Biografi Imam Al-Ghozali dan
Pemikiran Keislamannya
Pembangun Agama dan Pemberi
Jalan Terang Menuju Tuhan
Sosok al-Ghozali bagi
masyarakat muslim dan dunia barat sudah tidak asing lagi. Hal tersebut karena
pemikiran dan karyanya yang cukup cemerlang dan mampu mempengaruhi pola pikir
manusia dimasanya hingga sekarang. Ia dapat digolongkan sebagai pembangun agama
nomor satu dan pemberi jalan terang menuju Tuhan.
Pendidikan dan Karyanya
Al Ghozali nama aslinya
adalah Abu Hamid Bin Muhammad bin Achmad al-Ghozali, lahir tahun 1058M/450 H di
Tus dekat Mashad, suatu kota kecil di Khurasan (Iran). Kata –kata al-Ghozzali
dengan satu z dari kata ghazzal artinya tukang pemintal benang. Karena
pekerjaan ayah al-Ghozali ialah memintal benang wol. Sedangkan al-Ghozali
dengan satu z, diambil dari kata-kata
Ghazalah, nama kampung kelahirannya al-Ghazali.
Ayah al-Ghazali, adalah
seorang tasawuf yang saleh dan meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta
saudaranya masih kecil. Akan tetapi
sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya kepada seorang tasawuf guna
untuk mendapatkan bimbingan dan pemelihararaan dalam hidupnya.
Menjelang usia remaja ia
belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan dan akhirnya di
Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini ia wafat tahun
478H/1085M. Selanjutnya ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapatkan
penghargaabn dan kehormatan yang besar. Sehingga ia tinggal di kota itu enam
tahun lamanya.
Pada tahun 483H/1090M, ia dangkat menjadi guru di
sekolah Nidzamah Bagdad, dan pekerjaan itu dilaksanakan dengan sangat berhasil.
Selama di Bagdad, selain mengajar Imam
Ghozali mengadakan bantahan-bantahan terhadap pemikiran-pemikiran golongan
Batiniah, Ismailiyah, golongan filsafat dan lain-lain. Selama itu ia tertimpa
keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriah
(Fisioterapi).
Pekerjaannya itu kemudian
ditinggalkannya pada tahun 484H untuk menuju Damsyik, dan dikota ini ia
merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan
hidupnya.
Kemudian ia pindah ke
Palestina dan disini pun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan
mengambil tempat di baitul –Maqdis.
Sesudah itu tegaklah hatinya
untuk menjalankan ibadah haji, dan setelah selesai ia pulang kampung ke negeri
kelahirannya yaitu kota Tus. Disana tetap seperti biasanya berkhalwat dan
beribadah. Keadaan tersebut berlangsung sepuluh tahun lamanya. sejak
kepindahannya ke Damsyik, dan dalam masa
ini ia menulis buku-buku mengenai
Islam (fiqih), tasawuf, tafsir, otobiografi
dan adab kesopanan.
Sebagian buku-buku
tersebut diatas dalam bahasa Arab dan Persia. dari karya-karyanya itulah al-Ghozali dikalangan kaum muslimin
besar sekali. Sehingga menurut pandangan orang ketimuran (orientalis) agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada
konsepsi al-Ghazali.
Menurut B.B. MacDonald,
untuk dunia Islam al-Ghozali masih menjadi tokohnya yang terbesar, sama dengan
kedudukan Agustinus atau Aquinas untuk dunia Kristen. Kitabnnya yang terbesar
adalah Ihya’Ulumuddin yang artinya “menghidupkan ilmu-ilmu agama”, dan dikarang
selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hajzz, Tus.
Buku yang lain yaitu
al-Munqidz min ad-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), berisi tentang sejarah
perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya terakhir terhadap
beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis
modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan
autobiografi.Ibnu Arabial-Ibri dan Raymaond Martin banyak mengambil
pemikiran-pemikiran al-Ghazali untuk menguatkan pemikirannya.
Sikapnya Terhadap Para
Filosof
Pikiran al-Ghozali telah
mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin.
Sehingga sukar diketahui kesatuan dan
kejelasan corak pikirannya. Seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap
filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran aqidah pada masanya. Dalam bukunya
Tahafut al-Falasifah dan-Munqidz min al-Dlalal, al-Ghozali menentang
filosof-filosof Islam. Bahkan mengkafirkan mereka dalam tiga soal.
Antara lain: pengingkaran
kebangkitan jasmani, membataskan ilmu Tuhan kepada hal-hal yang besar saja dan
kepercayaan tentang qadimnya alam dari keazaliannya. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan a-l
Amal, dikatakan bahwa ketiga-tiga persoalan tersebut menjadi kepercayaan
orang-orang tasawuf juga. Begitu juga
dalam bukunya al-Madlnun’Ala Ghairi Ahlihi ia mengikuti qadimnya alam.
Kemudian dalam al-Munqidzul
Min ad-Dlalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan
orang-orang tasawuf. Akan tetapi dalam bukunya
yang lain lagi, Mi’raj as-Salikin ia menentang orang-orang tasawuf yang mengatakan adanya
kebangkitan rohani saja. Jadi al-Ghozali menentang kepercayaan dalam tiga soal tersebut dalam
beberapa bukunya, tetang mempercayainya dalam buku-buku yang lain.
Maka dari itu ia lebih tepat
digolongkan kepada “pembangun agama” nomor satu, yang semua jalan pemikirannya
terutama bersumber kepada al-Qur’an dan Hadist, dan kalau memakai sumber
lain dalam Islam, sumber-sumber ini
hanya dijadikn sebagai alat untuk menghidupkan ajaran-ajaran agama
dan untuk membantu menerangi
jalan Tuhan.
Dengan demikian,
al-Ghozali telah mencapai hakikat agama
yang belum pernah diketemukan oleh orang-orang yang sebelumnya dan
mengembalikan kepada nilai-nilai agama
yang telah hilang tidak menentu. Jalan yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan
hati. husnu mufid
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat