Jejak Perang
Jawa Pangeran Diponegoro (3)
“Museum Karisidenan
Kedu Diyakini Keramat”
Karisidenan Kedu tempat
berlangsungnya perundiungan licik antara Belanda dan Pangeran Diponegoro, kini
menjadi museum. Meja kursi perundingan masih utuh, juga bale-bale tempat
Diponegoro menjalankan sholat. Juga jubah kuning dan kain putih surban Diponegoro
masih dijaga kekeramatannya. Setiap pengunjung yang hendak masuk ke dalam ruang
bekas perundingan itu diharuskan melepas alas kaki. Jika tidak, dipastikan pengunjung
bisa mendapat petaka.
SESUDAH menjadi museum, Karisidenan
Kedu diberi nama Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro. Berada di sebelah
Kantor Bakorwil II yang meliputi daerah Kedu dan Surakarta Jawa Tengah. Staf
Bakorwil Kedu dan Surakarta, Subiyanto, kepada posmo menjelaskan, Badan Koordinasi
Wilayah Kedu dan Surakarta fungsinya adalah membantu kerja Gubernur Jawa Tengah
di wilayah Kedu dan Surakarta. Namun karena museum Diponegoro juga berada satu
komplek, Bakorwil juga turut menangani kepengurusannya.
Subiyanto
mengakui, Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro memang masih dipercaya
keramat. Di dalamnya terdapat jubah kuning dari kain santung yang dikenakan Pangeran
Diponegoro ketika mengikuti perundingan. Juga kain putih bekas surban Pangeran Diponegoro
masih ada. Keduanya dilindungi dengan dibuatkan almari kaca. Demikian pula
dengan sejumlah cangkir dan teko serta dua buah kitab tharib. Sementara itu, meja
kecil perundingan juga masih dibiarkan apa adanya. “Masih bisa dilihat di pojok
kanan kiri meja itu, ada bekas goresan jari Pangeran Diponegoro ketika menahan amarah
dalam proses perundingan itu”, katanya.
Kecuali
itu, juga masih tersimpan bale.bale tempat Pangeran Diponegoro menjalankan ibadah
sholat dan lukisan foto proses penangkapan Pangeran Diponegoro dan lukisan
Pangeran Diponegoro menunggang kuda. Selama ini, kata Subiyanto, tidak ada satu
pun pengunjung yang berani masuk tanpa melepas alas kaki. Bagaimana un, katanya,
kamar itu masih keramat.
Seperti
diketahui, perundingan yang berlangsung curang itu terjadi pada tanggal 28
Maret 1830. Pawit, petugas jaga museum kepada posmo menjelaskan, pada akhir
bulan Februari 1830, sebenarnya Jendral de Kock sudah tiba di Magelang. Tetapi
karena pada bulan itu masih bulan Ramadhan, Pangeran Diponegoro tak bersedia
datang. Lalu diputuskan pada tanggal 25 Maret. Pangeran Diponegoro berangkat ke
Magelang menaiki kuda Kiai Gentayu, diiring oleh istri selirnya yang setia, RAy
Ratnaningsih dan putranya RM Raab, dan seorang penasejatnya bernama Kiai
Baddarudin. Keberangkatan Pangeran Diponegoro itu disertai 100 pasukan.
Akhir Perang Jawa
Pawit
mengatakan lagi, ruang yang digunakan untuk perundingan itu adalah ruang kerja
Jendral de Kock. Dan, dalam perundingan itu putra Pangeran Diponegoro diperkenankan
mengikuti jalannya perundingan. Sementara itu di pihak Belanda, ada Residen
Kedu bernama Mayor Ajudan de Strure, Letkol Roest dan Kapten Roest. Sebenarnya,
kata Pawit, sebelum perundingan itu berlangsung Belanda sudah sepakat berjanji
untuk membiarkan Kanjeng Pangeran Diponegoro pulang dengan aman jika tidak
ditemukan kata sepakat. Beberapa kesepakatan di antara Jendral de Kock sebelum
perundingan itu berlangsung adalah, selama perundingan di Magelang Pangeran
Diponegoro tetap dalam keadaan bebas dan merdeka, jika dalam perundingan tidak menghasilkan
kesepakatan, Pangeran Diponegoro bebas kembali ke tempat yang dikehendaki untuk
melanjutkan peperangan, dan selama perundingan Pangeran Diponegoro tidak akan
menambah jumlah pasukannya, begitu pula sebaliknya.
Namun
seperti diketahui bersama, kata Pawit, Belanda ingkar janji. Ketika Pangeran Diponegoro
tak mau menyudahi perang dan menuntut kemerdekaan murni, Jenderal de Cock
memberi kode agar pasukan Belanda merangsek masuk ke dalam ruang perundingan dan
menangkap Pangeran Diponegoro. Maka, tertangkaplah Pangeran Diponegoro yang kemudian
langsung dibawa ke Ungaran. Lalu, pada hari yang sama itu pula Pangeran
Diponegoro dipindahkan ke Gedung Karesidenan Semarang.
Pawit
mengatakan, pada tanggal 5 April 1830 Pangeran Diponegoro dipindahkan lagi ke
Benteng Batavia dengan menggunakan Kapal Pollux. Setibanya di Batavia pada tanggal
11 April 1830, Pangeran Diponegoro ditahan di Stadhuis yang sekarang ini menjadi
Museum Fatahillah. Pada tanggal 30 April 1830, sambung Pawit lagi, Gubernur
Jenderal Van Den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan dan Pangeran Diponegoro pun
diasingkan ke Sulawesi sampai wafatnya. “Bangunan Residen Kedu ini sengaja
dipertahankan untuk melestarikan nilai sejarahnya. Memang, sejumlah bangunan
sudah banyak yang dipugar, seperti mushola yang kini sudah dibangun masjid
besar di utara museum. Namun semua koleksi yang ada di museum tersebut semuanya
adalah merupakan barang peninggalan Pangeran Diponegoro semasa berada di
Karesidenan Kedu”, pungkasnya.
Petilasan Raden Basah
Sentot Dikenal Gawat
Tak
jauh dari Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu dan Surakarta di Magelang, Jawa
Tengah, terdapat sebuah cungkup makam keramat yang dipercaya sebagai petilasan
Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo. Makam itu berada di dekat Kali Progo yang
mengalir di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro alias Bakorwil II
Eks Karisidenan Kedu Surakarta. Raden Ali Basah Sentot adalah salah satu
manggala yudha Pangeran Diponegoro yang dikenal sakti mandraguna.
Selama
ini, Makam Raden Ali Basah Sentot Prawirodirjo dipercaya berada di Bengkulu.
Kisahnya berawal ketika Raden Basah itu membelot dari Pangeran Diponegoro, dan
memilih menjadi tentara bayaran kompeni Belanda. Raden Ali Basah lalu dikirim
ke Sumatera Barat dengan tugas melawan pemberontakan Padri. Permintaan Raden
Basah untuk kembali ke Jawa sesudah selesai Perang Padri tak dikabulkan oleh
Belanda. Lalu ketika wafat pada 17 April 1855, Raden Basah dimakamkan di
Bengkulu.
Jauh sebelum terkena bujuk rayu
kompeni Belanda, Raden Ali Basah Sentot merupakan salah satu senopati perang
Pangeran Diponegoro yang sakti dan setia. Pada perundingan licik di Karisidenan
Kedu, Raden Basah Sentot juga turut serta dalam rombongan. Menjadi lumrah,
manakala kemudian tak jauh dari Karisidenen Kedu Surakarta tersebut terdapat
makam yang dipercaya sebagai petilasan Raden Basah Sentot yang terkenal dengan
sebutan Makom Mbah Basah.
Kendati hanya berjarak sekitar 3
kilometer dari Karisidenan Kedu Surakarta, Makom Mbah Basah sulit ditemukan.
Letaknya berada di sudut selatan timur pedukuhan Kayuares, di bantaran Sungai
Progo yang tersembunyi di balik hamparan luas persawahan desa setempat. Makom
Mbah Basah terasa wingit, lantaran berada sendiri di tengah pojok desa yang
sangat sepi. Sementara itu, pohon kamboja di belakangnya menghiasi cungkup
makom yang berpagar keliling setinggi satu meter.
Petilasan Ali Basah Sentot dibuatkan
nisan dan bertuliskan namanya dalam huruf aksara Jawa. Sementara itu di pagar
bagian depan cungkup makam bertuliskan nama sang juru kunci makam, Mbah Narko
Bilowo. Memandang keluasan komplek Makam Mbah Basah di pekarangan kosong yang
rimbun oleh semak dan pepohonan liar, membuat suasana pengepungan Belanda
ketika terjadi proses perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Jendral De
Kock bisa terasakan. Sangat mungkin, jika kemudian di tempat itu ada petilasan
Raden Ali Basah Sentot yang ketika dalam perundingan memang turut serta
mengiringi keberangkatan Pangeran Diponegoro.
Dikenal Angker
Masih jarang orang mengetahui
keberadaan Makom Mbah Basah. Warga setempat menyebutnya makom, yang berarti
petilasan dan bukan makam yang berarti kuburan. Menurut Mbah Narko, Makom Mbah
Basah ditemukan secara tidak sengaja. Ketika itu tahun 1968, ada seorang warga
setempat bernama Mbah Wiryo yang tak berani pulang ke rumah lantaran kalah
berjudi. Karena takut pulang itu, Mbah Wiryo memilih tidur di bawah pohon
beringin besar di pinggir desa. Saking lelahnya, di tempat yang sebenarnya cukup
membuat bulu kuduk merinding itu Mbah Wiryo terlelap tidur dan bermimpi. Dalam
mimpinya, Mbah Wiryo seperti mendengar suara yang menyuruhnya pulang dan
bertobat.
Pada
lain waktu, kejadian aneh kembali terjadi. Salah seorang warga kesurupan dan
meminta diantarkan ke lokasi Makom Mbah Basah. Akibat kejadian itu, Mbah Wiryo
lalu meyakini tempatnya bermalam ketika kalah berjudi memang merupakan
petilasan tokoh sakti. Lalu dari kontak batin diketahui tempat itu merupakan
petilasan Raden Basah Sentot Prawirodirjo. Mbah Wiryo kemudian memberinya tanda
dengan membangunkan cungkup kecil dan dikeramatkan. Sejak itu, banyak orang
berdatangan untuk bertirakat menyampaikan ujub. Dari sekian pelaku tirakat yang
kabul ujubnya, dibangunlah petilasan Mbah Basah seperti yang terlihat sekarang.
Mbah Narko mengatakan, tak ada
pantangan untuk bertirakat di Makom Mbah Basah. Namun permintaan jelek seperti
meminta nomor togel atau berjudi bisa mendatangkan walat. Menurutnya, sudah
banyak pelaku tirakat yang meminta ujub perjudian berakhir dengan malapetaka.
Kendati sampai kini masih banyak orang laku tirakat di Makom Mbah Basah, namun
jarang warga di desa itu yang mengetahui keberadaan makom. Warga setempat lebih
mengetahui tentang keberadaan watu pasujudan, yang berada di tengah aliran Kali
Progo di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro.
Watu
Pasujudan itu dianggap aneh, lantaran ketika banjir besar batu tersbut tidak
tenggelam. Namun warga kini sudah mengetahui, tidak tenggelamnya watu pasujudan
itu karena memang batu itu merupakan dataran kecil di tengah aliran Sungai
Progo. Batu itulah petilasan Pangeran Diponegoro, yang ketika menjelang perundingan dibangun
gubuk untuk bersembahyang. Batu itu sampai kini juga masih ada, dan hanya
sejumlah orang tertentu saja yang berani laku tirakat di atas batu tersebut. KOKO T.