Kisah Syekh Maulana Magribi di Gunung
Panungkulan
Menghislamkam
Putra Raja Pajajaran Melalui Adu Kesaktian
Syekh Maulana Magribi seorang wali yang
berasal dari Timur Tengah datang ke Pulau Jawa setelah mendapat ilham untuk mendatang Tiga Cahaya Putih. Ia berhasil
mengislamkam seorang pertapa anak Raja
Pajajaran yang telah menguasai cahaya tersebut setelah adu kesaktian. Berikut
ini kisahnya.
Syekh Maulana Magribi seorang ulama dari
Timur Tengah bukan hanya memiliki ilmu agama yang cukup tinggi. Tapi juga
mempunyai ilmu karomah tingkat tinggi. Oleh karena itu, dalam dakwahnya juga
menggunakan ilmu karomah yang disertai ilmu silat tenaga dalam. Hal tersebut
sesuai dengan zamannya.
Suatu hari Syekh Maulana Magribi, sesudah sholat Subuh mendapat Ilham agar
menemukan tiga buah cahaya putih
menjulang tinggi diangkasa yang letaknya di Pulau Jawa. Maka berangkatlah bersama-sama dengan 298 sahabatnya menuju
Pulau Jawa dengan mengarungi samudera yang ombaknya cukup besar.
Kemudian sampailah mereka di pelabuhan Gresik. Dipandangilah langit-langit yang penuh
dengan bintang. Tapi tidak terlihat ada
tanda-tanda tiga cahaya putih yang sesuai dengan ilhamnya. Setelah
sekian lama tinggal di Gresik, terlihatlah cahaya terang yang sedang dicarinya
itu disebelah barat. Kemudian mengambil keputusan kembali kearah barat menuju
pelabuhan Pemalang Jawa Tangah. Ditempat
tersebut Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke
negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk
sementara bermukim ditempat itu
Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu
dilakukan hingga akhirnya sampailah di
tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka seorang pertapa yang menyandarkan
dirinya pada sebatang pohon jambu yang mengeluarkan sinar yang bercahaya
menjulang tinggi ke angkasa.
Dari Pemalang menuju ke selatan
menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya
‘Pertapa itu adalah Raden Mundingwangi
putra Raja Pajajaran I. Ia tidak mau
dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Tapi lebih suka menjadi seorang pertapa
disejumlah gunung. Bahkan berhasil menemukan Tiga Cahaya Putih beserta 160 pengikutnya di Gunung Panungkulan
di Desa Grantung Kecamatan Karangmoncol,”ungkap KH. KRT. MUrsyiddafa
Alfatahillah, SH, MA pewaris ilmu Syekh Jambu Karang dari Banjarnegara. .
Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawab oleh Raden Mundingwangi. Karena tidak paham dengan bahasa Arab. Lantas Haji Datuk dan Syekh Maulana Maghribi menyapa dengan bahas India.
Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawab oleh Raden Mundingwangi. Karena tidak paham dengan bahasa Arab. Lantas Haji Datuk dan Syekh Maulana Maghribi menyapa dengan bahas India.
Mendengar bahasa India, maka Raden Mundingwangi menjawab : ‘Sesungguhnya
saya ini adalah orang Budha yang Sakti’. Kemudian Syekh Maulana Maghribi meminta kepada pertapa
tersebut untuk menunjukkan kesaktiannya. Maka diambillah tutup kepalanya yang berupa kopiah
itu dapat terbang di angkasa.
Syekh Maulana Maghribi mengimbangi dengan melepaskan bajunya dan
dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang di udara dan selalu
menutupi kopiah si pertapa. Hal itu menandakan bahwa kesaktiannya lebih unggul.
Tetapi Raden Mundingwangi belum mau menyerah dan masih akan mempertontonkan
lagi kepandaiannya yang berujud menyusun telur setinggi langit.
Syekh Patas Angin
Melihat keadaan tersebut diatas Syekh
Maulana Maghribi merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu
saja, maka dengan tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau
mengambil telur itu satu persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh.
Ternyata pertapa itu tidak sanggup
melakukannya. Karena si pertapa sudah benar-benar tidak melakukannya hal
tersebut, maka Syekh Maulana Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai
dari bawah sampai selesai dengan tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh Maulana Maghribi masih merasa
belum puas dan masih meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan memperlihatkan
pemupukan periuk-periuk berisi air sampai menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana
Maghribi berkata : ‘Ambillah periuk-periuk itu satu demi satu dari bawah tanpa
ada yang berjatuhan’. Setelah ternyata tidak ada kesanggupan dari Raden
Mundingwangi, maka beliau sendirilah yang melakukannya dan periuk yang terakhir
itu pecah dan airnya memancar kesegala penjuru.
Akhirnya Raden
Mundingwangi menyerah kalah serta berjanji akan memeluk agama Islam.
Janji tersebut diterima oleh Syekh
Maulana Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan
kukunya dan selanjutnya dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa
menyerah kalah). Kemudian dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng
dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi
dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung).
Setelah upacara penyucian selesai,
bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang
cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa
tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng
tidak mengenal kering dimusim kemarau.
Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim
di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat
pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Sesaat setelah Syekh Jambu Karang
menerima wejangan, turun hujan lebat disertai dengan angin ribut yang
mengakibatkan pohon-pohon disekeliling tempat itu menundukkan dahan-dahannya
seperti sedang menghormati Gunung Kraton yaitu tempat dimana Syekh Maulana
Maghribi sedang memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi
seorang Muslim.
Sebagai rasa terimakasih, maka Syekh Jambu Karang mempunyai seorang putri
bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh Maulana Maghribi, setelah
Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim dengan mas kawin berupa mas merah
setanah Jawa.
Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu
Karang, Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari
perkawinannya tersebut menurunkan lima orang putera dan puteri, yaitu :Makdum
Kusen, Makdum Medem, Makdum Umar, Makdum, Makdum Sekar.
Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk
agama Islam, maka namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. Kemudian Syekh
Jambu Karang akan mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu
tempat yang serasi dan cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit
‘Kraton’.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat