Selasa, 03 Mei 2016

al-Kindi 2


Al-Kindi (2-Habis)
Penemu Teori Relativitas
Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Sejatinya, 1.100 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, ilmuwan muslim di abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas, yaitu saintis dan filosof legendaris bernama Al-Kindi yang mencetuskan teori itu. Berikut ini pendapatnya.

Sesungguhnya, tak mengejutkan jika ilmuwan besar sekaliber Al-Kindi telah mencetuskan teori itu pada abad ke-9 M. Apalagi, ilmuwan kelahiran Kufah tahun 801 M itu pasti sangat menguasai kitab suci Alquran. Sebab, tak diragukan lagi bahwa ayat-ayat Alquran mengandung pengetahuan yang absolut dan selalu menjadi kunci tabir misteri yang meliputi alam semesta raya ini.
Dalam Al-Falsafa al-Ula, ilmuwan bernama lengkap Yusuf Ibnu Ishaq Al-Kindi itu telah mengungkapkan dasar-dasar teori relativitas. Sayangnya, sangat sedikit umat Islam yang mengetahuinya. Sehingga, hasil pemikiran yang brilian dari era kekhalifahan Islam itu seperti tenggelam ditelan zaman.
Menurut Al-Kindi, fisik bumi dan seluruh fenomena fisik adalah relatif. Relativitas, kata dia, adalah esensi dari hukum eksistensi. “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak absolut,” cetus Al-Kindi. Namun, ilmuwan Barat, seperti Galileo, Descartes, dan Newton, menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolut.
Hanya Einstein yang sepaham dengan Al-Kindi. “Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda,” papar Al-Kindi. Selanjutnya, Al-Kindi berkata, “… jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan.” Pernyataan Al-Kindi itu menegaskan bahwa seluruh fenomena fisik adalah relatif satu sama lain.
Mereka tak independen dan tak juga absolut. Gagasan yang dilontarkan Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam teori relativitas umum. “Sebelum teori relativitas dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap bahwa waktu adalah absolut,” papar Einstein dalam La Relativite. Menurut Einstein, pendapat yang dilontarkan oleh Galileo, Descartes, dan Newton itu tak sesuai dengan definisi waktu yang sebenarnya.
Menurut Al-Kindi, benda, waktu, gerakan, dan ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga ke objek lainnya dan pengamat yang memantau mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein.
Dalam Al-Falsafa al-Ula, Al-Kindi mencontohkan, seseorang melihat sebuah objek yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu naik ke atas langit, dia melihat pohon-pohon lebih kecil. Jika dia bergerak ke bumi, dia melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar.
“Kita tak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi, kita dapat mengatakan bahwa itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada objek yang lain,” tutur Al-Kindi. Kesimpulan yang sama diungkapkan Einsten sekitar 11 abad setelah Al- Kindi wafat.
Menurut Einstein, tak ada hukum yang absolut dalam pengertian hukum tak terikat pada pengamat. Sebuah hukum, papar dia, harus dibuktikan melalui pengukuran. Al-Kindi menyatakan, seluruh fenomena fisik, seperti manusia menjadi dirinya, adalah relatif dan terbatas.
Meski setiap manusia tak terbatas dalam jumlah dan keberlangsungan, mereka terbatas; waktu, gerakan, benda, dan ruang yang juga terbatas. Einstein lagi-lagi mengamini pernyataan Al-Kindi yang dilontarkannya pada abad ke-11 M. “Eksistensi dunia ini terbatas meskipun eksistensi tak terbatas,” papar Einstein.
Dengan teori itu, Al-Kindi tak hanya mencoba menjelaskan seluruh fenomena fisik. Namun, juga dia membuktikan eksistensi Tuhan. Karena itu adalah konsekuensi logis dari teorinya. Di akhir hayatnya, Einsten pun mengakui eksistensi Tuhan. Teori relativitas yang diungkapkan kedua ilmuwan berbeda zaman itu pada dasarnya sama. Namun, penjelasan Einstein telah dibuktikan dengan sangat teliti.
Bahkan, teori relativitasnya digunakan untuk pengembangan energi, bom atom, dan senjata nuklir pemusnah massal. Sedangkan, Al-Kindi mengungkapkan teorinya untuk membuktikan eksistensi Tuhan dan keesaan-Nya. Sayangnya, pemikiran cemerlang sang saintis muslim tentang teori relativitas itu tak banyak diketahui. Sungguh sangat ironis, memang.
HUSNU MUFID

al-Kindi 1


al-Kindi (1)
Mampu Menghidupkan Paham Muktazilah

Al-Kindi atau Al Al-Kindus adalah ilmuwan genius yang hidup di era kejayaan Islam Baghdad. Saat itu, panji-panji kejayaan Islam dikerek oleh Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya, yakni Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813- 833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847), dan Mutawakil (847-861). Berikut ini kisah hidupnya.

Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani.
Selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukkan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Ayat-ayat Alquran yang begitu menakjubkan inilah yang mendorong para saintis muslim di era keemasan mampu meletakkan dasar-dasar sains modern. Sayangnya, karya-karya serta pemikiran para saintis muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditutup-tutupi.
Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.
Pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional itulah menjadi pijakan masyarakat Islam waktu itu. Bukan lagi berpikir pada dogma mistik atau irasional. Segala sesuatunya berdasarkan akal pikiran manusia. Oleh karena itu, kerajaan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Karena pola pikir berdasarkan rasional.
Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir bersifat rasional baik dalam memahami agama maupun ilmu pengetahuan orang-orang Islam merupakan pelopor. Karena orang-orang barat khususnya orang Eropa waktu itu masih memiliki pola pikir mistis dan lebih percaya kepada tahayul. Jauh dari sikap berpikir rasional.
Baru setelah pada abad ke-15 orang Eropa berpikir secara rasional setelah belajar dan mempelajari manuskrip yang berasal dari Timur Tengah. Sedangkan orang-orang Islam kembali berpikir nonrasional. Hal ini sebagai akibat hancurnya kerajaan-kerajaan Islam setelah terjadinya perang saudara antara keturunan kerajaan.
Pada posisi ini kebangkitan orang-orang Eropa sebenarnya akibat pengaruh dari kitab-kitab Al-Kindi yang mengajak manusia berpikir rasional. Hingga akhirnya bangsa Eropa mengalami kemajuan yang cukup pesat di bidang ilmu pengetahuan sosial dan alam.
Kini Al-Kindi telah tiada, namun umat Islam telah bangkit mengikuti jejaknya. Hingga akhirnya mampu menyaingi ilmuwan-ilmuwan bangsa barat. Karena umat Islam telah sadar bahwa berpikir rasional itu yang akan menjadikan sebuah bangsa mengalami kemajuan. Berpikir rasional berdasarkan pikiran lebih baik daripada berpikir tahayul yang menjerumuskan seseorang ke dalam kemusyrikan. HUSNU MUFID




Muhammad bin Musa


Muhammad bin Musa Al Khawarizmi

Penemu Angka Nol
Ilmuwan Muslim bernama Muhammad bin Musa Al Khawarizmi merupakan ulama yang cukup terkenal di zamannya. Ia seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Bahkan penemu angka nol. Berikut ini kisah hidupnya. .

Dunia Eropa atau “Dunia Barat” dari dulu hingga kini, sepertinya mengklaim bahwa Gudang Ilmu Pengetahuan berasal dari kawasan Eropa atau ‘dunia barat’. Tetapi tahukah Anda, sejatinya Gudang Ilmu Pengetahuan berasal dari kawasan Timur Tengah yaitu Mesopotamia yang menjadi peradaban tertua di dunia? Masyarakat dunia sangat mengenal Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar.
Namun, di balik kedigdayaan Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar ternyata hasil pemikirannya sangat dipengaruhi oleh ilmuwan muslim bernama Muhammad bin Musa Al Khawarizmi.
Dia adalah seorang tokoh yang dilahirkan di Khiva (Iraq) pada tahun 780. Selama ini banyak kaum terpelajar lebih mengenal para ahli matematika Eropa/Barat padahal sejatinya banyak ilmuwan muslim yang menjadi rujukan para ahli matematika dari barat. Saat itu orang-orang Eropa masih dalam kondisi kebodohan.
Namun pada masa kejayaan Islam, mereka tak memperlakukan suatu penemuan atau suatu keilmuan baru, menjadi ajang pengeruk keuntungan. Artinya, pada masa itu tak ada yang dinamakan “HAK PATENT” yang bertujuan untuk mambayar sejumlah uang jika penemuannya digunakan oleh pihak lain.
Hak patent adalah “produk Barat”, di mana pada masa lalu banyak sekali penemu dari dunia Islam. Kemudian buku dan literatur penemu-penemu di dunia Islam ini kembali dibaca dan dipelajari, lalu para penemu barat mematenkannya! Itulah sebabnya hanya dikenal ilmuwan dari dunia Barat yang sebenarnya ilmu-ilmu tersebut dari masa kejayaan Islam.
Selain ahli dalam matematika al-Khawarizmi, yang kemudian menetap di Qutrubulli (sebalah barat Bagdad), juga seorang ahli geografi, sejarah, dan juga seniman. Karya-karyanya dalam bidang matematika dimaktub dalam Kitabul Jama wat Tafriq dan Hisab al-Jabar wal Muqabla. Inilah yang menjadi rujukan para ilmuwan Eropa termasuk Leonardo Fibonacce serta Jacob Florence.
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi inilah yang menemukan angka 0 (nol) yang hingga kini dipergunakan. Apa jadinya jika angka 0 (nol) tidak ditemukan? Tak akan ada rumus Einstein dan rumus lainnya, bahkan tak akan ada ilmu matematika semaju sekarang. Dia orang yang cukup berjasa dalam bidang ilmu eksakta.
Selain itu, dia juga berjasa dalam ilmu ukur sudut melalui fungsi sinus dan tanget, persamaan linear dan kuadrat serta kalkulasi integrasi (kalkulus integral). Tabel ukur sudutnya (Tabel Sinus dan Tangent) adalah yang menjadi rujukan tabel ukur sudut saat ini.
al-Khawarizmi juga seorang ahli ilmu bumi. Karyanya Kitab Surat Al Ard menggambarkan secara detail bagian-bagian bumi. CA Nallino, penerjemah karya al-Khawarizmi ke dalam bahasa Latin, menegaskan bahwa tak ada seorang Eropa pun yang dapat menghasilkan karya seperti al-Khawarizmi ini.
Oleh karena itu, sepeninggal beliau dalam kurun waktu beberapa puluh tahun belum ada yang menggantikan. Kemudian digantikan oleh ilmuwan-ilmuwan dari Barat. Mereka mempelajari dan mengembangkan menjadi ilmu pengetahuan yang sangat populer. Sedangkan umat Islam hanya berkutat kepada ilmu-ilmu agama saja. Bahkan tidak tahu siapa sebenarnya peletak dasar ilmu pengetahuan umum dan alam. Baru sekarang ini umat Islam menyadari akan pentingnya ilmu tersebut. HUSNU MUFID

Al Zahiz


Al-Jahiz
       
Ahli Biologi Pertama Pengembang Teori Evolusi

Al-Jahiz seorang ulama yang bukan hanya ahli di bidang agama, melainkan juga seorang ahli dalam bidang ilmu biologi. Ia seorang muslim pertama yang mengembangkan teori evolusi. Kemudian dilanjutkan ahli-ahli biologi dari Jerman dan Rusia. Berikut ini kisah hidupnya.

Ia menulis penelitian tentang ilmu hewan (zoology) pertama kali. Ahli zoology terkemuka dari Basra, Irak ini merupakan ilmuwan muslim pertama yang mencetuskan teori evolusi. Al-Jahiz lahir di Basra, Irak pada 781 M. Nama aslinya adalah Abu Uthman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri.
Pengaruhnya begitu luas di kalangan ahli zoology muslim dan Barat. Jhon William Draper, ahli biologi Barat yang sezaman dengan Charles Darwin pernah berujar, ”Teori evolusi yang dikembangkan umat Islam lebih jauh dari yang seharusnya kita lakukan. Para ahli biologi muslim sampai meneliti berbagai hal tentang an-organik serta mineral.”
Al-Jahiz-lah ahli biologi muslim yang pertama kali mengembangkan sebuah teori evolusi. Ilmuwan dari abad ke-9 itu mengungkapkan dampak lingkungan terhadap kemungkinan seekor binatang untuk tetap bertahan hidup.
Sejarah peradaban Islam mencatat, Al-Jahiz sebagai ahli biologi pertama yang mengungkapkan teori berjuang untuk tetap hidup (struggle for existence). Untuk dapat bertahan hidup, papar dia, makhluk hidup harus berjuang, seperti yang pernah dialaminya semasa hidup.
Beliau dilahirkan dan dibesarkan di keluarga miskin. Meskipun harus berjuang membantu perekonomian keluarga yang morat-marit dengan menjual ikan, ia tidak putus sekolah dan rajin berdiskusi di masjid tentang sains. Beliau bersekolah hingga usia 25 tahun. Di sekolah, Al-Jahiz mempelajari banyak hal, seperti puisi Arab, filsafat Arab, sejarah Arab dan Persia sebelum Islam, serta Alquran dan hadis.
Al-Jahiz juga merupakan penganut awal determinisme lingkungan. Menurutnya, lingkungan dapat menentukan karakteristik fisik penghuni sebuah komunitas tertentu. Asal muasal beragamnya warna kulit manusia terjadi akibat hasil dari lingkungan tempat mereka tinggal.
Berkat teori-teori yang begitu cemerlang, Al-Jahiz pun dikenal sebagai ahli biologi terbesar yang pernah lahir di dunia Islam. Ilmuwan yang amat tersohor di kota Basra, Irak itu berhasil menuliskan kitab Ritab Al-Haywan (Buku tentang Binatang).
Dalam kitab itu dia menulis tentang kuman, teori evolusi, adaptasi, dan psikologi binatang. Al-Jahiz pun tercatat sebagai ahli biologi pertama yang mencatat perubahan hidup burung melalui migrasi. Tak cuma itu, pada abad ke-9 M Al-Jahiz sudah mampu menjelaskan metode memperoleh ammonia dari kotoran binatang melalui penyulingan.
Sosok dan pemikiran Al-Jahiz pun begitu berpengaruh terhadap ilmuwan Persia, Al-Qazwini, dan ilmuwan Mesir, Al-Damiri.
Kariernya sebagai penulis ia awali dengan menulis artikel. Ketika itu Al-Jahiz masih di Basra. Sejak itu, ia terus menulis hingga menulis dua ratus buku semasa hidupnya. Pada abad ke-11, Khatib al-Baghdadi menuduh Al-Jahiz memplagiat sebagian pekerjaannya dari Kitab al-Hayawan of Aristotle.
Selain al-Hayawan, beliau juga menulis kitab al-Bukhala Kitab al-Bayan wa al-Tabyin. Kitab Moufakharat al Jawari wal Ghilman dan Risalat mufakharat al-sudan ‘ala al-bidan.. Suatu ketika, pada tahun 816 M ia pindah ke Baghdad. Al-Jahiz meninggal setelah lima puluh tahun menetap di Baghdad pada tahun 869, ketika ia berusia 93 tahun.HUSNU MUFID