Jumat, 09 Juni 2017
Teraweh di Zaman Walisongo
Kisah Aktivitas Keagamaan Bulan Ramadan di Zaman Walisongo
Teraweh Dibukit Ampel dan Hutan Lemah Abang
Bulan ramadan merupakan bulan yang mulia bagi umat Islam. berbagai kegiatan dilakukan. Pada zaman Walisongo masih hidup diperingati dengan suka cita. Mereka menjalankan tanpa gangguan dari pengikut agama lain. Bagaimanakah gambaran ramadan waktu itu. Berikut ini kisahnya.
Sejak Pulau Jawa kedatangan Walisongo kehidupan menjalankan syariat Islam mulai semarak. Meskipun waktu itu umat Islam masih tergolong minoritas. Tapi semangat untuk menyambut ramadan sangat kuat. Persatuan dan kegembiraan nampak terlihat pada umat Islam di zaman itu.
Umat Islam yang merayakan ramadan waktu itu dibagi menjadi tiga lokasi. yaitu Jawa Timur di Surabaya, Jawa Tengah di Demak dan Jawa Barat di Cirebon. Lokasinya pun berbeda-beda, Ada yang berada di lingkungan ibukota negara, ada yang berada di perbukitan dan di dalam hutan. Meskupun lokasi merayakan bulan ramadan berbeda-beda. Mereka tetap satu tertuju kepada Allah SWT.
Masyarakat Majapahit yang beragama lain tidak mengganggu keberadaan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa dan teraweh. Mereka menghormati keberadaan umat Islam. Karena dianggap telah melindungi dari serangan penghianat-penghiatan tentara kerajaan Majapahit.
Hanya saja bila dibandingkan bulan ramadan bagi umat Islam di zaman Walisongo berbeda dengan zaman sekarang. Kalau zaman sekarang jumlah masjid sangat banyak. Tiap kota dan desa jumlahnya tak terhitung.
Pada zaman Walisongo Masjid di Jawa Timur hanya 3. Semuanya berada di Surabaya. yaitu Masjid Peneleh, Masjid Rahmad dan Masjid Ampel Denta. Masjid tersebut merupakan masjid yang didirikan Sunan Ampel.
Sedangkan di Wilayah Jawa Tengah berada di ibukota kerajaan Demak Bintoro dan Masjid Kudus yang dibangun Sunan Kudus. Sementara di Jawa Barat Cirebon terdapat masjid Sang Cipta Rasa yang didirikan Sunan Gunung Jati.
Pada malam ramadan di Surabaya banyak masyarakat menuju ke masjid yang didirikan Sunan Ampel. Mereka datang dengan menggunakan perahu melewati Kali Mas yang merupakan urat nadi jalur perdagangan kala itu. Mengingat belum ada kendaraan atau mobil dan motor.
Obor merupakan api yang dibawa umat Islam menuju Masjid Ampel Denta menjadi alat penerangan. Sebab waktu itu belum ada penerangan listrik Malam hari nampak terang benderang suasana dilingkungan Pondok Pesantren yang didirikan Sunan Ampel. Sebagian santri menggunakan pakaian putih-putih.
Masyarakat yang berada di Kali Mas dapat meraskan suasana di tempat tinggal Sunan Ampel. Karena waktu itu posisinya berada didataran tinggi. Dimana lokasinya dikelilingi sungai-sungai yang mengalir menuju laut.
Lantunan ayat suci al-Qur'an terdengar dari Bukit Ampel Denta hingga ke masyarakat yang tinggal di daerah sekitar rawa-rawa. Begitu pula dengan situasi Masjid Rahmad yang dipimpin Mbah Karimah, suasananya tidak jauh berbeda. Masjid yang sebesar mushollah penuh dengan jamaah yang sedang menjalankan ibadah shalat terawih.
Sementara di Masjid Demak Bintoro suasananya jauh berbeda dengan di Masjid Ampel Denta. Karena sultan, para bangsawan dan rakyat melakukan shalat taraweh. Jumlahnya cukup banyak. Kondisi tersebut merupakan hal yang biasa. karena sebelum datangnya Raden patah, wqilayah Demak sudah banyak orang yang beragama Islam. Penyebarnya adalah Syekh Subakir dan Sam Poo Kong.
Begitupula di Kesultanan Cirebon. Sultan, bangsawan hingga rakyat mengadakan shalat berjamaah. Untuk azannya dilakukan 7 orang secara bersama-sama. Suasanapun semaki semarak.
Dipadepokan Giri Amparan Jati pun banyak santri-santri Syekh Datul Kahfi melakukan shalat tarewih dan merayakan malam bulan ramadan diatas bukit Gunung Jati yang tidak jauh dari Gunung Sembung. Api obor nampak dari kejauhan menyala hingga tengah malam. .
Syekh Siti Jenar
Sedangkan Syekh Siti Jenar sendiri mengadakan kegiatan taraweh di dalam hutan dengan murid-muridnya. Hal ini berbeda dengan umat Islam yang berada di lingkungan keraton dan Padepokan Ampel Denta dan Padepokan Giri Amparan Jati. Lokasi di dalam hutan diberinama oleh Syekh Siti Jenar dengan nama Padukuhan Lemah Abang.
Di dalam Padukuhan Lemah Abang inilah Syekh Siti Jenar bagaikan seorang raja. Karena memiliki kekuasaan penuh untuk mengendalikan jamaahnya. Para jamaah sangat fanatik terhadapnya. Pakaiiannya merah-merah.
Bagi pengikut Syekh Syekh Siti Jenar taraweh di hutan merupakan kebahagiaan tersendiri. Apalagi situasinya sangat hening. Ada air terjun dan sungai mengalir di disekitar padukuhan. Juga lahan pertanian sangat subur. Sehingga selama bulan ramadan tidak mengalami kesulitan dalam hal makan. Oleh karena itu, selama bulan ramadan mereka menjalankan ibadah secara penuh.
Perkembangan selanjutnya Padukuhan Lemah Abang bukan hanya diwilayah Jepara dan Cirebon, melainkan diberbagai daerah Jawa. Dimana daerah itu ada nama lemah abang, maka disitulah dulunya merupakan lokasi tempat Syekh Siti Jenar melakukan pembabaran ajarannya terhadap murid-muridnya. Namun kondisi sekarang nekas Padukuhan Lemah Abang sebagian telah menjadi makam umaum. Tinggal namanya saja yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. HUSNU MUFID
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat