Jejak Sejarah
Mbah Sambu di Kota Lasem
Putra Pangeran Benowo yang Berjasa Menumpas Perampok
Menyusuri pusat
kota Lasem,
Jawa Tengah, ada sebuah bangunan masjid yang cukup besar, indah,
dan megah. Banyak yang berkunjung ke masjid tersebut untuk beribadah dan
beristirahat sejenak. Ada juga yang memiliki tujuan khusus dengan berziarah ke makam
salah satu tokoh legendaris di daerah yang terkenal dengan keindahan batik
lasemnya. Berikut ini kisahnya.
Dengan penelusuran
data, Mbah Sambu memiliki nama asli Sayyid Abdurrahman Basayaiban dan wafat
1671. Beliau adalah putra Pangeran Benawa, putra dari Jaka Tingkir alias Sultan
Hadiwijaya, raja
dari Kerajaan Pajang, menantu Sultan
Trenggono Raja Kerajaan Islam Demak.
Mbah Sambu
dikenal berjasa dalam meredam aksi perompak yang menimbulkan kekacauan yang berlarut-larut
di pusat kota Lasem. Wilayah Lasem saat itu meliputi Sedayu,
Gresik, Tuban, Rembang, Pati sampai Jepara. Atas jasanya itu Mbah Sambu yang juga
menantu Adipati Lasem diberi tanah perdikan meliputi lokasi Masjid Jami’ Lasem
sekarang di Kec. Lasem
sampai ke selatan di Kec. Pancur.
Mbah Sambu juga
berhasil mengusir Kompeni VOC dari Rumah Gedong yang bermarkas di Kauman,
Desa Karang Turi. Setelah kosong dikuasai Mbah Sambu memberi kesempatan
menempati sementara kepada warga termasuk yang berstatus Boro (mencari kerja) selama
tidak mampu membeli rumah atau kontrak. Sampai sekarang Rumah Gedong tua
peninggalan abad 17 itu masih berdiri megah, masih ditempati beberapa kepala
keluarga
Hingga akhir
hayatnya dimakamkan di Lasem. Makamnya cukup dikeramatkan. Makam tersebut
berada di dalam
sebuah bangunan yang unik, indah, dan penuh karya
artistik. Nuansanya juga cukup nyleneh, namun sungguh
apik, arsitekturnya menyerupai bangunan ala tionghoa yang dipadu dengan budaya Jawa
dengan begitu dinamis. Di dalam
bangunan unik tersebut terdapat sebuah bangunan lagi berbentuk kubah dengan
warna keemasan dan tembaga. Pada bagian pintunya terdapat sebuah papan nama
bertuliskan,
“Makam Mbah Sambu-Sayyid Abdurrohman”. Jika dirunut silsilahnya menyambung
kepada Gus Dur,
mantan Presiden RI.
Setelah memasuki
ruang yang tidak begitu besar tersebut, terlihat taburan bunga-bunga pemakaman
dan lembaran kain putih menyelubungi sebuah makam yang membuat suasana di dalam
nampak kesakralannya. Di samping
makam Mbah Sambu terdapat satu makam lagi yang berselubung kain putih, yakni
makam istrinya Mbah Sambu. Nuansa sejuk terasa di dalam ruang makam ini karena
digunakannya keramik yang berwarna hijau pada dinding dan lantainya.
Pemerintah
seharusnya tanggap menetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Berbeda dengan
makam yang disakralkan lainnya, makam ini cukup terbuka karena siapa pun
bisa berkunjung dan memasuki ruang makam asalkan sopan dan bisa menjaga sikap.
Tetapi yang jelas, ada aturan untuk mengucapkan salam sebelum memasuki ruangan
makam.
Tak jauh dari
makam Sambu juga ada beberapa makam kuno lainnya yang juga dinaungi bangunan.
Makam-makam itu juga sering menjadi tujuan wisata religi. Sayang, keaslian
situs makam-makam kuno pudar karena bangunan makam yang sudah disemen dan
dikeramik. Mungkin hal itu dilakukan karena demi faktor kebersihan dan kenyamanan
bagi para peziarah.
Tradisi Tahunan
Ada sebuah
tradisi tahunan di makam ini yaitu Haul Mbah Sambu untuk mengenang sejarah dan
perjuangan Mbah Sambu. Kegiatan itu dipusatkan di kompleks Makam Mbah Sambu dan
Masjid Agung Kota Lasem. Bebergai kegiatan diadakan untuk menyemarakkannya
seperti karnaval budaya, Batik Lasem Festival, khitanan massal, istighotsah,
napak tilas sejarah, pentas kesenian dan sebagainya.
Kegiatan berupa
tahlil dan doa bersama untuk peringatan Haul Mbah Sambu pada tanggal 19 Oktober.
Dalam catatan Cerita Sejarah Lasem gubahan R.P. Kamzah (1858 Masehi) dan
ditulis ulang oleh R.P. Karsono (1920 Masehi), nama beliau adalah Syekh
Maulana Sham Bwa Smarakandhi dan masyarakat sekitar akhirnya menyebut beliau
dengan nama Mbah Sambu. Tetapi, dalam prasasti marmer berukuran kecil
bertuliskan huruf Arab menyatakan bahwa nama asli
beliau adalah Sayyid Abdurrahman bin Hasyim bin Sayyid Abdurrahma Basyaiban.
Beliau berasal
dari Tuban dan menetap di Lasem untuk kemudian berdakwah dan menjadi guru agama
bagi masyarakat Lasem pada abad ke-15 Masehi.
Karisma beliau begitu dikenal terutama bagi kalangan pesantren di Indonesia,
khususnya di Jawa. Dari beliau jugalah Ulama-Ulama di Lasem lahir, sehingga
sampai sekarang banyak sekali pondok-pondok pesantren di daerah Lasem. Sehingga
Lasem juga dikenal dengan sebutan Kota Santri. Cahya
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat