Minggu, 17 September 2017
Kisah Sunan Purwo
Kisah Sunan Purwo dari Kerajaan Galuh Sunda
Menyebarkan Islam sebelum Datangnya Walisongo
Sunan Purwo merupakan seorang pangeran yang kemudian menjadi seorang raja. bahkan sebagai orang yang pertama menyebarkan ajaran Islam sebelum datangnya Syekh datul Kahfi dan Sunan Gunung Jati. bagaimana kisahnya. Berikut ini.
Nama Sunan Purwo adalah Pangeran Bratalegawa adalah pemeluk agama islam yang pertama di kerajaan Galuh Jawa Barat. Ia merupakan putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371) di Sunda.
Sejak kecil memang suka berhitung dan melakukan perjalanan jauh. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu perdagangan. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang suka belajar ilmu kanoragan.
Oleh karena itu, ia sering turun ke desa-desa untuk berdagang. Bahkan ikut berlayar bersama punggawa kerajaan Galuh. Ia melihat banyak orang-orang Arab yang berdagang di pinggir pantai. Kemudian ia belajar dan mempraktekkan ilmu perdagangannya. bahkan menjadi seorang saudagar yang kaya raya.
Dengan demikian, Pangeran Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar daripada menjadi seorang ahli pemerintahan.
Kemudian ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Hal ini karena Sunda dan Cirebon menjadi pusat pelabuhan internasional. Dimana seluruh bangsa asing singgah di pelabuhan tersebut guna melakukan kegiatan berdagang.
Perjalanan yang disukai pageran Galuh adalah ketika berlayar di negeri Arab. Karena waktu itu Arab telah menguasai perdagangan dunia. Khususnya diwilayah laut.
Diantara kesibukannya i a menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam.
Perkawinan inilah yang menjadika ia menunaikan Ibadah Haji. Sejak itulah menjadi muslim yang taat dan menyebarkan agama Islam dimanapun berada, baik dalam lingkungan istana kerajaan maupun lingkungan masyarakat.
Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Sunan Purwa. Orang-orang lingkungan keraton menyebutkan demikian itu. Istilahnya orang yang terhormat didalam bidang agama Islam.
Setelah menunaikan ibadah haji, Sunan Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi untuk melakukan dakwah.
Orang yang didakwahi pertama kali adalah nemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.
Baginya tidak mempermasalahkan kalau kakaknya tidak mau memeluk agama Islam. Masih ada jalan lain untuk melakukan penyebaran agama Islam diwilayah Sunda. Sebab strategi dakwah 1000 macam.
Ditengah-tengah menjalankan dakwah yang begitu sulit, Ia mendapat tugas menduduki jabatan sebagai seorang raja menggantikan kakaknya. yaitu Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.
Memberi Tanah Wali
Baginya menjadi raja merupakan kesempatan untuk melaksanakan penyebaran Islam di tanah Sunda lebih intensif lagi. Oleh karena itu, setelah ia menjadi raja di kerajaan Sunda mebuka lebar-lebar kedatangan ulama-ulama dari Persia setelah tinggal cukup lama di kerajaan Malaka.
Sejak Sunan Purwa menjadi raja banyak saudagar-saudagar dan ulama muslim tinggal di kerajaan Galuh dan Cirebon. Mereka tidak dilarang menyebarkan ajaran Islam secara terang-terangan. Bahkan diberi tanah perdikan sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Dari pemberian dan kelonggaran penyiaran agama Islam di kerajaan Galuh inilah, makin lama kelamaan banyak keluarga. Diantaranya Raden Walangsungsang, Rarasantang dan masyarakat Cirebon. HUSNU MUFID
.
Sunan Kuning Tulungagung
Kisah Sunan Kuning Menyebarkan Islam di Tulungagung
Mengislamkan Penyembah Batu dan Pohon
Zaenal Abidin merupakan tokoh penyebar agama Islam di kawasan barat dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Masyarakat luas menyebutnya dengan sebutan Sunan Kuning. Siapakah dia sebenarnya. Berikut ini kisahnya.
Nama asli Sunan Kuning adalah Zainal Abidin berasal dari Jawa Tengah. Ketika usia muda nyantri di Pondok Pesantren yang dipimpin Kiai Mohammad Besari, tokoh ulama yang cukup ternama dan disegani asal Jetis, Ponorogo. Waktu itu iam mendapat tanah perdikan dari Sunan Pakubuwono II dari Keraton Surakarta.
Selama menjadi santri, termasuk santri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Karena mampu menguasai ilmu agama Islam secara menyeluruh mulai tafsir, hadis, al qur'an dan kitab-kitab kuning.
Usai menuntut ilmu di Kota Reog, itu Sunan Kuning diberikan tugas atau amanat untuk menyebarkan agama Islam di daerah timur. Yakni, Tulungagung dan sekitarnya, termasuk Blitar dan Kediri. Karena 3 daerah tersebut masih banyak yang belum memeluk agama Islam. mengingat dulunya merupakan wilayah kekuasaa kerajaan Kediri dan Majapahit.
Zainal Abidin diyakini menginjakkan kaki di Tulungagung sekitar tahun 1727 silam. Kedatangannya beliau dikuatkan oleh sumber dari buku Sejarah dan Babat Tulungagung yang diterbitkan di oleh Pemkab Tulungagung,
Perlu diketahui bahwa, sebelum Desa Macanbang seperti sekarang ini, dulunya merupakan kawasan hutan belantara yang sangat angker. Selain dihuni banyak binatang buas, juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus yang amat menyeramkan. Saking angkernya, tidak setiap manusia berani merambahnya. Ibaratnya, jalma mara, jalma mati. Artinya, siapa yang berani merambah hutan ini, hampir bisa dipastikan akan pulang tinggal nama
"Di daerah Tulungagung pada waktu tersebut, masih hutan belantara. pohon-pohon besar masih banyak.Sehingga memungkinkan untuk warga mengkeramatkan hingga melakukan penyembahan. Hal itulah yang memicu hati Sunan Kuning untuk meluruskan,"ungkap Kiai Suud salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Fatah Tulungagung..
Kedatangannya di Tulungagung Zaenal Abidin diikuti santri-santrinya mengajarkan kepada warga Tulungagung dan sekitar, untuk memeluk agama Islam secara utuh. Tetapi ada saja halangan. Termasuk hinaan atau dipandang miring dari masyarakat yang belum memeluk agama Islam. Bahkan ada penentangan secara halus.
Halangan dan hinaan tidak membuat Sunan Kuning menyerah begitu saja. ia tetap terus menyebarkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat yang masih menyembah batu dan pohon.
Model dakwahnya dengan cara-cara yang santun. Lebih banyak memberikan contoh daripada berbicara. kalau berbicara hanya dengan santri-santrinya yang belajar kepadanya. Tidak ada cacian maupun hujatan kepada pemeluk agama dan keparcayaan lain. Hingga akhirnya banyak umat Islam yang memeluk agama Islam.
Setelah banyak pengukutnya, Sunan Kuning mendirikan sebuah masjid untuk kegiatan belajar agama Islam dan shalat berjamaah. Saat itupula kondisi umat Islam mulai tertata dan tidak ada yang menghalangi di daerah Bonorowo waktu itu. Masjid Macanbang sendiri dibangun tanpa kubah, juga tanpa menara. Atapnya seperti kebanyakan bangunan joglo. Hanya saja bersusun tiga. Sepintas, seperti masjid zaman kerajaan Demak.
Dulu, di depan masjid terdapat kubahan batu besar yang menyerupai kolam. Bahkan, tembok-tembok pagar batu bata mirip batu candi yang berukuran besar. Tembok pagar tersebut hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Sementara kubangan kini telah tiada.
Di masjid, juga terdapat bebera benda kuno yang diperkirakan peninggalan Sunan Kuning. Benda-benda yang dimaksud, antara lain berupa mimbar tempat berkhotbah, dampar untuk tadarusan, kentongan serta bedhug. Benda-benda ini, hingga sekarang masih bisa didapati. Hanya saja, untuk mimbar tempat berkhotbah dan dampar untuk tadarusan, warnanya sudah tidak asli lagi. Kesannya, baru dicat dengan warna hijau.
Selama sekian tahun berdakwah di Tulungagung akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di belakang masjid. di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang. Tulungagung.
Makamnya
Makam Sunan Kuning dalam perkembangannya menjadi salah satu tempat yang ramai diziarahi. Terutama di malam Jumat Legi. Tak hanya dari Tulungagung dan sekitarnya, tetapi juga dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maklum, Zainal Abidin konon berasal dari Jawa Tengah
Makam Sunan Kuning nyaris tak pernah sepi dari peziarah. Menurut Dulgani, hampir setiap hari peziarah itu selalu ada. Hanya saja, jumlahnya tidak pasti. Di hari-hari tertentu, memang terjadi lonjakan peziarah. Ledakan pengunjung ini, biasa terjadi pada malam Jumat Legi atau pada tanggal 1 Suro. Para peziarah itu datang dari berbagai pen- juru daerah untuk ngalab berkah.
Makam Sunan Kuning dan para pengikutnya sendiri berada dalam sebuah bangunan cungkup. Untuk menziarahinya, seseorang harus melalui sebuah pintu khusus. Di- katakan pintu khusus, karena tinggi pintu cungkup tersebut tidak lazim. Saking tidak lazimnya, peziarah harus membungkuk untuk bisa melewati pintu tersebut. HUSNU MUFID
Senin, 04 September 2017
Sunan Mageling Sakti
Kisah Sunan Arifin Syam Mencari Guru Sejati
Diperintah Nabi Khidir Berguru ke Jawa .
Sunan Arifin Syam adalah seorang pemuda ingin mencari guru. Tapi tidak ada yang bersedia menjadi gurunya. Hingga akhirnya menemukan seorang guru di Pulau Jawa. Berikut ini kisahnya.
Arifin Syam adalah putra dari kepala bagian pembesar istana dibawah kekuasaan Raja Hut Mesir. Beliau sejak bayi telah ditinggalkan oleh ayah bundanya kehadirat Allah SWT. Nama Arifin Syam sendiri diambil dari kota dimana beliau dibesarkan kala itu yaitu Negara Syam.
Dalam keumuman manusia seusianya, Arifin Syam dikenal sangat pendiam namun pintar dalam segi bahasa bahkan saking pintarnya beliau sudah terkenal sejak usia 7 tahun dengan panggilan sufistik kecil dikalangan guru dan pendidik lainnya. Karena pintar inilah beliau banyak diperebutkan kalangan guru besar diseluruh negara bagian Timur Tengah, dan sejak usia 11 tahun beliau telah menempatkan posisinya sebagai pengajar termuda diberbagai tempat ternama seperti Madinah, Mekkah, Istana Raja Mesir, Masjidil Aqso Palestina dan berbagai tempat ternama lainnya.
Di usia 30 tahun beliau diambil oleh Istana Mesir dan menjadi panglima perang dalam mengalahkan pasukan Romawi dan Tartar.
dengan menggunakan rambutnya. yang seperti kawat baja.
Kisah kesaktian rambutnya mulai mashur di usia 32 tahun dan pada usia 34 tahun beliau bertemu secara yakodho / lahir dengan Nabiyullah Hidir AS yang mengharuskan beliau mencari guru mursyid sebagai pembimbingnya menuju maqom kewalian kamil. Kisah pertemuan dengan Nabiyullah Hidir AS membuat beliau meninggalkan istana Raja Mesir.
Dengan perbekalan makanan dan ratusan kitab yang dibawanya, Arifin Syam mulai mengarungi belahan dunia dengan membawa perahu jukung (Perahu getek) seorang diri, beliau mulai mendatangi beberapa ulama terkenal dan singgah untuk mengangkatnya menjadikan muridnya. Namun walau begitu banyaknya para Waliyullah yang beliau datangi, tidak satu pun dari mereka yang menerimanya, mereka malah berbalik berkata "Sesungguhnya akulah yang meminta agar menjadi muridmu wahai sang Waliyullah"
Dengan kekecewaan yang mendalam, Arifin Syami mulai meninggalkan mereka untuk terus mencari Mursyid yang diinginkannya hingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang pertapa sakti bangsa Sanghiyang bernama Resi Purba Sanghiyang Dursasana Prabu Kala Sengkala di perbatasan sungai selat Malaka.
Dengan perkataan sang Resi barusan, Arifin Syam sangat senang mendengarnya dan setelah pamit beliaupun langsung meneruskan perjalanannya menuju pulau Jawa.
Setelah sampai dilaut pulau Jawa, beliau akhirnya singgah disalah satu pedesaan sambil tiada hentinya bertafakkur memohon kepada Allah SWT, untuk cepat ditemukan dengan Mursyid yang diinginkannya, tepatnya pada malam jum’at kliwon ditengah heningnya malam yang sunyi tiba-tiba beliau dikejutkan oleh suara uluk salam dari seseorang "Assalamu’alaikum Ya Akhi min Ahli Wilyah" lalu beliau pun dengan gugup menjawabnya " Wa’alaikum salam Ya Nabiyulloh Hidir AS yang telah membawaku ke pintu Rohmatallil’alamiin.
Lima tahun sudah Ananda mencari riddhoku dan kini ananda telah mencapainya, datanglah ke kota Cirebon dan temuilah Syarif Hidayatulloh, sesungguhnya dialah yang mempunyai derajat raja sebagai Maqom Quthbul Mutkhlak, terang Nabiyulloh Hidir AS, sambil menghilang dari pandangannya. Dengan semangat yang menggebu beliau langsung mengayuh jukungnya menuju kota Cirebon yang dimaksud, sedangkan ditempat lain Syarif Hidayatulloh / Sunan Gunung Jati yang sudah mengetahui kedatangan Moh. Syam Magelung Sakti lewat Maqomnya saat itu beliau langsung mengutus uwaknya sekaligus mertuanya Mbah Kuwu Cakra Buana untuk menjemputnya di pelabuhan laut Cirebon.
Sesampainya ditempat dimana Sunan Gunung Jati memerintahkannya. Mbah Kuwu tidak langsung menghadapkannya kepada Kanjeng Sunan, melainkan mengujinya terlebih dahulu, hal semacam ini bagi pemahaman ilmu tauhid disebut "Tahkikul ‘Ubudiyyah Fissifatir Robbaniah / meyakinkan seorang Waliyulloh pada tingkat ke Walian diantara hak dan Nur Robbani yang dipegangnya.
Setelah Moh. Syam sudah berada dihadapan Mbah Kuwu Cakra Buana, beliau langsung uluk salam menyapanya " wahai kisanak, taukah anda dimana saya harus bertemu dengan Sunan Gunung Jati? namun yang ditanya malah mengindahkan pertanyaannya dan balik bertanya.. " sudahkah kisanak sholat dhuhur, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh? terang Mbah Kuwu.
Ditanya seperti itu Moh. Syam langsung mengangguk mengiyakan bahwa memang dirinya belum melaksanakan sholat dhuhur, lalu Mbah Kuwu mengambil satu bumbung kecil yang terbuat dari bambu "Masuklah dan sholat berjamaah denganku" Sambil terheran-heran Moh. Syam mengikuti langkah manusia aneh dihadapannya yang tak lain adalah Mabh Kuwu Cakra Buana, masuk kedalam bumbung bambu yang ternyata dalamnya sangat luas dan bertengger Musholla besar yang sangat anggun, setelah usai sholat Mbah Kuwu mengajaknya menuju kota Cirebon, namun sebelum sampai ketempat tujuan atas hawatif yang diterimanya dari sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu memotong rambutnya dan langsung menghilang dari hadapan Arifin Syam. HUSNU MUFID
Sunan Kalijogo Naik Haji
Kisah Sunan Kalijaga Gagal Naik Haji
Ditengah Perjalanan Dihentikan Nabi Khidir
Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang merakyat. Setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng. Kemudian berkeinginan menunaikan ibdah haji ke Makkah. Namun tidak jadi karena nabi Khidir melarangnya sebelum memiliki ilmu agama islam secara sempurna. Berikut ini
Suatu hari Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan Mekkah yang sejati ada dalam diri sendiri.
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke kiblat yang ada di dalam diri. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga.
Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat Akulah sejati. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, Jagad Walikan Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai kebaikan dan kebenaran masihlah pemahaman yang dangkal. Apa yang kita anggapter baik didunia ternyata tidak ada apa-apanya dan sangat rendah nilainya.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat.
Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah bertawaf berkeliling ke rumah Allah, berkeliling bahkan masuk ke Aku Sejati dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di Kakinya Yang Mulia. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai Insan Kamil yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Selanjutnya Nabi Khidir. Kanjeng Nabi Khidir berkata kepada Sunan kalijaga, Matahari berbeda dengan Bulan. Perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat ( melihat dengan mata telanjang ) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata.
Maka dari itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, asli dari Allah. Sesungguhnya Allah itu, allah yang hidup. Segala afalnya (perbuatanya) adalah bersal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati. Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairat (mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuked ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Menerima Ilmu Hakekat
Sunan Kalijaga berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT. Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa meserangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuat’ Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir. HUSNU MUFID
Sunan Kalijogo dan Ki Ageng Pemanahan
Kisah Sunan Kalijaga Diawal Berdirinya Kerajaan Mataram
Sarankan Hutan Mentaok Diberikan Ki Pemanahan
Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang memiliki usia cukup panjang. Hingga akhirnya ikut andil dalam mendirikan kerajaan Mataram di hutan mentaok hadiah dari Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang. Bagaimanakah kisahnya.
Setelah perang berakhir dan kerajaan Pajang berdiri, bukannya Ki Pamanahan resah bercampur kecewa. Bumi Mentaok sebagai hadiah sayembara dalam mengalahkan Aryo Penangsang belum juga diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya,
Sultan Pajang. Sultan terkesan mengulur, menunda-nunda atas pemberian hadiah tersebut. Padahal, tanah Pati yang menjadi satu paket dalam hadiah sayembara tersebut sudah diserahkan ke Ki Penjawi, sepupu Ki Pamanahan.
Ki Pamanahan benar-benar sangat kecewa, karena kesetiaan, pengabdian yang selama ini ia lakukan seolah-olah diabaikan begitu saja oleh Sultan Hadiwijaya. Pengorbanan demi kewibawaan Kasultanan Pajang yang ia lakukan tatkala tidak satupun orang Pajang yang berani melawan Aryo Penangsang, Adipati Jipang yang sakti mandraguna.
Meskipun sangat kecewa, Pamanahan tidak mau melakukan pemberontakan pada Hadiwijaya. Dia lebih memilih bertapa di dusun Kembang Lampir guna mendekatkan diri pada Tuhan demi meminta keadilan atas nasibnya.
Sunan Kalijaga seorang waliyullah anggota Dewan Wali Songo mengetahui kesedihan Pamanahan tersebut. Sang Sunan yang menjadi panutan masyarakat Jawa tersebut kemudian menjadi mediator mempertemukan Pamanahan dengan Hadiwijaya. Hadiwijaya akhirnya menyerahkan bumi Mentaok pada Pamanahan dengan syarat Pamanahan mengucapkan sumpah-setia pada Pajang.
Setelah mendapatkan hutan Mentaok berkat campur tangan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan mengajak 150 orang Selo migrasi ke hutan Mentaok. Sebelum menuju Mataram, mereka ijin dulu ke Pajang. Dalam perjalanan, mereka mampir di Dusun Taji. Oleh sesepuh desa Taji, Ki Ageng Karang Lo, rombongan Selo itu mendapatkan jamuan makan yang memuaskan. Sebagai bukti kesetiaan, Ki Ageng Karang Lo mengantar rombongan Selo hingga hutan Mentaok. Di tengah perjalanan, mereka bertemu Sunan Kalijaga yang sedang mandi di sungai.
Ki Pamanahan dan Ki Ageng Karang Lo segera mendekat dan mencuci kaki Guru Agung Tanah Jawa tersebut. Karena kebaikan keduanya, maka Sunan Kalijaga berkata, “Anak keturunan Karang Lo kelak akan hidup mulia bersama anak turunan Pamanahan, tapi tak boleh menyandang gelar “Raden” atau “Mas”, dan tidak boleh menaiki tandu.”
Sampailah rombongan Selo itu di hutan Mentaok. Dengan kerja keras tiada henti, hutan lebat itu diubah menjadi pemukiman yang ramai, Mataram namanya. Sebuah dusun yang kaya akan hasil beras dan kayunya. Ki Pamanahan diangkat sebagai sesepuh Mataram dengan gelar Ki Ageng Mataram.
Kemudian Ki Pamanahan memberikan wasiat kepada sanak-kerabatnya, diantaranya: jika anak-cucunya berkuasa, agar menempatkan posisi secara mulia kepada kerabat Mataram (Selo) yang telah mbabat alas hutan Mentaok menjadi Mataram. Kedua, kalau suatu saat Mataram akan ekspansi ke Bang Wetan (daerah pesisir Jawa Timur) hendaknya dilakukan pada hari Jum’at Pahing bulan Muharram, sama dengan hari penghadapan Sunan Giri di Japanan. Ketiga, dalam penaklukan Bang Wetan hendaknya tidak melewati Gunung Kendeng.
Tidak lama kemudian Ki Ageng Mataram jatuh sakit. Dia akhirnya wafat tahun 1584. Sebelum meninggalnya, Ki Ageng Mataram kembali memberikan wasiat; menitipkan anak-anaknya ke Ki Juru Martani, sepupu sekaligus iparnya. Kedua, menunjuk Sutawijaya, Raden Ngabehi Loring Pasar untuk menggantikan keududukannya. Ketiga, agar Sutawijaya tetap mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Mataram. Keempat, agar anak-anaknya yang lain (Raden Jambu, Raden Santri, Raden Tompe, dan Raden Kedawung) patuh dan taat pada Ki Juru Martani
Topo Ngeli
Sepeninggal Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pamanahan), Sutawijaya memimpin Kademangan Mataram. Kemudian melakukan melakukan tapa ngeli dengan mengikat tubuhnya pada sebilah papan dari kayu jati tua (Tunggul Wulung), dia membiarkan tubuhnya terhanyut di Kali Opak Kemudian naik di atas ikan Olor yang dulu pernah diselamatkannya dari seorang nelayan. Begitu sampai di Laut Kidul, Senopati berdiri tegak di tepian ombak lautan kidul itu.
Datanglah ombak besar, angin menderu membuat gelombang badai. Selama tujuh hari tujuh malam badai itu berlangsung. Senopati tetap tegar berdiri melanjutkan tapanya. Melihat hal tersebut, datanglah Sunan Kalijaga, Wali Agung Tanah Jawa.
Wali anggota Dewan Wali Songo tersebut menasehati Senopati agar tidak sombong dengan memamerkan kesaktiannya seperti itu karena Allah bisa tidak suka. Senopati mengajak Sunan Kalijaga karena sang Sunan ingin melihat kemajuan Mataram. Sesampai di Mataram, Sunan Kalijaga menasehati agar Senopati membangun pagar rumah sebagai bentuk ketawakalan kepada Allah. Sang Sunan juga menyarankan agar Senopati membuat pagar bumi jika akan mendirikan rumah. Juga Sunan menyarankan agar rakyat Mataram membuat batu bata sebagai bahan membangun kota raja.
Sunan Kalijaga kemudian mengambil tempurung berisi air. Dituangkanlah air itu seraya berkeliling dan berdzikir. Sang Sunan berpesan, “ Kelak jika engkau membangun kota, maka ikutilah tuangan airku ini”. Sang Sunan kemudian berpamitan HUSNU MUFID
Sarankan Hutan Mentaok Diberikan Ki Pemanahan
Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang memiliki usia cukup panjang. Hingga akhirnya ikut andil dalam mendirikan kerajaan Mataram di hutan mentaok hadiah dari Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang. Bagaimanakah kisahnya.
Setelah perang berakhir dan kerajaan Pajang berdiri, bukannya Ki Pamanahan resah bercampur kecewa. Bumi Mentaok sebagai hadiah sayembara dalam mengalahkan Aryo Penangsang belum juga diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya,
Sultan Pajang. Sultan terkesan mengulur, menunda-nunda atas pemberian hadiah tersebut. Padahal, tanah Pati yang menjadi satu paket dalam hadiah sayembara tersebut sudah diserahkan ke Ki Penjawi, sepupu Ki Pamanahan.
Ki Pamanahan benar-benar sangat kecewa, karena kesetiaan, pengabdian yang selama ini ia lakukan seolah-olah diabaikan begitu saja oleh Sultan Hadiwijaya. Pengorbanan demi kewibawaan Kasultanan Pajang yang ia lakukan tatkala tidak satupun orang Pajang yang berani melawan Aryo Penangsang, Adipati Jipang yang sakti mandraguna.
Meskipun sangat kecewa, Pamanahan tidak mau melakukan pemberontakan pada Hadiwijaya. Dia lebih memilih bertapa di dusun Kembang Lampir guna mendekatkan diri pada Tuhan demi meminta keadilan atas nasibnya.
Sunan Kalijaga seorang waliyullah anggota Dewan Wali Songo mengetahui kesedihan Pamanahan tersebut. Sang Sunan yang menjadi panutan masyarakat Jawa tersebut kemudian menjadi mediator mempertemukan Pamanahan dengan Hadiwijaya. Hadiwijaya akhirnya menyerahkan bumi Mentaok pada Pamanahan dengan syarat Pamanahan mengucapkan sumpah-setia pada Pajang.
Setelah mendapatkan hutan Mentaok berkat campur tangan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan mengajak 150 orang Selo migrasi ke hutan Mentaok. Sebelum menuju Mataram, mereka ijin dulu ke Pajang. Dalam perjalanan, mereka mampir di Dusun Taji. Oleh sesepuh desa Taji, Ki Ageng Karang Lo, rombongan Selo itu mendapatkan jamuan makan yang memuaskan. Sebagai bukti kesetiaan, Ki Ageng Karang Lo mengantar rombongan Selo hingga hutan Mentaok. Di tengah perjalanan, mereka bertemu Sunan Kalijaga yang sedang mandi di sungai.
Ki Pamanahan dan Ki Ageng Karang Lo segera mendekat dan mencuci kaki Guru Agung Tanah Jawa tersebut. Karena kebaikan keduanya, maka Sunan Kalijaga berkata, “Anak keturunan Karang Lo kelak akan hidup mulia bersama anak turunan Pamanahan, tapi tak boleh menyandang gelar “Raden” atau “Mas”, dan tidak boleh menaiki tandu.”
Sampailah rombongan Selo itu di hutan Mentaok. Dengan kerja keras tiada henti, hutan lebat itu diubah menjadi pemukiman yang ramai, Mataram namanya. Sebuah dusun yang kaya akan hasil beras dan kayunya. Ki Pamanahan diangkat sebagai sesepuh Mataram dengan gelar Ki Ageng Mataram.
Kemudian Ki Pamanahan memberikan wasiat kepada sanak-kerabatnya, diantaranya: jika anak-cucunya berkuasa, agar menempatkan posisi secara mulia kepada kerabat Mataram (Selo) yang telah mbabat alas hutan Mentaok menjadi Mataram. Kedua, kalau suatu saat Mataram akan ekspansi ke Bang Wetan (daerah pesisir Jawa Timur) hendaknya dilakukan pada hari Jum’at Pahing bulan Muharram, sama dengan hari penghadapan Sunan Giri di Japanan. Ketiga, dalam penaklukan Bang Wetan hendaknya tidak melewati Gunung Kendeng.
Tidak lama kemudian Ki Ageng Mataram jatuh sakit. Dia akhirnya wafat tahun 1584. Sebelum meninggalnya, Ki Ageng Mataram kembali memberikan wasiat; menitipkan anak-anaknya ke Ki Juru Martani, sepupu sekaligus iparnya. Kedua, menunjuk Sutawijaya, Raden Ngabehi Loring Pasar untuk menggantikan keududukannya. Ketiga, agar Sutawijaya tetap mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Mataram. Keempat, agar anak-anaknya yang lain (Raden Jambu, Raden Santri, Raden Tompe, dan Raden Kedawung) patuh dan taat pada Ki Juru Martani
Topo Ngeli
Sepeninggal Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pamanahan), Sutawijaya memimpin Kademangan Mataram. Kemudian melakukan melakukan tapa ngeli dengan mengikat tubuhnya pada sebilah papan dari kayu jati tua (Tunggul Wulung), dia membiarkan tubuhnya terhanyut di Kali Opak Kemudian naik di atas ikan Olor yang dulu pernah diselamatkannya dari seorang nelayan. Begitu sampai di Laut Kidul, Senopati berdiri tegak di tepian ombak lautan kidul itu.
Datanglah ombak besar, angin menderu membuat gelombang badai. Selama tujuh hari tujuh malam badai itu berlangsung. Senopati tetap tegar berdiri melanjutkan tapanya. Melihat hal tersebut, datanglah Sunan Kalijaga, Wali Agung Tanah Jawa.
Wali anggota Dewan Wali Songo tersebut menasehati Senopati agar tidak sombong dengan memamerkan kesaktiannya seperti itu karena Allah bisa tidak suka. Senopati mengajak Sunan Kalijaga karena sang Sunan ingin melihat kemajuan Mataram. Sesampai di Mataram, Sunan Kalijaga menasehati agar Senopati membangun pagar rumah sebagai bentuk ketawakalan kepada Allah. Sang Sunan juga menyarankan agar Senopati membuat pagar bumi jika akan mendirikan rumah. Juga Sunan menyarankan agar rakyat Mataram membuat batu bata sebagai bahan membangun kota raja.
Sunan Kalijaga kemudian mengambil tempurung berisi air. Dituangkanlah air itu seraya berkeliling dan berdzikir. Sang Sunan berpesan, “ Kelak jika engkau membangun kota, maka ikutilah tuangan airku ini”. Sang Sunan kemudian berpamitan HUSNU MUFID
Sunan Gunung Jati Naik Haji
Kisah Sunan Gunung Jati Menunaikan Ibadah Haji
Uang Pemberian Ibunya Dirampok Penyamun
Sosok Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah begitu dikenal oleh warga Cirebon karena merupakan salah satu tokoh wali songo yang menjadi teladan hingga saat ini.Dia merupakan satu-satunya Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat yang lahir sekitar tahun 1450. Berikut ini.
Ayah Sunan Kalijogo adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai ulama besar di Hadramaut. Yaman. Bahkan silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Sedangkan ibunya adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Mudaim) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana.
Banyak cerita mengenai karomah Sunan Gunung Jati sebagaimana diceritakan dalam Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon.
Konon suatu ketika, Syarif Hidayatullah muda hendak menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Dia dibekali oleh ibunya uang sejumlah seratus dirham. Di tengah perjalanan, dia dihadang sekelompok perampok.
Tanpa basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, dia berikan kepada para penyamun tersebut.
Para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa dia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikan. Mereka lalu terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya.
Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon.
“Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya berubah menjadi emas. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif Hidayatullah.
Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mesir. Ketika berangkat dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu, tetapi dia justru berjalan di atas air laut.
Sepulang dari Mesir menuju ke Kesultanan Demak Bintoro. Sunan Gunung Jati ikut andil dalam peperangan. Peristiwa itu terjadi saat peperangan antara pasukan Demak dengan para tentara Majapahit.
Surban Sakti
Dalam peristiwa tersebut, diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah dikibaskan, maka muncul bala tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya menyerang bala tentara Majapahit sehingga mereka panik dan berantakan.
Selanjutnya menuju Cirebon, Syarif Hidayatullah bertanya kepada Pangeran Kuningan tentang cara-cara mengIslamkan raja-raja Pasundan.
Pada waktu itu Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya memiliki suatu jimat yang dapat mendatangkan bala tentara yang banyak dengan cara mengumpulkan kerikil dan jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu tirta bala.
Setelah itu tiba-tiba muncul bala tentara yang sangat banyak dan memenuhi alun-alun Cirebon.
Peristiwa ini menimbulkan rasa kaget dan heboh di kalangan penduduk Cirebon. Lalu Syarif Hidayatullah membacakan doa tolak bala. Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran Kuningan itu seketika hilang dan kembali ke asalnya. HUSNU MUFID
Uang Pemberian Ibunya Dirampok Penyamun
Sosok Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah begitu dikenal oleh warga Cirebon karena merupakan salah satu tokoh wali songo yang menjadi teladan hingga saat ini.Dia merupakan satu-satunya Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat yang lahir sekitar tahun 1450. Berikut ini.
Ayah Sunan Kalijogo adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai ulama besar di Hadramaut. Yaman. Bahkan silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Sedangkan ibunya adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Mudaim) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana.
Banyak cerita mengenai karomah Sunan Gunung Jati sebagaimana diceritakan dalam Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon.
Konon suatu ketika, Syarif Hidayatullah muda hendak menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Dia dibekali oleh ibunya uang sejumlah seratus dirham. Di tengah perjalanan, dia dihadang sekelompok perampok.
Tanpa basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, dia berikan kepada para penyamun tersebut.
Para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa dia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikan. Mereka lalu terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya.
Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon.
“Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya berubah menjadi emas. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif Hidayatullah.
Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mesir. Ketika berangkat dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu, tetapi dia justru berjalan di atas air laut.
Sepulang dari Mesir menuju ke Kesultanan Demak Bintoro. Sunan Gunung Jati ikut andil dalam peperangan. Peristiwa itu terjadi saat peperangan antara pasukan Demak dengan para tentara Majapahit.
Surban Sakti
Dalam peristiwa tersebut, diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah dikibaskan, maka muncul bala tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya menyerang bala tentara Majapahit sehingga mereka panik dan berantakan.
Selanjutnya menuju Cirebon, Syarif Hidayatullah bertanya kepada Pangeran Kuningan tentang cara-cara mengIslamkan raja-raja Pasundan.
Pada waktu itu Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya memiliki suatu jimat yang dapat mendatangkan bala tentara yang banyak dengan cara mengumpulkan kerikil dan jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu tirta bala.
Setelah itu tiba-tiba muncul bala tentara yang sangat banyak dan memenuhi alun-alun Cirebon.
Peristiwa ini menimbulkan rasa kaget dan heboh di kalangan penduduk Cirebon. Lalu Syarif Hidayatullah membacakan doa tolak bala. Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran Kuningan itu seketika hilang dan kembali ke asalnya. HUSNU MUFID
Sunana Kudus Merayakan Idhul Adha
Kisah Sunan Kudus Merayakan Idhul Adha
Kurban Kerbau Demi Hormati Umat Hindu
Nama kecil Sunan Kudus Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Tiap tahun berkurban kerbau dan bukan sapi. Mengapa? Berikut ini kisahnya.
Sunan Kudus merupakan seorang Wali yang memiliki wawasan dan ahli strategi dalam menyebarkan agama Islam. Ia: sangat toleran pada budaya setempat. Sunan Kudus tinggal di Kudus setelah mendapat tanah perdikan dari Sultan Patah bernama Desa Tajug. Pada waktu itu atau sekitar abad ke-15, Tajug merupakan desa dengan sebagian besar penduduknya menganut agama Hindu.
Sunan Kudus mengembangkan Tajug layaknya kota Al- Quds di Filistin. Di zaman khalifah Umar bin Khatthab, Al-Quds jadi kekuatan Islam setelah Mekkah dan Madinah.
Di Tajug, Sunan Kudus memilih menyebarkan agama Islam melalui pendekatan budaya. Dia melakukan syiar Islam tidak dengan jalan pedang, perang, dan paksaan, tetapi menggunakan strategi kebudayaan. Misalnya, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus melarang pengikutnya menyembelih sapi karena bagi umat Hindu sapi adalah binatang yang disucikan.
Umar mampu mengislamkan kota itu dengan penuh kedamaian tanpa pengusiran dan pembunuhan musuh. Tak ada darah lawan yang ditumpahkan, dan tidak ada gereja atau sinagoga yang dihancurkan. Umar memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memeluk keyakinannya yang lama sehingga mereka hidup berdampingan.
Setelah pensiun menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak Bintoro melakukan dakwah dilingkungan sekitarnya. Cara berdakwahnya dselama mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ketika menjelang Hari Raya Idhul Adha, Sunan Kudus sengaja menambatkan seekor kerbau di halaman masjid. . Nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Setelah orang-orang Hindu datang ke halaman masjid, Sunan Kudus mengucapkan salam bahagia dan selamat datang lalu kemudian berceramah, berdakwah, dan saling berdialog.
Sunan Kudus menjelaskan tentang tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sehingga umat Hindu merasa senang. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi Sunan Kudus tidak menyembeleh sapi dalam perayaan hari kurban tersebut, melainkan menggunakan kerbau sebagai hewan kurbannya.
Tidak Sembelih Sapi
Saat itu, Sunan Kudus mengumumkan kepada seluruh warga Kudus untuk tidak menyembelih dan memakan daging sapi. Tujuannya, adalah untuk menghormati para pemeluk agama Hindu.
Hingga kini anjuran kanjeng sunan itu masih menjejak di Kota Kretek. Salah satu semangat yang dicerap dari ajaran itu adalah sikap saling menghormati antar-sesama penganut agama.Dengan metode seperti itu, akhirnya sebagian besar pemeluk agama Hindu menjadi simpati kepada Sunan Kudus dan bersedia masuk Islam.
Pelarangan ini adalah simbol penghormatan bagi pemeluk agama Hindu yang pada saat itu masih mayoritas. Padahal sapi tidak diharamkan bagi pemeluk agama Islam. Sampai sekarang, masyarakat Kudus masih memegang teguh tradisi tidak menyembelih sapi, termasuk pada hari raya kurban. Sebagai gantinya, masyarakat Kudus lebih memilih untuk menyembelih kerbau atau kambing. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. HUSNU MUFID
Langganan:
Postingan (Atom)