Kisah Sunan Tawang Alun I di Lamongan
Sembunyikan Identitas Raja Dalam Berdakwah
Tak banyak yang tahu siapa sosok
Mbah Alun. Di era tahun 1960an makam ini lebih terkesan angker lantaran
dikelilingi pohon besar. Namun setelah beberapa tahun kemudian kesan tersebut
hilang. Sejak direnovasi banyak pengunjung dari berbagai daerah yang mengunjungi
makam ini hanya sekedar ngalap berkah. Berikut ini laporan posmo.
Makam Mbah Alun terletak di desa
Balun Kecamatan Turi, Lamongan. Di
kampung ini berdiri tiga rumah ibadah dari tiga agama berbeda yang saling
berdekatan. Tak heran jika Balun dikenal sebagai “Kampung Pancasila” atau desa
tri kerukunan, lantaran harmoninya hubungan dan toleransi tinggi ketiga pemeluk
agama.
Menurut Hadi, juru kunci nama
desa Balun diambil dari nama makam sesepuh yang ada di desa mereka yakni Mbah
Alun. Meski begitu tak banyak warga yang tahu bagaimana cerita sosok Mbah Alun
ini. Warga hanya tahu kalau makam yang terletak ditengah-tengah pemakaman umum
tersebut dikeramatkan.
Semasa kecil Raden Alun
dibesarkan di Lamajang dan Kedhawung mengikuti orang tuanya sebagai Tumenggung
yakni Menak Lumpat yang bergelar Sunan Rebut Payung. Tahun 1589, Raden Alun
dititipkan oleh ayahnya untuk mengaji ke Sunan Giri.
Menak Lumpat adalah anak dari
Menak Lampor Adipati Wredati masih keturunan Lembu Miruda dari Majapahit
bergelar Lembu Anisraya yaitu panembahan Gunung Bromo yang masih menguasai watu
putih dan Blambangan.
Tahun1591-1596 Sunan Rebut Payung
berhasil mengalahkan Blambangan. Kemudian ia mengangkat adiknya Minak Luput
menjadi senopati dan Minak Sumendhe menjadi penguasa Kerenon. Tahun 1596
Blambangan diserang oleh pasukan dari Pasuruan hingga terjadi peperangan hebat.
Raden Alun saat itu yang sudah menjadi santri Sunan Giri juga ikut membantu
melawan Pasuruan.
Tahun 1624 Raden Alun dilantik menjadi raja Lamajang
Kedhawung bergelar Sunan Tawangalun. Raden Alun memiliki 4 orang anak yakni
Gedhe Buyut yang merupakan Syahbandar pelabuhan Sidayu Lama Kecamatan Brondong.
Kini makamnya bisa dijumpai di Buyut Setana Brondong.
Yang kedua adalah Mas Wdarba yang
dinikahi Adipati pesisir utara Jawa. Kemudian Lanang Dhagiran yang dikenal
dengan sebutan Kyai Brondong yang kemudian pindah menjadi Syahbandar di
Bataputih yang kemudian disebut sebagai Sunan Bataputih yang makamnya kini
terlenak berseberangan dengan Sunan Ampel. Terakhir adalah Mas Kembar, yaitu
raja Blambangan dengan gelar Sunan Tawangalun II (1645-1691).
Kuasai Ilmu Laduni
Saat dikejar-kejar Belanda, Sunan
Tawangalun ditolong oleh anaknya Lanang Dhangiran. Saat itu Sunan Tawangalun
memilih melarikan diri ke wilayah Lamongan. Lanang Dhangiran kemudian
menyembunyikan ayahnya ke tempat yang aman yaitu di desa Candipari (kini
Balun). Dalam persembunyiannya ini, Raden Alun mengajarkan serta berdakwah
Islam secara mandiri.
Disinilah Sunan Tawang Alun I
mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat Tahun 1654
berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya
sebagai Raja, maka beliau dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden
Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan
Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan
Tasawuf. Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif,
persuatif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain,
terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain. Mus Purmadani
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat