Pusara Tan Malaka di Selopanggung, Kediri
Makam Dipindah Lokasi Tanpa Digali
“Penduduk Selopanggung kathah sing semerap yen teng mriki wonten makam pejuang, naminipun Tan Malaka, nanging crito pepeke mboten ngertos,” Ungkap Kayat, salah satu warga Selopanggung. Artinya,”Penduduk Selopanggung banyak yang mengetahui jika di sini ada makam pejuang, namanya Tan Malaka, namun cerita lengkapnya tidak tahu”.
SAAT Posmo bertandang ke lokasi makam sosok misterius yakni Tan malaka, suasana desa nampak biasa saja. Lokasi makam tersebut berada di Dusun Selopanggung, Desa Selopanggung I, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Daerah tersebut berada di lereng Gunung Wilis. Jalan cukup menanjak dan berbatu, bagi pengunjung yang mau kesana sebaiknya hindari musim hujan, karena selain berbatu, struktur tanah sangat berlumpur dan licin. Namun bagi warga desa itu sudah biasa karena terbiasa keseharian mencari rumput disekitar lereng Gunung Wilis.
Menuju ke makam Tan malaka yang letaknya terlihat berada di tengah persawahan, terdapat tangga dari batu bata. Jika dihitung sekitar 200 anak tangga yang bakal mengantar para peziarah mencapai pemakaman tersebut. Sesampainya disana, jangan heran jika terlihat banyak pemakaman sebab, selain makam Tan Malaka, juga ditempati sebagai pemakaman umum warga Dusun Selopanggung.
Saat itu cukup sepi, nampak hanya seorang peziarah nampak duduk di puncak anak tangga. “Saya kesini ya karena penasaran mas, ceritanya juga saya tidak tahu, saya bukan warga Kediri tapi saya dari Madiun,” tutur lelaki yang tengah asik bersama putranya dan mengaku bernama Heri tersebut.
Tidak lama nampak beberapa ibu-ibu sedang menggendong tumpukan rumput hijau, “Waduh saya tidak tau ceritanya mas, wong makam itu sudah ada sejak dulu,” ungkap perempuan yang bernama marsinah tersebut. “Dulu ada yang tahu, tapi orangnya sudah meninggal beberapa waktu lalu, dia pernah didatangi pria bule,” imbuh Sukinem perempuan pencari rumput yang lain.
Keberadaan makam tersebut nampaknya masih sangat misterius, sebab belum diketahui kejelasannya. Bahkan banyak warga yang didatangi Posmo untuk menceritakan perihal asal-muasal makam bernama Tan Malaka tersebut. Hingga akhirnya tibalah dirumah salah warga yang tahu perihal keberadaan makam tersebut.
“Pak Tan Malaka sien matine mboten teng mriku, sien niku ditembak teng Deso Pethuk mriko, terus dikubur teng Selopanggung mriki,” tutur Saminatun. Rupanya dulu Tan Malaka ditembak mati disebuah Desa yang bernama Pethuk, kemudian jasadnya di makamkan di Desa Selopanggung.
Keberadaan makam dan penyebab kematian Sutan Ibrahim atau Datuk Tan Malaka, menjadi polemik selama 30 tahun. Tan Malaka hilang seperti ditelan bumi dan tak tentu rimbanya sejak Februari 1949 silam. Namun, misteri ini sedikit demi sedikit terkuak menyusul pembongkaran makam yang diduga berisi jasad Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri, Jawa Timur oleh tim forensik RSCM, sesuai petunjuk seorang sejarawan Belanda Harry A Poeze.
Delapan Genggam Tanah Makam
Bahkan, diceritakan pula, beberapa hari sebelumnya, terdapat sebuah upacara pemindahan makam Tan malaka oleh keluarganya untuk dikebumikan ke tanah kelahiran. “Keluarga tan Malaka namung njupuk wolung gegem lemah kuburan mas, wong iku namung sarat kok mas,” Ungkap perempuan yang sudah berumur 56 tahun tersebut. Rupanya bukan memindah tulang belulang yang ada di makam tersebut, namun hanya sebuah proses simbolis suatu adat untuk memindahkan makam keluarga dengan cara mengambil beberapa genggam tanah.
Seperti yang diceritakan, prosesi adat penjemputan gelar yang dipimpin sejumlah tetua adat di makam Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri berlangsung dengan khidmat. Tak sedikit peserta upacara dari Kabupaten Limapuluh Kota yang menangis saat berdiri di depan pusara Ibrahim Datuk Tan Malaka. “Kami mencari tokoh yang hilang ini sejak tahun 1949,” kata Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan di depan ratusan warga yang menyertainya, Selasa 21 Februari 2017.
Setelah menyampaikan kata pengantar, prosesi sakral yang dipimpin Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Limapuluh Kota Safruddin Datuk Bandaro Rajo dilakukan. Diawali dengan penyampaian sejarah singkat perjalanan hidup Tan Malaka hingga meninggal di Desa Selopanggung, Safruddin menyampaikan syukur atas ditemukannya makam tersebut. Penemuan ini sekaligus melengkapi prosesi penyerahan gelar adat Datuk Tan Malaka kepada Hengky Novaron Arsil, keponakan Ibrahim Tan Malaka dari garis keturunan ibu.
Selesai berdoa di pusara Ibrahim Tan Malaka, penyematan gelar dilakukan Hengky Novaron Arsil dengan melepas pakaian adatnya dan mengganti dengan pakaian raja warna kuning emas. Prosesi yang dinamai Basalin Baju ini merupakan simbol penyematan gelar Datuk Tan Malaka VII kepada Hengky Novaron. “Baju ini tak lekang oleh panas dan hujan,” kata Safruddin yang juga bergelar datuk.
Menurut dia, penyematan gelar raja ini harus dilakukan di makam almarhum Datuk Tan Malaka jika sudah wafat. Penyerahan atau pelimpahan gelar bisa juga dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan secara suka rela jika telah dianggap tak mampu lagi memegang tampuk kepemimpinan. Selama bertahun-tahun pemegang gelar Datuk Tan Malaka di Kabupaten Limapuluh Kota tak melalui proses ini. Penelusan sejarah yang dilakukan Harry A Poeze yang menemukan keberadaan makam Tan Malaka di Desa Selopanggung inilah yang kemudian menjadi dasar melakukan upacara adat di Kediri.
Peti Besi Peninggalan Tan Malaka
Selanjutnya, para keluarga dan ketua adat bergantian mengambil segenggam tanah kuburan Tan Malaka untuk dimasukkan ke dalam peti beralas kain kafan. Peti tersebut adalah peninggalan Ibrahim Tan Malaka yang disimpan di rumah kediamannya di Pandam Gadang yang hendak direnovasi menjadi museum. “Kami membawa tanah ini sebagai simbol pengambilan jasad yang tak mungkin kami gali,” kata Safruddin.
Dia berharap dengan pengambilan tanah ini akan mengakhiri polemik pemindahan makam Tan Malaka yang sempat terjadi antara Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota dengan Kabupaten Kediri. Apalagi masyarakat Desa Selopanggung juga menyatakan ingin tetap memelihara dan merawat makam tersebut bagian dari leluhur mereka.
Safruddin juga berharap Kementerian Sosial bisa memberikan hak-hak kepahlawanan Tan Malaka dan meluruskan sejarah putra Minang tersebut sebagai tokoh atheis atau tidak beragama. “Beliau memang berjuang bersama komunis untuk kemerdekaan bangsa, tetapi dia seorang Muslim yang taat,” tegasnya.
Wakil Bupati Kediri Masykuri juga mengikuti rangkaian prosesi tersebut. Bersama para tetua adat, dia berdoa di depan pusara Tan Malaka dengan tekun. Senada dengan Safruddin, Masykuri juga menyatakan telah mengakhiri polemik soal makam Tan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kementerian Sosial. “Kami bersama masyarakat Kediri mendukung penuh kegiatan ini,” kata Masykuri singkat. Cahya/Haris
Upacara Adat Dilakukan
di Makam Tan Malaka
Pegiat Tan Malaka Institute, Habib Monti, menjelaskan alasan proses upacara adat penyerahan gelar dilakukan di makam Tan Malaka. Sesuai tradisi, menurut dia, penyerahan gelar mutlak dilakukan di depan jasad Tan Malaka.
RATUSAN warga Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, hari ini, 21 Februari 2017, menggelar prosesi jemput gelar di makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Upacara adat ini dilakukan untuk melengkapi penyerahan gelar dari Datuk Tan Malaka ke-3 kepada Datuk Tan Malaka ke-7. “Almarhum adalah pemegang gelar Datuk Tan Malaka ketiga,” kata Waji, Kepala Desa Selopanggung menirukan kata-kata habib Monti yang dijelaskan pada Selasa 21 Februari 2017.
Gelar tersebut akan diberikan kepada Hengky Novaron Arsil, keponakan dari garis keturunan ibu yang mendominasi di adat Minang. Gelar itu diserahkan kepada keponakan Ibrahim Tan Malaka karena almarhum tidak memiliki istri dan anak. Karena itu, dewan adat dan keluarga memutuskan untuk menyerahkannya kepada kerabat dari garis ibu.
Masih menirukan kata Habib Monti, Waji menjelaskan, selama ini penyerahan gelar Datuk Tan Malaka kepada generasi penerusnya tidak pernah dilakukan secara komplit. Penyebabnya, penyerahan atau pelimpahan gelar tidak dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan atau dilakukan di hadapan pekuburan jika pemegang adat sudah meninggal. “Ini yang sekarang kita lakukan di Kediri,” katanya.
Selama bertahun-tahun pemegang gelar Datuk Tan Malaka di Kabupaten Limapuluh Kota tak melalui proses ini. Penelusuran sejarah yang dilakukan Harry A Poeze, yang menemukan keberadaan makam Tan Malaka di Desa Selopanggung inilah dasar melakukan upacara adat di Kediri.
Gelar Datuk Tan Malaka adalah pemegang kepemimpinan adat atas 142 Niniak Mamak atau penghulu (kepala kaum) di wilayah 3 Nagari (desa) dari 2 kecamatan Suliki dan Gunung Omeh di Kabupaten Limapuluh Kota. Tingginya gelar ini membuat rombongan dari Limapuluh Kota, Sumatera Barat, melakukan perjalanan menuju makam Tan Malaka sejak Kamis, 16 Februari 2017, menggunakan bus dan mobil pribadi.
Prosesi tersebut juga akan diakhiri dengan pengambilan segumpal tanah pekuburan untuk dibawa ke kampung halaman. Hal ini menjadi syarat pengambilan jenasah yang gagal dilakukan demi menjaga hubungan baik dengan masyarakat Kediri.
Pelaksanaan upacara adat ini mendapat dukungan penuh masyarakat desa setempat. Bahkan mereka ikut mempersiapkan acara mulai pemasangan spanduk hingga keperluan teknis lain. Warga bersyukur makam Tan Malaka tak jadi dipindahkan. “Kami akan merawat makam ini sebagai bagian dari leluhur desa,” kata Waji. Cahya/Haris
Kejadian Aneh di Makam Tan Malaka
Bisikan Gaib Sesepuh Desa
"Minggir, Minggir, Minggir, Minggir, Minggir !!!!!" teriakan histeris kata minggir berulang-ulang terdengar dari seorang remaja, dia berjalan mendekati pusara Tan malaka, kemudian tersadar dan terlihat bingung.
SUDAH banyak yang beranggapan, bahwasannya makam merupakan salah satu tempat yang sakral. Bukan sembarangan tempat yang bisa seenaknya dipindah-pindah, sudah banyak cerita mengenai kejadian-kejadian aneh diluar logika terjadi saat ada kegiatan untuk membongkar sebuah makam. Salah satunya yakni proses pemindahan makam Datuk Ibrahim Tan Malaka di lereng Gunung Wilis.
Ya, diceritakan oleh Kayat (60) yang saat itu turut menyaksikan prosesi pemindahan makam Tan Malaka. Beberapa peristiwa mistis terjadi saat prosesi pengambilan tanah perkuburan Tan Malaka di Kediri. Masyarakat Kabupaten Limapuluh Kota meyakini hal itu sebagai bentuk kesakralan acara tersebut.
Proses pengambilan gelar adat Datuk Tan Malaka dan tanah perkuburan sebagai pengganti jasad di makam Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, telah dilakukan. Ratusan warga Kabupaten Limapuluh Kota mendatangi makam di lereng Gunung Wilis untuk melakukan upacara adat. Meski berlangsung khidmat, sejumlah peristiwa mistis sempat menarik perhatian peserta upacara.
Peristiwa unik pertama terjadi ketika rombongan dan tokoh adat yang dipimpin Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan tiba di salah satu rumah warga di Desa Selopanggung. Rumah terakhir sebelum memasuki kawasan gunung menuju makam ini menjadi tempat singgah peserta upacara untuk bertemu dengan perangkat desa dan Wakil Bupati Kediri Masykuri Iksan.
Baru sejenak mereka duduk, seorang yang bernama Yusron, remaja peserta rombongan dari Limapuluh Kota, mendadak ngeloyor pergi meninggalkan rekan-rekannya. Tanpa pamit, dia berjalan sendiri menyusuri jalan setapak yang dipenuhi lumpur menuju kompleks pemakaman desa tempat pusara Tan Malaka. Tentu saja tidak ada yang memperhatikan, karena semua orang sedang fokus pada satu acara.
Hingga acara ramah-tamah dengan perangkat pemerintah Kediri usai, rombongan berjalan menuju makam menyusul langkah Yusron. Begitu tiba di kompleks makam yang menjorok ke ngarai, mereka mendapati Yusron tengah mencabuti rumput. Tak hanya mencabuti rumput di pusara Tan Malaka, remaja ini juga telah mencabut tandas hampir seluruh rumput yang berada di area makam.
Ketika ditanyai temannya, Yusron justru menyebut nama Mbah Suhut dan beringsut ke sebuah pusara lawas. Menurut warga setempat, lokasi yang ditunjuk Yusron benar merupakan makam Mbah Suhut, sesepuh desa yang meninggal puluhan tahun silam. Hal itu cukup mengejutkan warga di permakaman, karena sebelumnya Yusron belum pernah berkunjung ke Kediri ataupun ziarah ke makam itu.
Bahkan, saat prosesi pengambilan tanah perkuburan dilakukan ketua adat Minang, Yusron mendadak berdiri dari pusara Mbah Suhut sambil berteriak histeris mengucapkan "Minggir" berulang-ulang. Dia meminta jalan kepada orang-orang yang mengerumuni makam Tan Malaka untuk melihat dari dekat. Setelah diberi jalan dan tiba di dekat pusara Tan Malaka, pemuda itu langsung tersadar dan terlihat bingung.
Sebelumnya, saat bertamu di Pondok Pesantren Lirboyo, malamnya, Yusron mengaku didatangi seseorang yang menanyakan maksud kedatangan rombongannya. Dia mengira orang tersebut adalah warga setempat. Selanjutnya pria misterius itu meminta Yusron pergi ke makam untuk membersihkan makam dan mencabut rumput. "Saya langsung pergi ke sana," ujarnya. Sehingga terjadilah hal aneh tersebut.
Misteri Kopor Tua Tan Malaka
Sebuah kopor tua menjadi tempat tanah pekuburan Ibrahim Datuk Tan Malaka dalam upacara adat penobatan gelar Datuk Tan Malaka ke VII di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada Selasa 22 Februari 2017. Percaya tidak percaya, kopor milik Datuk Tan Malaka yang merupakan peninggalan orangtuanya itu memiliki cerita misteri.
Entah kebetulan atau bukan, setiap kendaraan yang ketempatan kopor logam penuh karat itu mendadak mogok. Insiden ngadat pertama kali terjadi saat rombongan yang terdiri empat unit bus baru bertolak dari Kabupaten Lima Puluh Kota. “Masih di Payakumbuh AC bus tiba tiba rusak dan mesin mati, “tutur Wakil Bupati Lima Puluh Kota Ferizal Ridwan seusai mengikuti acara peringatan haul Ibrahim Datuk Tan Malaka di Ponpes Lirboyo Kediri.
Awalnya tidak tebersit pikiran soal kopor tua itu. Apalagi setelah dilakukan perbaikan ringan mesin bus hidup kembali. Rombongan berpenumpang 150 orang (4 bus) itu harus tiba di Kediri sesuai jadwal. Namun kenyamanan itu tidak berumur lama. Bus mengalami mesin mati tanpa sebab jelas.
Setelah dilakukan otak atik kecil pada bagian mesin, bus kembali hidup. Kecurigaan mogok tanpa sebab akibat ulah kopor tua mulai tumbuh. Untuk memastikan asumsi itu, panitia memindahkan kopor ke bus lain. “Dan ternyata bus yang ketempatan kopor itu juga mogok. Begitu juga dengan bus lainya. Boleh percaya dan tidak, tapi kenyataanya seperti itu,“ terang Ferizal dengan tertawa.
Tidak ada kejadian aneh dari kopor tua itu selama upacara adat berlangsung. Keanehan kembali muncul saat bus rombongan yang ketempatan kopor Tan Malaka bertolak pulang ke Kabupaten Lima Puluh Kota. Baru menempuh jalan sekitar 12 kilometer dari Ponpes Lirboyo, AC bus tiba tiba mati. Diduga akibat panas, asap mengepul dari bagian mesin bus dan berakibat matinya mesin.
Melihat gejala kebakaran, para penumpang rombongan sontak panik, dan berebut keluar dari kendaraan. Insiden yang terjadi di jembatan Semampir Kota Kediri berlangsung sekitar pukul 23.00 WIB. Malam itu Wabup Ferizal memutuskan membatalkan perjalanan pulang. Dia tidak berani berspekulasi sebelum ada kepastian bus dalam kondisi yang benar-benar bagus. Sebagai solusi, peserta rombongan kembali menginap di Kediri. Cahya/Haris
Biografi Tan Malaka
Membujang Hingga Akhir Hayat
Lahir : 2 Juni 1897, Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, Hindia Belanda
Meninggal : 21 Februari 1949 (umur 51), Kediri, Jawa Timur
Kebangsaan : Indonesia
Almamater : Rijks Kweekschool, Haarlem, Belanda
Pekerjaan : Guru dan pemimpin Partai Komunis Indonesia
Dikenal karena : Pahlawan Nasional Indonesia
Agama : Islam
Orang tua : Rasad Caniago (ayah), Sinah Simabur (ibu)
Banyak sumber mengatakan bahwasannya tokoh misterius yang satu ini sangat terkenal dengan pemikiran pemikirannya yang revolusioner dan berhaluan kiri, Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka yang lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat tanggal 2 Juni 1897, ia wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949. Beliau adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba.
Sebagai sosok Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris namun pemerintah ketika itu menganggap dirinya sebagai pemberontak dan harus dilenyapkan.
Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.
Kumpulkan Pemuda Komunis
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Putus Hubungan Dengan PKI
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya.
Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjuangan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Proklamasikan PARI
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Lokasi Hilangnya Tan Malaka
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.
Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan.
Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.
Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah 3 kali jatuh cinta, yaitu di Belanda, Filipina, dan Indonesia. Di Belanda, Tan Malaka dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg, mahasiswa kedokteran yang kerap berdatang ke rumah kost-nya. Sementara di Filipina, ada seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan rektor Universitas Manila. Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi. Alasan Tan Malaka tidak menikah adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Cahya/Haris