KH. Abdullah Faqih Cemoro
Songgong Banyuwangi
Dulu santrinya Mbah Kiai Faqih ini
ribuan,” ujar Gus Umar Abdullah, 55, salah satu cucu KH. Abdullah Faqih bin
Umar. Kiai Faqih ini santri urutan ke-22 dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Saat
belajar, satu angkatan dengan KH. Hasyim Asyari dan KH.Wahab Hasbullah, dua
kiai besar asal Jombang yang dikenal sebagai pendiri NU.
Kiai yang juga satu angkatan adalah
KH. Munawwir, pendiri pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak, Jogjakarta; KH.
Ma’shum, pendiri pondok pesantren Lasem, Rembang; dan KH. Syamsul Arifin,
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus
Situbondo.
Usai belajar dari maha guru
Syaikhona Kholil, Bangkalan, Kiai Faqih diberi mandat menyebarkan Islam di
daerah Banyuwangi. Dan pada tahun 1917 dia masuk Dusun Cemoro, Desa Balak.
“Ketemu dengan bapak Haji Hambali, juragan tanah, Kiai Faqih diberi tanah dan
dibuatkan pondok pesantren,” katanya.
Dalam perkembangannya, pesantren
yang didirikan kiai Faqih itu pesat. Santri yang ada saat itu mencapai ribuan.
Para santri itu tidak hanya dari daerah Banyuwangi, tapi juga banyak dari
Jember, Bondowoso, hingga Banten. “Mbah Kiai (Kiai Faqih) ini keturunan Raden
Umar Banten, jadi namanya tersohor hingga Banten,” ungkap Gus Umar.
Dalam perkawinannya dengan al
marhumah Suryati, Kiai Faqih memiliki lima putra, yakni KH. Ahmad Muhtarom, KH.
Sholeh Abdullah, Siti Maryam, Mohammad Idris, dan Salamah. “Saya cucu dari anak
kedua Mbah Kiai,” terangnya. Gus Umar mengaku semasa kecil sering mendapat
cerita tentang Kiai Faqih dari ayahnya, KH. Sholeh Abdullah.
Kawasan Cemoro pada tahun 1917
hingga 1970 merupakan pondok pesantren besar dan terkemuka di bumi Blambangan.
Diantara santri Pesantren Cemoro adalah KH. Harun, Kelurahan Tukang Kayu,
Banyuwangi; KH. AbdulManan, Mberasan, Desa Wringin Putih, Kecamatan Muncar; dan
KH. Ahmad Kyusairi.
“Alumni banyak menjadi kiai besar,”
cetusnya. Dari cerita yang disampaikan ayahnya, Gus Umar menyebut Kiai Faqih
itu dikenal pejuang yang gigih menumpas penjajah di Bumi Blambangan. “Belanda
mencari-cari keberadaan Mbah Kiai untuk dibunuh, tapi selalu gagal.
Padahal, Mbah Kiai ngajar ngaji di
dalam masjid,” terangnya. Kiai Faqih wafat pada malam Jumat Kliwon tahun 1953
Masehi di usia 83 tahun. Kiai karismatis itu dimakamkan di kompleks pemakaman
keluarga di dekat istrinya, almarhumah Suryati, yang meninggal lebih dulu di
usia 60 tahun.
“Setiap 8 Syawal rutin dilaksanakan
haul Mbah Kiai Abdullah Faqih di halaman Masjid Cemoro ini,” jelasnya. (radar)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat