuruan sekaligus sebagai cikal bakal sejumlah ulama besar di kabupaten tersebut. Tak pelak, setiap digelar haulnya yang jatuh pada bulan Rajab hari Ahad, Minggu kedua atau ketiga, makamnya selalu dibanjiri para peziarah yang sengaja datang dari berbagai daerah di tanah air. Mbah Ratu Ayu, siapa sejatinya beliau?

Data sejarah menyebut, beliau adalah cucu Maulana Sultan Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati yang makamnya berada di Cirebon, Jabar. Tak sama dengan sang bapak yang dikebumikan di Cirebon, Mbah Ratu Ayu, saat ajal menjemput jasadnya justru dikebumikan di Jatim. Persisnya di kawasan rest area Swadesi Kersikan, Bangil, Pasuruan.
Pastinya bukan tanpa alasan kalau sosok yang selama hidupnya dikenal sebagai cikal bakal dari sejumlah ulama besar di Kabupaten Pasuruan itu sampai dimakamkan di daerah itu. Posmo mendapat konfirmasi dari Kholik, juru kunci makamnya.
Pria ini berkisah, dimakamkannya Mbah Ratu Ayu di Bangil ini bermula ketika beliau dirundung rasa kangen yang teramat sangat kepada kedua putranya, Sayid Arifuddin atau Arif Segoropura dan Sayid Sulaiman Mojoagung. Kedua putranya itu tengah belajar ilmu agama di pondok pesantren milik Mbah Soleh Semendi di daerah Winongan, yang juga sebagai famili atau adiknya.
“Kemudian berangkatlah beliau ke sana. Tetapi dalam perjalanan pulang saat masih sampai di Bangil, beliau mendadak jatuh sakit dan akhirnya ajal menjemput. Dan jasadnya lalu dimakamkan di pemakaman di daerah yang sekarang disebut dengan Wetan Alun, karena memang letaknya di wetan (Bahasa Jawa yang artinya timur) dari alun-alun Bangil ini,” katanya.
Lama tak ada orang yang mengenali makamnya, hingga pada suatu saat, kata Kholik, ada seorang Habib bernama Ba’bud dari daearah Lawang, Malang, Jatim. Ya seperti telah mendapat firasat, sang habib mengunjungi makam Syarifah Khadijah. Setelah melihat sendiri keberadaan makam itu, sang habib yakin bahwa makam itu bukanlah pekuburan orang sembarangan, bahkan menurutnya itu makam seorang wali. Oleh sebab itu, untuk membedakan dengan makam-makam lain yang ada di sekitarnya, dibangunlah sebuah gedung untuk tetenger.

 

Miliki Karomah

Masih satu area dengan makam Syarifah Khadijah, adalah pekuburan Abdullah bin Abdurrahman, yang disinyalir dulu merupakan pembantunya saat beliau masih hidup. Selain itu, ada juga makam KH. Qosyim Muzammil dan satu makam yang terpisah dari bangunan persisnya di sebelah timur, ada makam Habib Qosim Basyaiban, yang berada dalam gedung tersendiri.
Menurut H. Nur, penduduk setempat, makam tersebut sudah ratusan tahun umurnya. Lantaran jasanya yang cukup besar semasa hidupnya, setelah wafat pun kebesaran karomah almarhum pun masih terus diburu oleh para peziarah. Ini terbukti saat datang haulnya yang digelar di bulan Rajab, hari Ahad, Minggu kedua atau ketiga, selalu dibanjiri oleh peziarah. Mereka datang dari berbagai daerah.
Dalam sejarah tutur yang diyakini akan kebenarannya oleh warga setempat, Syarifah Khodijah dikenal sebagai sosok waliyullah perempuan yang cukup mumpuni dengan karomahnya. Ada kisah menarik terkait dengan karomah almarhum. Suatu saat ada seorang pedagang yang kerap berziarah di makamnya. Imbas dari seringnya berziarah, dagangannya semakin hari tambah laris, rezekinya mengalir deras. Cerita lain, ada anak umur 12 tahun yang bisu sejak lahir, saat hadir pada perayaan haul Mbah Ratu Ayu, tiba-tiba mendapat mukjizat luar biasa, anak itu langsung bisa bicara. Cahya
// Boks Tersendiri //

// Silsilah Syarifah Khodijah dari Jalur Sunan Gunung Jati
1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW
2. Sayyidatina Fatimah Az Zahroh, RA
3. Sayyidina Husein bin Ali
4. Sayyidina Ali Zainal Abidin
5. Sayyidina Muhammad Baqir
6. Sayyidina Ja’far Shodiq
7. Sayyidina Ali Al Uraidhi
8. Sayyidina Muhammad Naqib
9. Sayyidina Isa
10. Sayyidina Ahmad Muhajir
11. Sayyidina Ubaidillah
12. Sayyidina Alwi
13. Sayyidina Muhammad
14. Sayyidina Alwi
15. Sayyidina Ali Kholi’ Qosam
16. Sayyidina Muhammad Shahib Mirbath
17. Sayyidina Alwi
18. Sayyidina Abdul Malik
19. Sayyidina Abdulloh Adzmat Khan
20. Sayyidina Ahmad Syah Jalal
21. Maulana Jamaluddin Akbar
22. Maulana Ali Nuruddin
23. Maulana Amiduddin Abdulloh
24. Syarif Hidayatulloh, sunan Gunung Jati Cirebon
25. Maulana Sultan Hasanuddin
26. Syarifah Khodijah (Ibu Sayyid Sulaiman Basyaiban) .Cahya

Kamis, 16 Oktober 2014

perang Diponegoro 4

Jejak Perang Jawa Pangeran Diponegoro (4)

Siasat Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo
Tak jauh dari Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu dan Surakarta di Magelang, Jawa Tengah, terdapat sebuah cungkup makam keramat yang dipercaya sebagai petilasan Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo. Berikut ini kisahnya.


Makam Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo berada di dekat Kali Progo yang mengalir di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro alias Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu Surakarta. Raden Ali Basah Sentot adalah salah satu Manggala Yudha Pangeran Diponegoro yang dikenal sakti mandraguna.
Selama ini, Makam Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo dipercaya berada di Bengkulu. Kisahnya berawal ketika Raden Basah itu bersiasat dan memilih menjadi tentara bayaran kompeni Belanda. Karena Pangeran Diponegoro telah ditangkap Belanda. Guna meneruskan perjuangan yang belum selesai.
Jika tetap melawan, maka sudah barang tentu akan ditangkap tentara Belanda. Oleh karena itu, ia pura-pura bersedia menjadi tentara bayaran Belanda guna mendapatkan senjata. Raden Ali Basah lalu dikirim ke Sumatra Barat dengan tugas melawan pemberontakan Padri. Tetapi pada kenyataannya Raden Ali Basah Sentot mendukung perjuangan kaum Padri. Hingga akhir hayatnya pada 17 April 1855, dimakamkan di Bengkulu.
Jauh sebelum terkena bujuk rayu kompeni Belanda, Raden Ali Basah Sentot merupakan salah satu senopati perang Pangeran Diponegoro yang sakti dan setia. Pada perundingan licik di Karisidenan Kedu, Raden Basah Sentot juga turut serta dalam rombongan. Menjadi lumrah, manakala kemudian tak jauh dari Karisidenen Kedu Surakarta tersebut terdapat makam yang dipercaya sebagai petilasan Raden Basah Sentot yang terkenal dengan sebutan Makom Mbah Basah.
Kendati hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari Karisidenan Kedu Surakarta, Makom Mbah Basah sulit ditemukan. Letaknya berada di sudut selatan timur Pedukuhan Kayuares, di bantaran Sungai Progo yang tersembunyi di balik hamparan luas persawahan desa setempat. Makom Mbah Basah terasa wingit, lantaran berada sendiri di tengah pojok desa yang sangat sepi. Sementara itu, pohon kamboja di belakangnya menghiasi cungkup makom yang berpagar keliling setinggi satu meter.
Petilasan Ali Basah Sentot dibuatkan nisan dan bertuliskan namanya dalam huruf aksara Jawa. Sementara itu di pagar bagian depan cungkup makam bertuliskan nama sang juru kunci makam, Mbah Narko Bilowo. Memandang keluasan kompleks Makam Mbah Basah di pekarangan kosong yang rimbun oleh semak dan pepohonan liar, membuat suasana pengepungan Belanda ketika terjadi proses perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Jenderal De Kock bisa terasakan. Sangat mungkin, jika kemudian di tempat itu ada petilasan Raden Ali Basah Sentot yang ketika dalam perundingan memang turut serta mengiringi keberangkatan Pangeran Diponegoro.
Masih jarang orang mengetahui keberadaan Makom Mbah Basah. Warga setempat menyebutnya makom, yang berarti petilasan dan bukan makam yang berarti kuburan. Menurut Mbah Narko, Makom Mbah Basah ditemukan secara tidak sengaja. Ketika itu tahun 1968, ada seorang warga setempat bernama Mbah Wiryo yang tak berani pulang ke rumah lantaran kalah berjudi.
Karena takut pulang, Mbah Wiryo memilih tidur di bawah pohon beringin besar di pinggir desa. Saking lelahnya, di tempat yang sebenarnya cukup membuat bulu kuduk merinding itu Mbah Wiryo terlelap tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, Mbah Wiryo seperti mendengar suara yang menyuruhnya pulang dan bertobat.

Batu Pasujudan
Pada lain waktu, kejadian aneh kembali terjadi. Salah seorang warga kesurupan dan meminta diantarkan ke lokasi Makom Mbah Basah. Akibat kejadian itu, Mbah Wiryo lalu meyakini tempatnya bermalam ketika kalah berjudi memang merupakan petilasan tokoh sakti. Lalu dari kontak batin diketahui tempat itu merupakan petilasan Raden Basah Sentot Prawiryodirjo.
Mbah Wiryo kemudian memberinya tanda dengan membangunkan cungkup kecil dan dikeramatkan. Sejak itu, banyak orang berdatangan untuk bertirakat menyampaikan ujub. Dari sekian pelaku tirakat yang kabul ujubnya, dibangunlah petilasan Mbah Basah seperti yang terlihat sekarang.
Mbah Narko mengatakan, tak ada pantangan untuk bertirakat di Makom Mbah Basah. Namun permintaan jelek seperti meminta nomor togel atau berjudi bisa mendatangkan walat. Menurutnya, sudah banyak pelaku tirakat yang meminta ujub perjudian berakhir dengan malapetaka.
Kendati sampai kini masih banyak orang laku tirakat di Makom Mbah Basah, namun jarang warga di desa itu yang mengetahui keberadaan makom. Warga setempat lebih mengetahui tentang keberadaan watu pasujudan, yang berada di tengah aliran Kali Progo di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro.
Watu Pasujudan itu dianggap aneh lantaran ketika banjir besar batu tersebut tidak tenggelam. Namun warga kini sudah mengetahui, tidak tenggelamnya watu pasujudan itu karena memang batu itu merupakan dataran kecil di tengah aliran Sungai Progo. Batu itulah petilasan Pangeran Diponegoro, yang ketika menjelang perundingan dibangun gubuk untuk bersembahyang. Batu itu sampai kini juga masih ada, dan hanya sejumlah orang tertentu yang berani laku tirakat di atas batu tersebut. KOKO T.



Perang Diponegoro 3

Jejak Perang Jawa Pangeran Diponegoro (3)
“Museum Karisidenan
Kedu Diyakini Keramat”

Karisidenan Kedu tempat berlangsungnya perundiungan licik antara Belanda dan Pangeran Diponegoro, kini menjadi museum. Meja kursi perundingan masih utuh, juga bale-bale tempat Diponegoro menjalankan sholat. Juga jubah kuning dan kain putih surban Diponegoro masih dijaga kekeramatannya. Setiap pengunjung yang hendak masuk ke dalam ruang bekas perundingan itu diharuskan melepas alas kaki. Jika tidak, dipastikan pengunjung bisa mendapat petaka.

SESUDAH menjadi museum, Karisidenan Kedu diberi nama Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro. Berada di sebelah Kantor Bakorwil II yang meliputi daerah Kedu dan Surakarta Jawa Tengah. Staf Bakorwil Kedu dan Surakarta, Subiyanto, kepada posmo menjelaskan, Badan Koordinasi Wilayah Kedu dan Surakarta fungsinya adalah membantu kerja Gubernur Jawa Tengah di wilayah Kedu dan Surakarta. Namun karena museum Diponegoro juga berada satu komplek, Bakorwil juga turut menangani kepengurusannya.
Subiyanto mengakui, Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro memang masih dipercaya keramat. Di dalamnya terdapat jubah kuning dari kain santung yang dikenakan Pangeran Diponegoro ketika mengikuti perundingan. Juga kain putih bekas surban Pangeran Diponegoro masih ada. Keduanya dilindungi dengan dibuatkan almari kaca. Demikian pula dengan sejumlah cangkir dan teko serta dua buah kitab tharib. Sementara itu, meja kecil perundingan juga masih dibiarkan apa adanya. “Masih bisa dilihat di pojok kanan kiri meja itu, ada bekas goresan jari Pangeran Diponegoro ketika menahan amarah dalam proses perundingan itu”, katanya.
Kecuali itu, juga masih tersimpan bale.bale tempat Pangeran Diponegoro menjalankan ibadah sholat dan lukisan foto proses penangkapan Pangeran Diponegoro dan lukisan Pangeran Diponegoro menunggang kuda. Selama ini, kata Subiyanto, tidak ada satu pun pengunjung yang berani masuk tanpa melepas alas kaki. Bagaimana un, katanya, kamar itu masih keramat.
Seperti diketahui, perundingan yang berlangsung curang itu terjadi pada tanggal 28 Maret 1830. Pawit, petugas jaga museum kepada posmo menjelaskan, pada akhir bulan Februari 1830, sebenarnya Jendral de Kock sudah tiba di Magelang. Tetapi karena pada bulan itu masih bulan Ramadhan, Pangeran Diponegoro tak bersedia datang. Lalu diputuskan pada tanggal 25 Maret. Pangeran Diponegoro berangkat ke Magelang menaiki kuda Kiai Gentayu, diiring oleh istri selirnya yang setia, RAy Ratnaningsih dan putranya RM Raab, dan seorang penasejatnya bernama Kiai Baddarudin. Keberangkatan Pangeran Diponegoro itu disertai 100 pasukan.

Akhir Perang Jawa
Pawit mengatakan lagi, ruang yang digunakan untuk perundingan itu adalah ruang kerja Jendral de Kock. Dan, dalam perundingan itu putra Pangeran Diponegoro diperkenankan mengikuti jalannya perundingan. Sementara itu di pihak Belanda, ada Residen Kedu bernama Mayor Ajudan de Strure, Letkol Roest dan Kapten Roest. Sebenarnya, kata Pawit, sebelum perundingan itu berlangsung Belanda sudah sepakat berjanji untuk membiarkan Kanjeng Pangeran Diponegoro pulang dengan aman jika tidak ditemukan kata sepakat. Beberapa kesepakatan di antara Jendral de Kock sebelum perundingan itu berlangsung adalah, selama perundingan di Magelang Pangeran Diponegoro tetap dalam keadaan bebas dan merdeka, jika dalam perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, Pangeran Diponegoro bebas kembali ke tempat yang dikehendaki untuk melanjutkan peperangan, dan selama perundingan Pangeran Diponegoro tidak akan menambah jumlah pasukannya, begitu pula sebaliknya.
Namun seperti diketahui bersama, kata Pawit, Belanda ingkar janji. Ketika Pangeran Diponegoro tak mau menyudahi perang dan menuntut kemerdekaan murni, Jenderal de Cock memberi kode agar pasukan Belanda merangsek masuk ke dalam ruang perundingan dan menangkap Pangeran Diponegoro. Maka, tertangkaplah Pangeran Diponegoro yang kemudian langsung dibawa ke Ungaran. Lalu, pada hari yang sama itu pula Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Gedung Karesidenan Semarang.
Pawit mengatakan, pada tanggal 5 April 1830 Pangeran Diponegoro dipindahkan lagi ke Benteng Batavia dengan menggunakan Kapal Pollux. Setibanya di Batavia pada tanggal 11 April 1830, Pangeran Diponegoro ditahan di Stadhuis yang sekarang ini menjadi Museum Fatahillah. Pada tanggal 30 April 1830, sambung Pawit lagi, Gubernur Jenderal Van Den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan dan Pangeran Diponegoro pun diasingkan ke Sulawesi sampai wafatnya. “Bangunan Residen Kedu ini sengaja dipertahankan untuk melestarikan nilai sejarahnya. Memang, sejumlah bangunan sudah banyak yang dipugar, seperti mushola yang kini sudah dibangun masjid besar di utara museum. Namun semua koleksi yang ada di museum tersebut semuanya adalah merupakan barang peninggalan Pangeran Diponegoro semasa berada di Karesidenan Kedu”, pungkasnya.

Petilasan Raden Basah Sentot Dikenal Gawat
Tak jauh dari Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu dan Surakarta di Magelang, Jawa Tengah, terdapat sebuah cungkup makam keramat yang dipercaya sebagai petilasan Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo. Makam itu berada di dekat Kali Progo yang mengalir di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro alias Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu Surakarta. Raden Ali Basah Sentot adalah salah satu manggala yudha Pangeran Diponegoro yang dikenal sakti mandraguna.
Selama ini, Makam Raden Ali Basah Sentot Prawirodirjo dipercaya berada di Bengkulu. Kisahnya berawal ketika Raden Basah itu membelot dari Pangeran Diponegoro, dan memilih menjadi tentara bayaran kompeni Belanda. Raden Ali Basah lalu dikirim ke Sumatera Barat dengan tugas melawan pemberontakan Padri. Permintaan Raden Basah untuk kembali ke Jawa sesudah selesai Perang Padri tak dikabulkan oleh Belanda. Lalu ketika wafat pada 17 April 1855, Raden Basah dimakamkan di Bengkulu.
          Jauh sebelum terkena bujuk rayu kompeni Belanda, Raden Ali Basah Sentot merupakan salah satu senopati perang Pangeran Diponegoro yang sakti dan setia. Pada perundingan licik di Karisidenan Kedu, Raden Basah Sentot juga turut serta dalam rombongan. Menjadi lumrah, manakala kemudian tak jauh dari Karisidenen Kedu Surakarta tersebut terdapat makam yang dipercaya sebagai petilasan Raden Basah Sentot yang terkenal dengan sebutan Makom Mbah Basah.
          Kendati hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari Karisidenan Kedu Surakarta, Makom Mbah Basah sulit ditemukan. Letaknya berada di sudut selatan timur pedukuhan Kayuares, di bantaran Sungai Progo yang tersembunyi di balik hamparan luas persawahan desa setempat. Makom Mbah Basah terasa wingit, lantaran berada sendiri di tengah pojok desa yang sangat sepi. Sementara itu, pohon kamboja di belakangnya menghiasi cungkup makom yang berpagar keliling setinggi satu meter.
          Petilasan Ali Basah Sentot dibuatkan nisan dan bertuliskan namanya dalam huruf aksara Jawa. Sementara itu di pagar bagian depan cungkup makam bertuliskan nama sang juru kunci makam, Mbah Narko Bilowo. Memandang keluasan komplek Makam Mbah Basah di pekarangan kosong yang rimbun oleh semak dan pepohonan liar, membuat suasana pengepungan Belanda ketika terjadi proses perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Jendral De Kock bisa terasakan. Sangat mungkin, jika kemudian di tempat itu ada petilasan Raden Ali Basah Sentot yang ketika dalam perundingan memang turut serta mengiringi keberangkatan Pangeran Diponegoro.

Dikenal Angker
          Masih jarang orang mengetahui keberadaan Makom Mbah Basah. Warga setempat menyebutnya makom, yang berarti petilasan dan bukan makam yang berarti kuburan. Menurut Mbah Narko, Makom Mbah Basah ditemukan secara tidak sengaja. Ketika itu tahun 1968, ada seorang warga setempat bernama Mbah Wiryo yang tak berani pulang ke rumah lantaran kalah berjudi. Karena takut pulang itu, Mbah Wiryo memilih tidur di bawah pohon beringin besar di pinggir desa. Saking lelahnya, di tempat yang sebenarnya cukup membuat bulu kuduk merinding itu Mbah Wiryo terlelap tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, Mbah Wiryo seperti mendengar suara yang menyuruhnya pulang dan bertobat.
Pada lain waktu, kejadian aneh kembali terjadi. Salah seorang warga kesurupan dan meminta diantarkan ke lokasi Makom Mbah Basah. Akibat kejadian itu, Mbah Wiryo lalu meyakini tempatnya bermalam ketika kalah berjudi memang merupakan petilasan tokoh sakti. Lalu dari kontak batin diketahui tempat itu merupakan petilasan Raden Basah Sentot Prawirodirjo. Mbah Wiryo kemudian memberinya tanda dengan membangunkan cungkup kecil dan dikeramatkan. Sejak itu, banyak orang berdatangan untuk bertirakat menyampaikan ujub. Dari sekian pelaku tirakat yang kabul ujubnya, dibangunlah petilasan Mbah Basah seperti yang terlihat sekarang.
          Mbah Narko mengatakan, tak ada pantangan untuk bertirakat di Makom Mbah Basah. Namun permintaan jelek seperti meminta nomor togel atau berjudi bisa mendatangkan walat. Menurutnya, sudah banyak pelaku tirakat yang meminta ujub perjudian berakhir dengan malapetaka. Kendati sampai kini masih banyak orang laku tirakat di Makom Mbah Basah, namun jarang warga di desa itu yang mengetahui keberadaan makom. Warga setempat lebih mengetahui tentang keberadaan watu pasujudan, yang berada di tengah aliran Kali Progo di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro.
Watu Pasujudan itu dianggap aneh, lantaran ketika banjir besar batu tersbut tidak tenggelam. Namun warga kini sudah mengetahui, tidak tenggelamnya watu pasujudan itu karena memang batu itu merupakan dataran kecil di tengah aliran Sungai Progo. Batu itulah petilasan Pangeran Diponegoro, yang ketika menjelang perundingan dibangun gubuk untuk bersembahyang. Batu itu sampai kini juga masih ada, dan hanya sejumlah orang tertentu saja yang berani laku tirakat di atas batu tersebut. KOKO T.


Perang Diponegoro 2


Perang Diponegoro 2
Perang Besar Berakhir Licik
Banyak pakar sejarah mengakui, Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro merupakan perang rakyat pribumi melawan penjajah Belanda yang paling gemilang di awal abad XIX. Selama dalam kurun waktu 5 tahun, lebih dari 200.000 penduduk Jawa, 8.000 serdadu Belanda dan 7.000 prajurit pribumi tewas menjadi korban. Perang Diponegoro juga menyisakan kisah kesaktian sang pangeran dan para panglimanya.
Kedahsyatan Perang Diponegoro, telah menimbulkan begitu banyak kerugian di pihak Belanda. Laskar Diponegoro menjadi pasukan pribumi yang tidak terkalahkan. Tetapi, politik kotor Belanda menyudahinya. Secara tidak terhormat, Belanda menjebak Pangeran Diponegoro dalam sebuah perundingan di Karisidenan Kedu Surakarta, Magelang, Jawa Tengah. Tetapi sebelum penjebakan itu terjadi, pengkianatan yang melemahkan kekuatan perang Pangeran Diponegoro juga terjadi. Dua senopati perang Diponegoro yang paling gagah, Kiai Mojo dan Raden Ali Basah Sentot Prawirodirjo berkhianat.
          Ki Roni Sodewo mengatakan, semasa dalam perang itu seluruh keuangan yang diperlukan dipegang dan diatur oleh Pangeran Diponegoro. Suatu ketika, Raden Ali Basah Sentot meminta agar diperkenankan untuk memungut upeti sendiri dari rakyat dan menggunakannya untuk keperluan perang. Namun, pada kenyataannya Raden Basah justru lebih sering menarik upeti ketimbang memikirkan peperangan. “Belanda yang mengetahui lalu menangkapnya. Tetapi, Belanda yang licik menawari Raden Basah gaji yang besar, jika mau berperang di pihaknya. Raden Basah menyanggupi dan dikirimlah Raden Basah ke Bengkulu untuk memerangi pasukan Padri. “Tetapi, dalam perang itu Raden Basah juga membelot dan justru bergabung dengan Pasukan Padri. Jadi, Raden Basah itu mendapatkan gelar pahlawan nasional karena membela Padri. Namun dengan Pangeran Diponegoro, Raden Basah berkhianat”, kata Ki Roni.
           Sementara itu Kiai Mojo yang selama dalam masa jaya pertempuran menjadi senopati yang setia, juga tak luput dari godaan hawa nafsu kekuasaan. Ketika Pangeran Diponegoro berhasil menggempur Kesunanan Surakarta pada tahun 1827, Kiai Mojo meminta agar Pangeran Diponegoro segera mentasbihkan diri sebagai raja. Duduk di dampar kencono Kesunanan Surakarta dan jumeneng nata. Namun, Pangeran Diponegoro menolaknya. Sebab, bukan itu tujuan perangnya. “Kiai Mojo memang sangat berharap Pangeran Diponegoro menjadi raja, agar dirinya sendiri bisa menjadi Adipati di Kartosuro. Bahkan, Kiai Mojo juga membuatkan istana untuk Pangeran Diponegoro di desa Mutihan, Wates, Kulonprogo. Namun, itu pun ditolaknya. Pangeran Diponegoro menegaskan, tujuannya berperang bukan untuk menjadi raja atau pemimpin politik pemerintahan. Melainkan hanya ingin menjadi pemimpin agama dan mengusir kompeni Belanda dari tanah Jawa”, terang Ki Roni.

Muslihat Belanda
          Di tengah kegamangan para pengikutnya itu, sambung Ki Roni, perundingan damai di Karisdenan Kedu terjadi. Awalnya pada tanggal 16 Februari 1830, Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro di Remo, Bagelen, Purworejo untuk mengajak berunding dan mengakhiri peperangan. Tawaran damai itu tentu saja diterima, dan dipastikan perundingan akan diadakan pada tanggal 28 Maret 1830. Tetapi sejak sebulan sebelumnya ketika dalam bulan puasa, Pangeran Diponegoro dan pasukannya sudah berada di kawasan Karisidenan Kedu. Di sebelah barat Karisidenan di bantaran Kali Progo, laskar Diponegoro membuat perkemahan. Sementara itu, Pangeran Diponegoro membuat gubuk di tengah batuan datar di tengah aliran Kali Progo. Di Gubuk itu Pangeran Diponegoro menjalankan ibadah sholat.
Batu datar di tengah Kali Progo itu kini dikenal sebagai Petilasan Pasujudan Pangeran Diponegoro. Sementara itu tidak jauh dari kawasan itu pula, terdapat petilasan Raden Ali Basah Sentot yang sudah dibuatkan cungkup. “Sebenarnya pada perundingan itu, niat Pangeran Diponegoro hanya untuk halal bi halal dengan Jendral de Kock. Sebab, saat itu adalah hari ketiga Idul Fitri. Jadi, meskipun saling bermusuhan hubungan Jenderal de Kock dan Pangeran Diponegoro terjalin baik. Sering berkirim surat dan berkomunikasi. Bahkan setiap bulan Ramadhan, Belanda memberi kesempatan kepada Pangeran Diponegoro untuk menjalankan ibadah puasa dan tidak berperang selama dalam bulan suci itu”, jelas Ki Roni.
Namun, tak dinyana Kolonel Du Perron mengkhianati perundingan itu. Pangeran Diponegoro yang tak mau menghentikan perlawanannya langsung ditangkap. Dalam Babad Diponegoro yang ditulis tangan sendiri oleh Pangeran Diponegoro, kata Ki Roni, saat itu Pangeran Diponegoro memang sengaja tidak melawan. Bahkan dalam babad itu, dituliskan seandainya saja mau, Pangeran Diponegoro bisa menusukkan kerisnya ke tubuh de Kock. Namun, Pangeran Diponegoro memikirkan nasib laskarnya yang tidak menyadari penyergapan licik itu. Sementara itu, seluruh Karisidenan Kedu telah dikepung pasukan Belanda. “Berakhirlah Perang Diponegoro itu dengan penangkapan licik. Pada saat itu Pangeran Diponegoro menitipkan putra-putrinya kepada Belanda, dan kemudian diserahkan kepada Keraton. Perang Jawa berakhir pada tanggal 28 Maret 1830 dalam perundingan licik di Karisidenan itu”, pungkas Ki Roni. KOKO T.