Syekh Zaenal Abidin
Pewaris Ilmu
Sungai Raje dari Nabi Khidir
Syekh Zaenal Abidin seorang ulama sufi yang berasal
dari kerajaan Sumenep. Ia keturunan Syekh Ali Murtaha yang makamnya ada di
Gresik dan Sunan Kudus. Rela meninggalkan istana kerajaan demi menuntut ilmu
dan berdakwah. Berikut ini kisah kehidupannya.
Syekh Zaenal Abidin adalah salah satu putra Raja
Sumenep dan memiliki nasab penyebar agama Islam dari tanah Jawa. Sejak kecil,
suka tirakat dan berjalan jauh meninggalkan istana kerajaan yang penuh dengan
kemewahan dan kenikmatan dunia. Baginya kenikmatan abadi nantinya ada di surga.
Ia lebih suka menyendiri dan berteman dengan alam
sekitarnya. Lokasinya di pinggir sungai. Menjelang sore kembali ke istana
kerajaan. Kegiatan itu dilakukan hingga dewasa. Kemudian setelah merasa dirinya
memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, maka meninggalkan keraton menuju
Madegan, Desa Madegang, Sampang. Tujuannya belajar agama Islam kepada Bujuk
Lembu Peteng yang telah “diislamkan” oleh Sunan Ampel.
Selama menjadi murid Lembu Peteng, Syekh Zaenal Abidin
benar-benar memanfaatkan waktunya untuk mempelajari ilmu agama Islam. Karena
ingin mengetahui sejauh mana kebenaran agama Islam yang diajarkan oleh Lembu
Peteng yang merupakan murid dari Sunan Ampel atau Raden Rahmatullah.
Di tengah-tengah mempelajari agama Islam, Syekh Zaenal
Abidin suka menyendiri dan melakukan zikir di Sungai Raja yang dihuni puluhan buaya.
Ia berzikir di atas mulut buaya yang panjangnya 3 meter selama 40 hari 40
malam. Tepatnya di bawah pohon beringin, di pinggir Sungai Raja. Pada hari
ke-40 masa bertapanya, Zaenal Abidin bertemu dengan Nabi Khidir. Dari pertemuannya
ini ia diberi doa keselamatan badan dan kekebalan guna menghadapi
penjahat-penjahat yang selalu mengganggu jalannya berdakwah. Doa tersebut
bernama ilmu sungai raje.
Dari sinilah akhirnya sebagai pewaris ilmu Sungai Raje
yang cukup terkenal. Sekarang ilmu tersebut yang kini banyak dimiliki orang
Jawa sebenarnya berasal dari Syekh Zaenal Abidin asal Sumenep atas pemberian
Nabi Khidir saat melakukan tirakat di pinggir sungai yang mengalirkan air cukup
jernih.
Dengan berbekal doa dari Nabi Khidir itu atau ilmu
Sungai Raje, maka Syekh Zaenal Abidin berdakwah di berbagai pelosok desa untuk
mengajak masyarakat masuk Islam. Sebab, waktu itu masyarakat Madura sedikit
sekali yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka beragama Buddha.
Dengan ilmu tersebut, dalam dakwahnya mengalami perkembangan
yang cukup lancar. Ia tinggal di Desa Madegan, Sampang dijadikannya sebagai
pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Madura. Sinar Islam memancar di
daerah tersebut hingga ke seluruh Pulau Madura.
Melihat keberanian Syekh Zaenal Abidin menyebarkan
agama Islam di tengah-tengah masyarakat Madura, Bujuk Lembu Peteng putra raja
Kerajaan Majapahit merasa bangga. Kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Setelah menjadi menantu Lembu Peteng, Syekh Zaenal
Abidin jarang melakukan dakwah di desa-desa. Namun lebih memilih dakwah melalui
mimbar Jumat. Dari sinilah kemudian beliau mendapat gelar Khotib Mantu, yang
artinya menantu yang menjadi penghotbah sebelum salat Jumat hingga akhir
hayatnya.
Masyarakat tiap Jumat selalu menyempatkan diri untuk
salat Jumat di Masjid Madegan, Sampang yang kini telah mengalami perubahan dari
aslinya. Tujuannya untuk mendengarkan khotbah Syekh Zaenal Abidin. Khotbahnya
meresap dalam hati sanubari setiap pendengar.
Cukup banyak perilaku masyarakat berubah setelah
mendengarkan khotbahnya. Yang dulunya enggan salat berubah menjadi rajin salat.
Yang dulunya suka berjudi, minum-minuman keras, dan berkelahi kemudian
berhenti. Mereka lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT. husnu mufid