Rabu, 21 September 2016

Sufi Syekh Zaenal Abidin Sampang Madura


Syekh Zaenal Abidin

Pewaris Ilmu Sungai Raje dari Nabi Khidir

Syekh Zaenal Abidin seorang ulama sufi yang berasal dari kerajaan Sumenep. Ia keturunan Syekh Ali Murtaha yang makamnya ada di Gresik dan Sunan Kudus. Rela meninggalkan istana kerajaan demi menuntut ilmu dan berdakwah. Berikut ini kisah kehidupannya.


Syekh Zaenal Abidin adalah salah satu putra Raja Sumenep dan memiliki nasab penyebar agama Islam dari tanah Jawa. Sejak kecil, suka tirakat dan berjalan jauh meninggalkan istana kerajaan yang penuh dengan kemewahan dan kenikmatan dunia. Baginya kenikmatan abadi nantinya ada di surga.
Ia lebih suka menyendiri dan berteman dengan alam sekitarnya. Lokasinya di pinggir sungai. Menjelang sore kembali ke istana kerajaan. Kegiatan itu dilakukan hingga dewasa. Kemudian setelah merasa dirinya memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, maka meninggalkan keraton menuju Madegan, Desa Madegang, Sampang. Tujuannya belajar agama Islam kepada Bujuk Lembu Peteng yang telah “diislamkan” oleh Sunan Ampel.
Selama menjadi murid Lembu Peteng, Syekh Zaenal Abidin benar-benar memanfaatkan waktunya untuk mempelajari ilmu agama Islam. Karena ingin mengetahui sejauh mana kebenaran agama Islam yang diajarkan oleh Lembu Peteng yang merupakan murid dari Sunan Ampel atau Raden Rahmatullah.
Di tengah-tengah mempelajari agama Islam, Syekh Zaenal Abidin suka menyendiri dan melakukan zikir di Sungai Raja yang dihuni puluhan buaya. Ia berzikir di atas mulut buaya yang panjangnya 3 meter selama 40 hari 40 malam. Tepatnya di bawah pohon beringin, di pinggir Sungai Raja. Pada hari ke-40 masa bertapanya, Zaenal Abidin bertemu dengan Nabi Khidir. Dari pertemuannya ini ia diberi doa keselamatan badan dan kekebalan guna menghadapi penjahat-penjahat yang selalu mengganggu jalannya berdakwah. Doa tersebut bernama ilmu sungai raje.
Dari sinilah akhirnya sebagai pewaris ilmu Sungai Raje yang cukup terkenal. Sekarang ilmu tersebut yang kini banyak dimiliki orang Jawa sebenarnya berasal dari Syekh Zaenal Abidin asal Sumenep atas pemberian Nabi Khidir saat melakukan tirakat di pinggir sungai yang mengalirkan air cukup jernih.
Dengan berbekal doa dari Nabi Khidir itu atau ilmu Sungai Raje, maka Syekh Zaenal Abidin berdakwah di berbagai pelosok desa untuk mengajak masyarakat masuk Islam. Sebab, waktu itu masyarakat Madura sedikit sekali yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka beragama Buddha.
Dengan ilmu tersebut, dalam dakwahnya mengalami perkembangan yang cukup lancar. Ia tinggal di Desa Madegan, Sampang dijadikannya sebagai pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Madura. Sinar Islam memancar di daerah tersebut hingga ke seluruh Pulau Madura.
Melihat keberanian Syekh Zaenal Abidin menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat Madura, Bujuk Lembu Peteng putra raja Kerajaan Majapahit merasa bangga. Kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Setelah menjadi menantu Lembu Peteng, Syekh Zaenal Abidin jarang melakukan dakwah di desa-desa. Namun lebih memilih dakwah melalui mimbar Jumat. Dari sinilah kemudian beliau mendapat gelar Khotib Mantu, yang artinya menantu yang menjadi penghotbah sebelum salat Jumat hingga akhir hayatnya.
Masyarakat tiap Jumat selalu menyempatkan diri untuk salat Jumat di Masjid Madegan, Sampang yang kini telah mengalami perubahan dari aslinya. Tujuannya untuk mendengarkan khotbah Syekh Zaenal Abidin. Khotbahnya meresap dalam hati sanubari setiap pendengar.
Cukup banyak perilaku masyarakat berubah setelah mendengarkan khotbahnya. Yang dulunya enggan salat berubah menjadi rajin salat. Yang dulunya suka berjudi, minum-minuman keras, dan berkelahi kemudian berhenti. Mereka lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT. husnu mufid





Waliputih Alas Roban


Kisah Wali Putih Menyebarkan Islam di Jawa tengah

Menjadikan Alas Roban Sebagai Pusat Dakwah

Syekh Fathutieh atau lebih dikenal dengan nama Wali Putih. Lokasi dakwahnya di pesisir Jawa Tengah bagian pulau Jawa. Ia menetap di Sentul Alas Roban sebagai pusat dakwahya. Oleh karena itu, diwilayah tersebut banyak penganut agama Islam. Berikut ini kisah hidupnya.  


Penyebar agama Islam di tanah Jawa bukan hanya Walisongo saja, tetapi banyak wali-wali sebelumnya yang melakukan dakwah. Hanya saja kedatangannya sebelum  kerajaan islam Demak Bintoro berdiri. Sehingga lepas dari penulisan buku babad yang ada. 
Salah satu wali itu adalah  Syekh Fatkhutieh,  yang masyarakat menyebutnya dengan nama Wali Putih. Lidah orang Jawa  yang menyebut dengan nama Wali Putih. Istilahnya keseleo lidah.Tapi orang  Arab menyebutkan dengan  nama  yang fasih Syekh Fathutieh.  
Ia dari Arab  kemudian tinggal di kerajaan Palembang  memiliki jabatan sebagai  Senapati Agung. Oleh karena itu, bukan hanya seorang yang gagah perkasa dan sakti. Melainkan memiliki  ketinggian ilmu agama Islam. Juga, menjadi seorang penyebar agama di daerah Sumatra. 
Pada suatu hari raja Palembang mendapat  ilham  dari Allah SWT agar pindah ke tanah Jawa. Petunjuk tersebut dituruti oleh beliau  Maka, menujulah ke tanah Jawa bersama seluruh abdi dalem dengan menggunakan perahu besar dengannharapan nantinya mendirikan kerajaan di Pulau Jawa.
Syekh  Fatkhutieh pun pergi ke tanah Jawa bersama rajanya. Waktu itu di Pulau Jawa ada kerajaan besar. Dibagian bagian barat dikuasai Kerajaan Pajajaran dan di bagian timur dikuasai Kerajaan Majapahit. Kedua kerajaan ini masih memiliki hubungan kekeluargaan. Sama-sama tidak melakukan perebutan kekuasaan atas wilayah  daerahnya masing-masing.
Perjalanan menuju tanah Jawa, raja Pelembang Jawa Tengah bagian tengah.  Disitulah dia mendirikan sebuah kerajaan bernama Kalingga Murti. Selang beberapa tahun kemudian Wali Putih diperintahkan untuk menguasai dan mempertahankan wilayah pesisir tengah. Tepatnya disekitar  Alas Roban atau Hutan Oban.
Saat itu alas roban terkenal dengan mahluk halusnya. Tidak ada yang berani memasuki. Siapapun yang berani nekat memasuki tidak akan pulang kembali ke rumahnya.  Maklum mahluk gaibnya ganas-ganas. Sisa sisa keganasan itu hingga kini masih ada.
Hany Wali Putih lah yang berani memasuki Alas Roban. Karena memiliki ilmu seperti yang dimiliki Syekh Subakir penumbal Gunung Tidar. Kemudian ia melakukan perlawanan terhadap mahluk halus  penunggu hutan tersebut. Dalam pertarungan itu dimenangkan dirinya.
Kemudian Wali Putih memasang  tumbal di hutan Alas Roban  agar  para makhluk halus yang menghuni  mereda dan tidak mengganggu  kerajaan maupun rakyat. Para makhluk gaib itu pun bersedia mematuhi dan tetap tinggal di tempat semula. Karena  sudah menjadi rumahnya selama beribu-ribu tahun.
Sedangkan Syekh Fathutieh sendiri menetap di  daerah yang tidak jauh dengan Alas Roban. Yaitu Desa Sido Muncul  atau yang sekarang  bernama Sentul. Disamping menjalankan tugas  kerajaan, ia  juga melakukan dakwah  agama Islam  keliling di sekitar wilayah pesisir  Jawa Tengah.
Dengan berbekal karomah yang diberi Allah SWT, maka  Wali Putih  banyak sekali umatnya, baik itu manusia maupun mahluk halus. Karena masalah dakwah Islam dinomorsatukan. Kemudian ia meminta  kepada rajanya  untuk diizinkan menetap  di wlayah Alas Roban selamanya. Permintaan itu direstui oleh ratunya.
Dengan menetapnya Wali Putih di Alas Roban, maka masyarakat  sangat senang dan tentram. Sebab, mereka telah menemukan  tuntunan  yang haq dan benar. Yaitu  agama Islam. Dapat menjalankan ibadah dengan baik tanpa diganggu mahluk gaib. 
Dalam melakukan dakwah lebih bnayak menggunakan cara-cara yang sopan. Tidak menentang adat yang sebelumnya ada. Sifat-sifat arif dan bijaksana menjadikan kekuatan dalam menyebarkan agama Islam. Ia tidak menggunakan alar kesenian sebagaimana yang dilakukan Walisongo, melainkan pendekatan menggunakan ilmu gaib. Karena lingkungan sekitarnya banyak mahluk-mahluk gaib yang tinggal.
Juga masyarakat yang didakwahi masih banyak yang mempercayai adanya mahluk gaib. Sehingga ilmu kegaiban yang dimiliki dapat digunakan  untuk mempengaruhi mereka. Sehingga dapat membedakan antara kekuatas setan dengan kekuatan malaikat.

Tak Tergusur Jalan Daendles
Dalam dakwahnya beliau selalu berpesan  bahwa bila besok tanah Jawa sudah ada raja  yang kudungan gambar jagad, agama Islam akan pecah menjadi berbagai  aliran. Juga, makamnya akan dirawat anak cucu dan digunakan untuk membaca kalimat thoyibah. Saat itu juga terjadi perebutan antar pemimpin agama Islam (aliran Islam). Sebab  merasa yang paling benar, yang mana  mereka semua  pada gila jadi pemimpin. Ramalannya tersebut  memang terbukti.
Cukup lama Wali Putih menyebarkan agama Islam di wilayah pesisir Jawa Tengah Tengah. Dibawah bimbingannya  banyak  umat Islam  hidup sejahtera dan orang-orang yang awalnya menyembah  batu dan pohon besar beralih masuk Islam. Dengan demikian penyebar agama Islam Jawa Tengah dibagian tengah Wali Putih merupakan pelopornya. Sedangkan di JawaTimur  Sunan Ampel dan Jawa Barat adalah Syekh Datul Kahfi. 
Wali Putih menyebarkan ajaran Islam hingga  usianya  78 tahun dan meninggal dalam usia tersebut. Namun sebelum meninggal dunia berpesan agar dimakamkan di lereng bukit Desa Sentul agar nantinya makamnya terselamatkan dari proyek jalan raya yang dibangun Gubernur Jenderal  Daendles dari kerajaan Belanda.
Tidak tergusurnya oleh proyek jalan Daendles membuat makamnya semakin dikeramatkan masyarakat. Sebab selama proyek pembuatan jalan Anyer Panarukan gubernur asal Belanda itu telah banyak menggusur makam-makam keramat disepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Salah satunya makam  leluhur Pangeran Diponegoro.      
Rupanya Wali Putih ini mampu membaca tanda-tanda zaman ke depan. Maka, makamnya terselamatkan dari pembuatan jalan raya. Karena lokasi makamnya berada di lereng bukit yang penuh dengan rerimbunan pohon. Kini makamnya banyak diziarahi umat Islam. Padah hari dan bulan tertentu banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah Indonesia.
Masyarakat pesisir Jawa Tengah bagian tengtah merasa berterimakasih kepada Walisputih yang menyebarkan agama Islam. Sebab wilayah tersebut belum tersentuh dengan Walisongo. Karena wilayah dakwahnya hanya sampai di kerajaan Demak Bintoro. HUSNU MUFID




          

Selasa, 13 September 2016

Sufi Al Jubai


 

Syekh Al-Jubba’i
Mutakallimin Terkemuka di Basrah

Syekh Al-Jubba’i merupakan tokoh aliran Islam Mu’tazilah yang berkembang pada zamannya di Basrah, Iraq. Ketokohannya yaitu setelah beberapa tahun belajar kepada gurunya yang memang ahli dalam bidang teologi Islam. Berikut ini kisah hidupnya.

Nama Lengkap Syekh Al-Juba’i adalah Abu Ali Muhammad bin Abd Wahhab al-Jubba’i. Ia lahir di Desa Jubba, sebuah desa kecil di wilayah Khazakstan pada tahun 235 H. Kemudian nama desa tersebut dinisbatkan kepada namanya. Ia meninggal dunia pada tahun 303 H bulan Syakban di Basrah, Iraq.

Sejak kecil Syekh Al-Juba’i sudah menampakkan diri sebagai anak yang cerdas. Khususnya dalam memahami ajaran Islam. Menginjak dewasa, ia berguru kepada seorang ulama ahli teolog.

Kesukaannya mempelajari ilmu agama Islam secara mendalam. Karena itu, ia lebih pandai daripada teman-teman sebayanya. Menginjak dewasa, ia berguru kepada Abu Ya’qub Yusuf Asy-Syahham tentang ilmu teologi Islam. Dari sinilah ia berkembang menjadi seorang yang memiliki kemampuan berdebat dengan siapa saja dalam hal agama.

Akhirnya, ia terkenal sebagai seorang mutakallimin (teolog) pada zamannya. Tidak ada penentangan kepadanya. Ia jelaskan sesuai dengan akal pikiran manusia yang mendasarkan diri kepada Alquran dan Hadis. Umat Islam menyambut dengan suka cita.

Kemahirannya berdebat dalam masalah-masalah keislaman semakin terkenal di tengah-tengah umat Islam. Masyarakat menyambut baik dengan membahas ajaran Islam dengan menggunakan akal pikiran dalam menyelesaikan masalah-masalah umat yang bertumpu pada agama. Maka, ia ditokohkan oleh masyarakat sebagai ulama yang menganut faham Mu’tazillah. Yaitu sebuah faham yang berpikir berdasarkan akal pikiran manusia, dalam memahami persoalan-persoalan keagamaan.
Pendekatan menyelesaikan persoalan kehidupan di masyarakat dengan kaitan agama masih tetap menekankan kepada Alquran dan Hadis sebagai dasar pijakannya. Sehingga, tidak menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Misalnya, pertama, mengenai sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya. Demikian pula kekuasaan dan hidup melalui esensi-Nya. Jadi, Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan mengetahui melalui zat-Nya. Inilah yang dinamakan dengan peniadaan sifat Tuhan.
Kedua, mengenai perbuatan manusia. Ia berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan, daya (al Istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Perbuatan ini diwujudkan semata-mata oleh daya yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim. Hal ini tidak dapat diterima akal sehat.
Perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia. Jika seorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak ingin berbuat sesuatu itu tidak terjadi. Jika sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan. Maka, perbuatannya tidak akan terjadi sungguh pun ia mengingini dan menghendaki perbuatan itu. Atau, perbuatannya akan terjadi sungguh pun ia tidak menginginkan dan tidak menghendaki perbuatan itu.
      Pemikiran-pemikirannya dalam mengartikan ajaran Islam berdasarkan pendekatan akal menjadikan banyak umat semakin mengerti dan pada akhirnya menggunakan akal sebagai proses pemecahan masalah. HUSNU MUFID

Sufi Rifat Tahtawi


 

Syekh Rifa’ah Badawi Al-Tahtawi:

 

Anjurkan Wanita Belajar Hingga ke Perguruan Tinggi


Syekh  Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Tahtawi termasuk pemikir pembaru  pada  awal modernisasi Mesir. Dalam gerakan pembaruan, ia turut berperan penting merealisasikan ide-ide Muhammad Ali Pasha. Bahkan, di tangannya komitmen  pemikiran agama disentuh. Berikut ini kisah hidupnya. .

Al-Tahtawi lahir  pada tahun 1807 di Tahta Mesir Selatan,  Hidup dalam lingkungan keluarga berilmu dan kaya.  Ketika umur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Lima tahun kemudian tugas studinya dapat  diselesaikan dengan baik pada tahun 1822 M. Ibunya yang membiayai studinya  hingga lulus mencapai predikat yang baik.
Seorang ulama terkenal saat itu, Syekh Al-Attar dari  di Al-Azhar melihat dan mengamati sosok Syekh Rifa’ah  Badawi Al-Tatawi termasuk  orang yang tajam pikirannya. Jangkauan pemikirannya maju kedepan melebihi manusia pada umumnya. Karena itu, ia selalu  memberi dorongan  agar senantiasa menambah ilmu pengetahuan.
Selesai studi di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama 2 tahun. Kemudian diangkat menjadi imam  pada tahun 1824 M. Karena dianggap sebagai ulama yang memiliki keilmuan yang  cukup tinggi dan berwawasan modern.
Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad Ali Pasha ke Paris. Ia tinggal disana selama 5 tahun. Atas pengaruh ajaran Syekh Al Attar waktunya banyak digunakan mempertajam wawasan bahasa asing dan keagamaan dengan menguji teks-teks modern.
Dalam waktu singkat, ia menguasai bahasa  itu dan selama 5 tahun di Paris menerjemahkan 12 buku dan risalah ke dalam bahasa Arab. Berbagai disiplin  ilmu dikuasainya. Seperti karya Montesquieu, Voltaire dll. Sebagian hasil  terjemahannya mengenai ilmu teknik, bumi, hak-hak asasi manusia, adat –istiadat, dll.
Pada tahun 1836 M, ia kembali ke Mesir dan mendirikan sekolah penerjemahan dengan nama sekolah behasa-bahasa asing. Sesuai dengan namanya, jadilah  pelajaran  wajib seperti bahasa Prancis, Turki, Persi, Italia dan juga  ilmu teknik, sejarah dan ilmu bumi. Pimpinan sekolahnya dirinya sendiri. Selain mengajar, tugasnya mengoreksi buku-buku yang diterjemahkan murid-muridnya. Hampir 1.000 buah buku  yang diterjemahkan sekolah ini ke dalam bahasa Arab.
Al-Tahtawi berkeyakinan, kalau umat Islam Mesir mau  maju  dan sejajar  dengan bangsa Eropa, mestinya  menguasai iptek. Jalan ke arah itu sudah  terbuka, tinggal merealisasikan secara kongkret. Itulah  sebabnya selain sekolah  terjemahan dibuka, juga  sekolah-sekolah modern yang dibangun oleh Muhammad Ali Pasha dipermantap spesialisasi keilmuannya dengan menyesuaikan kurikulumnya  sama seperti dengan pria.
Umat Islam perlu berpegang teguh  pada agamannya dan budi  pekerti yang baik. Dari sini, jelas  pendidikan keluarga  dan sekolah  amat diperlukan. Pendidikan  dasar mesti  bersifat    universal  dan sama  bentuknya untuk segala golongan. Begitu  pula pendidikan menengah mesti mempunyai kualitas tinggi. Anak perempuan harus punya  pendidikan  hingga ke perguruan tinggi yang sama dengan pria.
Kaum ibu harus berpendidikan agar dapat  menjadi istri yang baik serta menjadi teman suami dalam  kehidupan secara intelek dan sosial. Istri-istri tidak semata-mata sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani, namun dapat  bekerja untuk mengisi kekosongan rumah tangga. Dari kebiasaan mengobrol dengan tetangga.
Orang yang mengatakan menyekolahkan anak perempuan adalah makruh sebenarnya salah. Mereka lupa  bahwa istri Nabi, Hafsah dan Aisyah pandai  membaca dan menulis. Dia mengatakan, tujuan pendidikan bukan mengajarkan ilmu pengetahuan. Tapi membentuk rasa pribadi dan menanamkan nilai-nilai patriotisme.
Sementara raja harus menghormati ulama dan memandang mereka sebagai  pembantu dalam soal pemerintahan. Syari’ah menurut  pendapatnya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi modern dan ulama harus  mengetahui kemajuan modern untuk menafsirkan syari’ah sesuai kebutuhan masyarakat modern.
Begitu pula  dengan ulama diharuskan  menguasai ilmu pengetahuan modern. Karena  ulama dituntut untuk berfikir maju dan  rasional. Semakin dunia maju, semakin luas wawasan yang dimiliki. Dengan wawasan  pengetahuan  yang luas, para ulama tidak lagi  menganggap pintu ijtihad tertutup seperti masa sebelumnya.HUSNU MUFID