Jejak Perang
Jawa Pangeran Diponegoro (1)
“Tebar Semangat Jihad Fisabilillah”
Jauh
sebelum negara ini terbentuk, perang melawan kompeni Belanda sudah berlangsung
di banyak daerah di Nusantara. Dari sekian kisah perang itu, perlawanan
Pangeran Diponegoro di Yogyakarta menjadi sangat legendaris. Bahkan, pada suatu
masa di era itu, Pangeran Diponegoro dimitoskan sebagai Sultan Heru Cakra.
JAUH sebelum zaman perang
kemerdekaan RI, banyak tokoh ningrat dari beberapa kerajaan dan suku di
Nusantara sudah berkali-kali terlibat perang melawan penjajahan Belanda. Di
Yogyakarta, Sultan Agung Hanyokrokusumo yang bertahta di Mataram Hadiningrat pada
tahun 1613-1646 Masehi, tercatat pernah menggempur Belanda di Batavia Jakarta
pada tahun 1625 Masehi. Sesudah itu pada zaman Sunan Mangku Rat I, pun Belanda
juga tiada lupt dari perang suksesi tahta Raja-raja Mataram. Sampai pada
akhirnya politik pecak belah devide et impera kolonial Belanda berhasil memecah
Kerajaan Mataram menjadi empat. Dimulai dengan Perjanjian Giyanti 1755 Masehi
yang memecah Kerajan Mataram menjadi Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Lalu,
pada tahun 1757 Surakarta dipecah lagi dengan berdirinya Kadipaten
Mangkunegara. Dan, Yogakarta dipecah pula dengan memunculkan Kadipaten Puro Paku
Alaman pada tahun 1813 Masehi.
Politik pecah belah Belanda terbukti
manjur. Juga akal bulusnya yang selalu bisa menelikung para pejuang bangsa ini.
Tidak kecuali, Pangeran Diponegoro yang terkenal sakti mandraguna. Putra Sultan
HB III dari istri selir RAy Mangkorowati dari Pacitan, Jawa Timur itu terpaksa
harus mengalah ketika ditipu dalam sebuah perundingan damai di Karisidenan Kedu
dan Surakarta, Magelang, Jawa Tengah. Akibat tipu muslihat Belanda dalam
perundingan pada tanggal 28 Maret 1830 Masehi itu, perang besar Pangeran
Diponegoro yang oleh bangsa Belanda disebut Perang Jawa tersebut selesai.
Tetapi,
setelah hampir dua abad lamanya zaman itu berlalu, kisah besar Pangeran
Diponegoro tetap dikenang. Bahkan menjadi kisah legendaris dan fenomenal dari
sesosok priyayi Jawa yang hebat dalam menggelar strategi perang gerilya dengan
semangat jihad fisabilillah. Pangeran Diponegoro menjadi fenomenal, lantaran
spirit perjuangannya yang kental dengan jargon keislaman. Juga sarat dengan
kepercayaan mistik Jawa yang membuatnya dipercaya sebagai Ratu Adil Heru Cakra.
Di akhir masa kejayaan perangnya, Pangeran Diponegoro digelari Kanjeng Sultan Abdulhamid
Herucakra Sayidin Panatagama Khalifatuloh. Gelar itu dianggap penyebab retaknya
hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan Kesultanan Ngayogyakarta. Sebab,
dengan gelar itu Pangeran Diponegoro dianggap hendak mendirikan kerajaan
sendiri. Akibat dari itu, Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta
mengirimkan prajurit untuk membantu Belanda dalam memerangi Pangeran Diponegoro.
Awal Perang
Retaknya hubungan antara Pangeran Diponegoro
dengan kerabat keraton, telah membuat semua keturunan Pangeran Diponegoro dilarang
masuk ke dalam keraton. Namun keretakan hubungan darah dalem Pangeran Diponegoro
itu, sebenarnya adalah akibat ulah Belanda yang sengaja menerapkan politik adu
domba di antara para pangeran. Politik kotor Belanda devide et impera, selalu
digunakan pihak Belanda sejak zaman Sunan Mangku Rat I di Pleret untuk
menyingkirkan para pangeran yang membahayakan kekuasaannya di Jawa.
RH Heru Wahyukismoyo, MSi, pengajar ilmu
budaya mataraman membabar, campur tangan kompeni Belanda terhadap pemerintahan
Kesultanan Ngayogyakarta sudah terjadi sejak zaman Sultan HB I. Campur tangan
pihak Belanda tersirat dalam setiap kebijakan dan peraturan kerajaan yang
menguntungkan pihak Belanda. Bahkan, setiap pergantian raja pasca Sultan HB I,
Belanda selalu ikut campur. Sultan pengganti raja dianggap tidak sah tanpa ada
dukungan dari Belanda. Untuk lebih memecah kekuasaan raja, Belanda juga menempatkan
seorang patih dalem yang sengaja dibuat untuk mengendalikan keputusan raja.
Sedemikian dalam campur tangan pihak Belanda dalam setiap roda pemerintahan
kerajaan, sehingga di kalangan para pangeran selalu ada ketegangan antara yang
pro dan kontra dengan Belanda.
Ketegangan
di antara para pangeran itu meruncing, ketika Sultan HB III mangkat pada tahun
1814 Masehi. Pangeran Jarot, putra mahkota Sultan HB III, saat itu masih berusia
10 tahun. Tetapi dengan dukungan pihak Belanda, Pangeran Jarot tetap diangkat
sebagai raja pengganti. Belanda kemudian menetapkan Wali Kerajaan untuk mengampu
sang raja yang masih muda itu untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
Wali Kerajaan itu dipimpin oleh adik kandung mendiang Sultan HB III dan
Pangeran Diponegoro sebagai putra tertua Sultan HB III dari istri selir. Pada
masa itulah kebencian Pangeran Diponegoro terhadap Belanda kian memuncak.
Pasalnya, setiap kebijakan dan peraturan kerajaan yang disarankan oleh Wali
Kerajaan tak pernah diindahkan oleh Belanda. Pada akhirnya Pangeran Diponegoro
lebih memilih keluar dari istana. Tinggal di desa Tegalrejo, Yogyakarta,
memperdalam ilmu agama dan menyepi dari kehidupan istana yang penuh intrik.
Namun,
berada jauh di luar tembok istana tak membuat Pangeran Diponegoro bisa tenang.
Sebaliknya, kebencian Pangeran Diponegoro semakin menjadi, tatkala Belanda
semakin merongrong kekuasaan Sultan. Tahun 1822 Masehi ketika Sultan HB V
jumeneng nata, Belanda memutuskan sistem pemerintahan kerajaan dijalankan oleh
Patih Danurejo bersama Reserse Belanda. Tak khayal, Pangeran Diponegoro
memprotes keras. Puncak kemarahan Pangeran Diponegoro tak terbendung lagi,
manakala pada tahun 1825 Masehi Belanda membuat jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta
dan Magelang melewati halaman rumahnya di Tegalrejo. Sontak saja, Pangeran
Diponegoro geram dan naik pitam. Patok-patok jalan yang dipasang Belanda di
halaman rumahnya dicabuti. Tak pelak, pun kemudian Belanda menggempur kediaman
Pangeran Diponegoro. Tepat pada tanggal 20 Juli 1825, peristiwa pengepungan itu
terjadi. Bersama keluarga dan laskar setianya, Pangeran Diponegoro untuk
sementara waktu menyelamatkan diri. Sejak itu, perang gerilya Pangeran Diponegoro
pun dimulai. KOKO T.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat