Senin, 31 Juli 2017
Walisongo di Bulan Ramadan
Kisah Aktivitas Keagamaan Bulan Ramadan di Zaman Walisongo
Teraweh Dibukit Ampel dan Hutan Lemah Abang
Bulan ramadan merupakan bulan yang mulia bagi umat Islam. berbagai kegiatan dilakukan. Pada zaman Walisongo masih hidup diperingati dengan suka cita. Mereka menjalankan tanpa gangguan dari pengikut agama lain. Bagaimanakah gambaran ramadan waktu itu. Berikut ini kisahnya.
Sejak Pulau Jawa kedatangan Walisongo kehidupan menjalankan syariat Islam mulai semarak. Meskipun waktu itu umat Islam masih tergolong minoritas. Tapi semangat untuk menyambut ramadan sangat kuat. Persatuan dan kegembiraan nampak terlihat pada umat Islam di zaman itu.
Umat Islam yang merayakan ramadan waktu itu dibagi menjadi tiga lokasi. yaitu Jawa Timur di Surabaya, Jawa Tengah di Demak dan Jawa Barat di Cirebon. Lokasinya pun berbeda-beda, Ada yang berada di lingkungan ibukota negara, ada yang berada di perbukitan dan di dalam hutan. Meskupun lokasi merayakan bulan ramadan berbeda-beda. Mereka tetap satu tertuju kepada Allah SWT.
Masyarakat Majapahit yang beragama lain tidak mengganggu keberadaan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa dan teraweh. Mereka menghormati keberadaan umat Islam. Karena dianggap telah melindungi dari serangan penghianat-penghiatan tentara kerajaan Majapahit.
Hanya saja bila dibandingkan bulan ramadan bagi umat Islam di zaman Walisongo berbeda dengan zaman sekarang. Kalau zaman sekarang jumlah masjid sangat banyak. Tiap kota dan desa jumlahnya tak terhitung.
Pada zaman Walisongo Masjid di Jawa Timur hanya 3. Semuanya berada di Surabaya. yaitu Masjid Peneleh, Masjid Rahmad dan Masjid Ampel Denta. Masjid tersebut merupakan masjid yang didirikan Sunan Ampel.
Sedangkan di Wilayah Jawa Tengah berada di ibukota kerajaan Demak Bintoro dan Masjid Kudus yang dibangun Sunan Kudus. Sementara di Jawa Barat Cirebon terdapat masjid Sang Cipta Rasa yang didirikan Sunan Gunung Jati.
Pada malam ramadan di Surabaya banyak masyarakat menuju ke masjid yang didirikan Sunan Ampel. Mereka datang dengan menggunakan perahu melewati Kali Mas yang merupakan urat nadi jalur perdagangan kala itu. Mengingat belum ada kendaraan atau mobil dan motor.
Obor merupakan api yang dibawa umat Islam menuju Masjid Ampel Denta menjadi alat penerangan. Sebab waktu itu belum ada penerangan listrik Malam hari nampak terang benderang suasana dilingkungan Pondok Pesantren yang didirikan Sunan Ampel. Sebagian santri menggunakan pakaian putih-putih.
Masyarakat yang berada di Kali Mas dapat meraskan suasana di tempat tinggal Sunan Ampel. Karena waktu itu posisinya berada didataran tinggi. Dimana lokasinya dikelilingi sungai-sungai yang mengalir menuju laut.
Lantunan ayat suci al-Qur'an terdengar dari Bukit Ampel Denta hingga ke masyarakat yang tinggal di daerah sekitar rawa-rawa. Begitu pula dengan situasi Masjid Rahmad yang dipimpin Mbah Karimah, suasananya tidak jauh berbeda. Masjid yang sebesar mushollah penuh dengan jamaah yang sedang menjalankan ibadah shalat terawih.
Sementara di Masjid Demak Bintoro suasananya jauh berbeda dengan di Masjid Ampel Denta. Karena sultan, para bangsawan dan rakyat melakukan shalat taraweh. Jumlahnya cukup banyak. Kondisi tersebut merupakan hal yang biasa. karena sebelum datangnya Raden patah, wqilayah Demak sudah banyak orang yang beragama Islam. Penyebarnya adalah Syekh Subakir dan Sam Poo Kong.
Begitupula di Kesultanan Cirebon. Sultan, bangsawan hingga rakyat mengadakan shalat berjamaah. Untuk azannya dilakukan 7 orang secara bersama-sama. Suasanapun semaki semarak.
Dipadepokan Giri Amparan Jati pun banyak santri-santri Syekh Datul Kahfi melakukan shalat tarewih dan merayakan malam bulan ramadan diatas bukit Gunung Jati yang tidak jauh dari Gunung Sembung. Api obor nampak dari kejauhan menyala hingga tengah malam. .
Syekh Siti Jenar
Sedangkan Syekh Siti Jenar sendiri mengadakan kegiatan taraweh di dalam hutan dengan murid-muridnya. Hal ini berbeda dengan umat Islam yang berada di lingkungan keraton dan Padepokan Ampel Denta dan Padepokan Giri Amparan Jati. Lokasi di dalam hutan diberinama oleh Syekh Siti Jenar dengan nama Padukuhan Lemah Abang.
Di dalam Padukuhan Lemah Abang inilah Syekh Siti Jenar bagaikan seorang raja. Karena memiliki kekuasaan penuh untuk mengendalikan jamaahnya. Para jamaah sangat fanatik terhadapnya. Pakaiiannya merah-merah.
Bagi pengikut Syekh Syekh Siti Jenar taraweh di hutan merupakan kebahagiaan tersendiri. Apalagi situasinya sangat hening. Ada air terjun dan sungai mengalir di disekitar padukuhan. Juga lahan pertanian sangat subur. Sehingga selama bulan ramadan tidak mengalami kesulitan dalam hal makan. Oleh karena itu, selama bulan ramadan mereka menjalankan ibadah secara penuh.
Perkembangan selanjutnya Padukuhan Lemah Abang bukan hanya diwilayah Jepara dan Cirebon, melainkan diberbagai daerah Jawa. Dimana daerah itu ada nama lemah abang, maka disitulah dulunya merupakan lokasi tempat Syekh Siti Jenar melakukan pembabaran ajarannya terhadap murid-muridnya. Namun kondisi sekarang nekas Padukuhan Lemah Abang sebagian telah menjadi makam umaum. Tinggal namanya saja yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. HUSNU MUFID
Sunan Kalijogo
Kisah Sunan Kalijaga Mengislamkan Penduduk Pinggir Sungai Utara Pulau Jawa
Ajarannya Terkesan Sinkretis Dalam Mengenalkan Islam
Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang berpenampilan lain. Tidak menggunakan sorban. Begitupula cara dan lokasi dakwahnya juga berbeda dengan Walisongo pada umumnya. Lebih suka berdakwah di masyarakat yang berada dipinggir sungai. Berikut ini kisahnya.
Sunan Kalijogo adalah putra Tumenggung Tuban Wilatikta yang hidup zaman kerajaan Majapahit. Masa kecilnya dihabiskan hidup di dalam kadipaten. Ia merupakan anak pertama dan merupakan laki-laki satu-satunya. Kedua orang tuanya sangat menyayangi. Karena dianggap sebagai putra mahkota. Panggilan aslinya Raden Sahid.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten. Bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Awal mula pertama Sunan Kalijaga melakukan dakwah adalah di daerah Kudus. Yaitu di pinggir Sungai Gelis dan Sungai Rah Tawu Muria. Di sini Sunan Kalijaga memang melakukan dakwah karena di wilayah pinggiran sungai itu banyak masyarakat yang tinggal dan masih memeluk agama lain. Ia berhasil mengislamkan masyarakat di daerah tersebut dengan media pagelaran Wayang Kulit. Karena waktu itu tontonan yang paling disukai masyarakat adalah Wayang Kulit.
Kemudian dari Sungai Rah Tawu Muria melanjutkan dakwahnya menuju Sungai Kecapi Jepara dengan menggunakan perahu. Disini Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat setempat. Dakwahnya cukup menarik. Tidak membuat gesekan dengan masyarakat setempat.
Gundul Pacul
Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Lagu tersebut sangat mengena dihati masyarakat luas.
Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.HUSNU MUFID
Sunan Bonang
Kisah Sunan Bonang Syiar Islam di Jawa Tangah dan Jawa Timur
Imam Besar Masjid Kesultanan Demak
Sunan Bonang. Ia anak Sunan Ampel. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang putri Adipati Tuban bernama Nyi Ageng Manila. Berikut ini kisahnya.
Sunan Bonang merupakan sososk Walisongo yang berbeda dengan wali yang lain dalam soal menyebarkan agama Islam. Pakaiannya serba putih dan berhati lembut serta santun dalam mengajak orang agar bersedia masuk Islam.
Sikap dan pandangannya membuat murid-muridnya terbuat dengan ucapannya. Bahkan para penjahat pun takluk dan bersedia masuk Islam tanpa harus bertarung adu fisik.Pendekatan sufistik menjadi jalur pendekatannya.
Ia belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta sejak kecil hingga dewasa bersama Sunan Drajad, Sunan Giri dan raden Patah. berbagai kitab dipelajari mulai dari fiqih hingga ahlaq.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Pertamakali diperintah berdakwah ayahnya di Tuban dengan mengendarai kerbau, Karena waktu itu belum ada kendaraan.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. JUga membangu sebuah rumah. Peninggalannya masih dapat dilihat hingga sekarang.
Di Lasem Sunan Bonang lebih suka melakukan juhud di sebuah bukit pinggir pantai. Ia berzikir dengan kaki diangkat satu seperti burung kuntul sambil berdiri. Batu yang diinjak itu hingga sekarang masih ada. Tiap hari banyak orang yang berziarah. Orang menyebutnya sebagai tempat pasujudan Sunan Bonang.
Dakwah di Tuban dan Lasem diterima masyarakat. Hingga akhinya masuk Islam semua. Bahkan sempat bertemu dengan Cheng Ho Laksamana dari Dinasti Ming Tiongkok. perkenalannya menjadikan pengalaman terbaru dengan dunia luar.
Setelah berhasil mengislamkan masyarakat Tuban dan Lasem melanjutkan dakwahnya di Kediri yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu.dan Budha Di sana ia mendirikan Langgar Sangkal Daha. Tapi sekarang bernama Masjid Sangkal Daha. Lokasinya berada di tepi Kali Brantas di Kediri.
Hancurkan Patung
Kedatangannya di Kediri tidak mendapat tantangan yang cukup berarti. setiap jalan yang dilalui begitu ada patung langsung dihancurkan. Hingga pantung-patung yang ada tidak memiliki kepala. Mengingat masyarakat Kediri memiliki kesukaan membuat patung untuk disembah.
Kegigihannya dalam menyebarkan Islam mendapat perhatian yang cukup besar oleh Raden Patah Sultan Demak Bintoro. Hingga akhirnya dikukuhkan sebagai Imam Besar di Masjid Kesultanan Demak. Bintoro. Bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Imam Besar di Masjid demak merupakan jabatan spiritual yang cukup tinggi. Karena mengantar umat islam untuk lebih suka mendatangi masjid dan tempat bertanya mengenai masalah agama Islam.
Dalam keseharian Sunan Bonang membuat karya sastra dengan banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr.
Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang.
Disela-sela waktu senggangnya, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, HUSNU MUFID
Sunan Bayat Klaten
Kisah Pengembaraan Sunan Bayat Menuju Klaten
Islamkan Kepala Perampok dan Anak Buahnya
Pangeran Mangkubumi adalah putra Sunan Pandanaran Adipati Semarang ke satu. Ia meninggalkan kadipaten menuju dan menetap di Tembayat Klaten. Hingga akhirnya mendapat gelar dengan nama Sunan Bayat. Ditengah perjalanan ia dirapok. Kemudian rampoknya dikutuk menjadi domba. Bagaimanakah kisahnya. Berikut ini.
,
Sunan Bayat atau yang juga bergelar Pangeran Mangkubumi ini adalah salah satu ulama penyebar agama Islam di Jawa Tengah. Sunan Bayat adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang.
Sejak kecil telah mendapat pendidikan agama yang cukup kuat oleh orang tuanya. Malahan sempat belajar kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon. Ia termasuk murid yang baik dan pandai. Setelah menamatkan pelajaran agama kembali ke Semarang untuk membantu ayahnya mengatur pemerintahan.
Setelah ayahnya meninggal dunia, Sunan Bayat menggantikan kedudukan sebagai Adipati Semarang bawahan dari Sultan Fatah dari Kesultanan Demak Bintoro. Ia menggunakan gelar Pandanaran ke dua.
Awal mulanya dalam menjalankan sistem pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran–ajaran Islam. Sistem syariat Islam diterapkan di Semarang. Mengingat waktu itu masyarakatnya mayoritas telah menganut agama Islam, baik dari pihak pribumi maupun orang-orang Tiongkok yang dibawa Laksamana Cheng Ho dari kerajaan Dinasti Ming.
Tapi setelah menikah sikap dan tindakannya dalam mengelola pemerintahan berubah total. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan. Lebih banyak mengurusi harta benda. Hidup bergelimang perhiasan untuk istri tercintanya. Juga lupa mengurusi kegiatan keagamaan disurau maupun masjid peninggalan ayahnya,
Rakyat juga terlupakan kesejahteraannya. Sehingga banyak yang miskin. Ditambah panen gagal. karena hujan jarang turun. Pelautpun tidak begitu banyak perolehan tangkapan ikannya. Para perampok merajalela.Situasipun menjadi tidak aman. Kabar buruk Sunan Bayat terdengar oleh Sultan Demak Bintoro, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya agar kembali kejalan yang benar.
Sunan Kalijaga kemudian mendatangi Kadipaten Semarang untuk menemui Sunan Bayat atau Pangeran Mangkubumi. .
Kemudian menyampaikan ayat suci al-Qur'an "Sesungguhnya Allah SWT lebih kaya dari siapapun...termasuk tuan sendiri atau saya sekalipun...Allah maha kaya dan kekayaannya meliputi seluruh alam semesta ini termasuk kuasa-Nya yang dapat memberi dan menghilangkan kekayaan seseorang dalam kedipan mata...saking kaya-Nya beliau...beliau dapat memberikan harta kepada saya yang lebih banyak dari yang tuan punya jika beliau berkehendak..."
Sunan Bayat malahan menertawakan dalil tersebut.
Mendengar kata-kata Sunan Bayat menjadikan Sunan Kalijaga menunjukkan karomahnya . Kemudian Sunan Kalijaga mengambil cangkul yang dia bawa. Dengan cangkul itu mulailah dia menggali tanah di pekarangan rumah sang Adipati Pandanaran. ke dua. Lalu tanah yang dia gali berubah menjadi emas.
Adipati Pandanaran ke dua atau Sunan Bayat Matanya terbelalak melihat bongkahan emas di halaman rumahnya. Tanpa sadar ingin mengambik bongkahan emas itu. Namun belum sempat menyentuh bongkahan emas tersebut, terkejut karena bongkahan emas yang semula terlihat jelas warba kuning keemasan itu tiba tiba menghilang dan berubah menjadi bongkahan batu hitam.
Sunan Bayat kaget dan pelan-pelan sambil minur air i menyadari kelalaiannya dan mengetahui kalau Sunan Kalijaga lah yang benar. Karena harta dan perhiasan itu hanya milik Allah yang setiap saat bisa berubah. Lantas Sunan Kalijaga menyampaikan nasehat, sangat mudah pula gusti Allah mengambil kekayaan dari seseorang dalam 1 kedipan mata...bahkan harta yang tuan banggakan itu bisa di ambil-Nya saat ini juga.
Peristiwa tersebut membuka mata hatinya berbalik total ingin menjadi manusia yang memiliki drajad kewalian. Oleh karena itu, Sunan Bayat mengundurkan diri dari jabatan Adipati Semarang dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya. Sunan Bayat kemudian meninggalkan Kadipaten Semarang didampingi isterinya, menuju Salatiga, Boyolali, Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi. Untuk meningkatkan keimanannya guna mengikuti jejak Sunan Kalijaga.
Kepala Domba
Ketika menuju daerah tersebut Sunan Bayat menemui hambatan berupa bertemunya dengan kepala perampok Ki Sambangdalan. Istrinya ketakutan mendengan perkataan perampok agar memberikan harta dan emas yang dibawa. .Istrinya mengatakan, tidak membawa emas. Tapi perampok mengetahui kalau emas itu ada di tongkat yang dibawa Sunan Bayat.
Tapi Ki Sambangdalan tidak percaya. Kemudian dengan kasar merampas tongkat yang dibawa Sunan Bayat. Namanya bekas adipati yang sakti mandraguna ganti menggertak kepala perampok tersebut. Kemudian berkata, Kami ini bengal, keras kepala seperti domba saja!.
Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba. Kemudian meminta maaf kepada Sunan Bayat agar dikembalikan ke wujud aslinya. Sambil merunduk ke kaki Sunan Bayat serasa memelas dan menangis.
Sunan Bayat lalu memberikan petuah, bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal maka harus bertirakat dan bertobat. Tinggalkan dunia hitam seperti merampok dan membunuh. Untuk menebus dosanya, perintah itu dilakukan dengan sungguh-sungguh bertobat. Bahkan menyatakan diri sebagai murid Sunan Bayat dan anak buahnya menyatakan masuk Islam.
Kemudian setelah dinyatakan sebagai muridnya, maka kemana perginya Sunan Bayat selalu mendampingi. Hal itu sebagai rasa pengabdian dan penebus dosa. Kondisi seperti ini menjadikan mantan adipati Semarang menjadikan aman. Karena tidak ada perampok yang berani mengganggu. Oleh kaena itulah, Ki Sambangdalan mendapat julukan sebagai Syekh Domba. HUSNU MUFID
Sunan Prapen
Kisah Sunan Prapen dan Makamnya
Jadikan Kesultanan Giri Pusat Peradaban Islam
Nama asli Sunan Prapen adalah Syekh Maulana Fatichal. Putra Syaikh Maulana Zainal Abidin (Sunan Dalem) dan cucu Syekh Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Berikut ini kisahnya.
Sunan Prapen merupakan sultan keempat dari kesultanan Giri sekitar tahun 1507 saka atau abad ke 16. Saat menjabat sebagai sultan, Sunan Prapen telah menjadikan Kedaton Giri sebagai pusat peradaban Islam dan ekonomi dan politik di nusantara.
Peran Sunan Prapen terhadap perkembangan dan pembinaan kerajaan Islam di Nusantara sangatlah besar. Ia berjasa terhadap kelangsungan masyarakat Maluku dari upaya penyerangan Portugis. Beliau menempatkan pasukan dari Giri di Maluku selama tiga tahun untuk menghadapi serangan Portugis.
Selain itu, pengaruh Sunan Prapen sangat disegani raja-raja di pulau Jawa. Ia selalu menjadi rujukan para raja sekaligus pelantik para raja di tanah Jawa. Selama beberapa dasawarsa, para Sunan di Giri mampu menjaga rakyatnya dari serangan Majapahit maupun Mataram. Selain itu Sultan yang sekaligus ulama ini mampu membina akhlaq dan keimanan rakyatnya dengan baik.
Ia memerintah relatif panjang. Lebih dari setengah abad hingga usia beliau lebih dari satu abad.
Dalam misi dakwahnya, Sunan Prapen berhasil menyebarkan agama Islam di daerah Indonesia Timurdan melanjutkan misi dakwah Sayyid Ali Murtadlo (Sunan Gisik) di Nusa Tenggara Barat hingga banyak diantara raja-raja di Nusa Tenggara Barat memeluk agama Islam.
Tapi belum berhasil menyebarkan agama Islam di Bali bagian selatan akibat perlawanan Dewa Agung sang Raja Gelgel.
Selain di Indonesia bagian timur, Sunan Prapen juga mengirimkan para Ulama yang merupakan santrinya untuk menyebarkan agama Islam di Sumatera dan Kalimantan. Bahkan Raja Ternate, RajaMatan dari Sukadana merupakan salah seorang santri Sunan Prapen
Upaya Sunan Prapen dalam membina dan mendidik para Santri dalam mempelajari agama Islam ternyata berhasil, beberapa murid beliau yang dari Minangkabau yang bernama Dato Ri Bandang menjadi imam agama Islam di Makassar, Sulawesi Selatan dan juga di Kutai, Kalimantan Timur. . Diusia senja, Sunan Prapen berniat membangun cungkup di makam kakeknya (Sunan Giri) atau Prabu Satmata yang melahirkan dinasti emimpin rohani Islam di Giri.
Wafatnya
Pada tahun 1512 Saka, Sunan Prapen wafat tepat di bulan Syawal dan amanah untuk memimpin umat Islam serta rakyatnya digantikan putranya yang bergelar Panembahan Kawisguwo.
Makam Sunan Prapen terletak di desa Klangonan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik sekitar 200 meter barat makam Sunan Giri. sekitar 100 meter jaraknya dengan makam Sunan Giri. Bentuk makamnya cukup panjang yang berada di dalam bangunan bercungkup terbuat dari kayu jati dan menyerupai makam-makam kuno. Kondisinya masih asli dan terlihat nampak megah. Penjiarah bisa masuk ke dalam dengan leluasa.
Untuk menuju ke makam tersebut harus melalui undak-undakan yang cukup tinggi. Mirip makam raja-raja Mataram di Yogyakarta.
Makam tersebut tidaklah seperti makam Sunan Giri yang banyak dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru nusantara. Hanya sebagian orang yang menyempatkan diri untuk berjiarah. Mereka itu biasanya peziarah yang suka lelaku kanoragan atau pezikir-pezikir dari berbagai aliran tarekat.
Alasannya, kalau melakukan lelaku dan berzikir di makam Sunan Prapen akan menuai ketenangan dan tidak terganggu kedatangan orang lain, sehingga dapat melakukan do’a dengan khusuk dan hikmat.
Suasana yang demikian itu, menjadikan orang-orang yang melakukan ziarah kerasan. Tidak heran kalau banyak yang menginap selama beberapa hari tinggal di sekitar makam. Hal tersebut dilakukan karena merasakan seperti rumahnya sendiri dan suasananya menyerupai kehidupan jaman lampau.
Selain itu ada juga penunggu lainnya yang tak kalah ganas dan garangnya yakni Singa yang memiliki taring cukup tajam. Binatang yang juga memiliki sinar mata tajam ini sering muncul di malam hari. Menampakkan diri pada sejumlah peziarah yang sedang konsentrasi berdo’a. Bagi yang nyalinya kecil, sudah barang tentu akan merasa ketakutan dan cepat-cepat meninggalkan makam.
Namun orang yang seringkali tirakat di makam tersebut tidak merasa takut. Bahkan dijadikan sebagai sahabat dimalam hari. Mereka meyakini binatang tersebut merupakan peliharaan Sunan Prapen jaman dahulu.
“Memang ada mahluk gaib itu seperti ular dan singa. Kadang-kadang dua binatang buas itu sering menampakkan diri pada malam hari,” ujar Pak Hasan Sekretaris Yayasan Makam Sunan Prapen Gresik Jatim.
Adanya dua binatang gaib itu menjadikan makam Sunan Prapen agak angker dan membuat bulu kuduk berdiri. Namun nyaman bila digunakan kegiatan-kegiatan laku spiritual. husnu mufid
Laksamana Cheng Hoo dan Sunan Bonang
Kisah Laksamana Cheng Ho dan Sunan Bonang di Rembang
Diawali Peperangan dan Diakhiri Bebas Berlayar
Laksamana Cheng o orang kepercayaan Kaesar Ju dhi dari kerajaan Ming melakukan perjalanan laut ke Jawa untuk misi perdamaian. Ia menggunakan armada yang terdiri dari 62 kapal besar, 255 kapal kecil, dengan awak kapal lebih dari 27.800 personel. Berikut ini kisahnya.
Laksamana Cheng Ho mendarat pertama kali di Nusantara pada tahun 1405 M, di Tuban. Ketika Cheng Ho mendarat di wilayah Jawa Timur itu sedang terjadi perang saudara yang cukup besar di Kerajaan Majapahit. Raja, ketika itu Prabu Wikrawardana yang bertahta di Blambangan. Akibat dari situasi peperangan itu, sekita 170 personil Cheng Ho terbunuh. Namun cheng Ho yang membawa pasukan yang besar tidak melakukan serangan balasan.Atas nama Kaisaran Cina, Cheng Ho menanyakan kejadian itu kepada Raja Majapahit itu. Merasa kesalahan ada di pihaknya, Prabu Wikrawardana kemudian mengirim utusan ke Cina, yang ketika itu diperintah oleh Kaisar Cheng Zu (Dinasti Ming). Semula Raja Majapahit itu hanya diminta membayar ganti rugi sebesar 60 ribu tali emas-dan sudah dibayarkan 10 ribu tali emas. Namun denda itu akhirnya dibebaskan oleh Kaisar Cheng Zu, karena raja jawa itu telah mengakui kesalahannya.
Hal inilah yang menjadikan raja dan rakyat Majapahit menyukai Laksamana Cheng Ho.
Ekspedisi kedua Laksamana Cheng Ho datang ke Rembang Jawa. Tapi kondisi kerajaan Majapahit telah bubar. Karena yang berkuasa du wilayah Pantai Utara Jawa adalah Kesultanan Demak Bintoro, sebuah kerajaan Islam yang pertama di Jawa.
Laksamana Cheng Ho melabuhkan jangkar dan kapalnya di Rembang hingga pesisir Tuban. Dua daerah tersebut masuk ke dalam wilayah Sunan Bonang, sebagai pusat penyebaran agama Islam. Bahkan juga sebagai tempat tinggalnya.
Kehadiran Laksamana Cheng Ho dengan 100 kapal sempat terjadi kesalahpahaman dengan tentara Kesultanan Demak Bintoro. Sehingga terjadi peperangan di tengah laut dan daratan. Panglima Kesultanan Demak Bintoro waktu itu adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Dalam peperanagan itu preajurit yang dipimpin Sunan Bonang lebih unggul. Sejumlah kapal miliki kerajaan Ming dapat di hancurkan. Bukti-bukti kemenagan itu adalah sejumlah Jangkar kapal yang kini dapat dilihat di Pantai Kartini Rembang.
Peperangan itu dapat berakhir setelah Laksamana Sam Po Kong mengumandangkan takbir dan membacakan ayat-ayat suci al-Qur'an. darisinilah akhirnya prajurut Kesultanan Demak Bintoro yang dipimpin Sunan Bonang tersadar bahwa yang diperangi itu adalah orang islam dari Tiongkok kerajaan Dinasti Ming.
Sunan Bonang pun akhirnya memerintahkan prajuritnya untuk menghentikan peperangan. Laksamana Sam Po Kong yang selama peperangan itu lebih memilih bertahan untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap prajurit Kesultanan Demak Karena menganggap sesama muslim.
Setelah peperangan berakhir, kedua prajurut dari Kesultanan Demak dan Dinasti Ming berpelukan dan bersalaman serta saling memaafkan. Mayat-mayat yang ada dikubur secara Islam.
Kemudian Sunan Bonang memberikan kemudahan kepada Laksamana Sam Po Kong untuk berlayar di Pulau Jawa dan bertempat tinggal cukup lama. pemberian izin tersebut dimanfaatkan untuk membentuk komunitas Tionghoa Islam di berbagai tempat di tepi pantai Pulau Jawa. Seperti di Surabaya dan Semarang. Juga membangun garis politik yang digariskan oleh Kerajaan Ming, dengan membentuk pusat perencanaan hubungan dagang dan politik Jawa.
Beri Pelajaran Mengukir
Selanjutnya, Laksamana Sam Po Kong banyak menyebarkan ilmu pengetahuan baru kepada penduduk lokal di tempat yang disinggahinya. Yaitu di Jepara dan Kudus memberikan pendidikan mengukir. Di Semarang memberikan pelajaran membuat Mie Ayam.
Di masyarakat pantai pantai Jawa Timur, armada cheng Ho mengajarkan cara bercocok tanam, berternak, kesenian-mulai dari seni ukir hingga seni arsitektural-hingga cara membuat alat bajak dari besi.
Peninggalan berupa bangunan fisik yang masih tersisa hingga saat ini adalah Kelenteng Gunung Batu atau yang populer disebut Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Kelenteng Talang di Cirebon dan lelenteng Ancol di Jakarta. Dan peninggalan dari berkesenian adalah seni ukir di Jepara, banyak pengerajin ukiran kayu di Jepara hingga sekarang.
Namun sayangnya peninggalan-peninggalan Laksamana Sam Poo Kong telah berubah menjadi tempat peribadatan Tri Dharma bagi warga Cina. Tapi masyarakat Islam menjadikan sebagai tempat wisata. karena dulunya tempat ibadah tersebut merupakan peninggalan jendral dari kerajaan Ming yang beraga Islam. HUSNU MUFID
Sunan Kalijogo dan Ki Pamanahan
Kisah Sunan Kalijaga Diawal Berdirinya Kerajaan Mataram
Sarankan Hutan Mentaok Diberikan Ki Pemanahan
Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang memiliki usia cukup panjang. Hingga akhirnya ikut andil dalam mendirikan kerajaan Mataram di hutan mentaok hadiah dari Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang. Bagaimanakah kisahnya.
Setelah perang berakhir dan kerajaan Pajang berdiri, bukannya Ki Pamanahan resah bercampur kecewa. Bumi Mentaok sebagai hadiah sayembara dalam mengalahkan Aryo Penangsang belum juga diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya,
Sultan Pajang. Sultan terkesan mengulur, menunda-nunda atas pemberian hadiah tersebut. Padahal, tanah Pati yang menjadi satu paket dalam hadiah sayembara tersebut sudah diserahkan ke Ki Penjawi, sepupu Ki Pamanahan.
Ki Pamanahan benar-benar sangat kecewa, karena kesetiaan, pengabdian yang selama ini ia lakukan seolah-olah diabaikan begitu saja oleh Sultan Hadiwijaya. Pengorbanan demi kewibawaan Kasultanan Pajang yang ia lakukan tatkala tidak satupun orang Pajang yang berani melawan Aryo Penangsang, Adipati Jipang yang sakti mandraguna.
Meskipun sangat kecewa, Pamanahan tidak mau melakukan pemberontakan pada Hadiwijaya. Dia lebih memilih bertapa di dusun Kembang Lampir guna mendekatkan diri pada Tuhan demi meminta keadilan atas nasibnya.
Sunan Kalijaga seorang waliyullah anggota Dewan Wali Songo mengetahui kesedihan Pamanahan tersebut. Sang Sunan yang menjadi panutan masyarakat Jawa tersebut kemudian menjadi mediator mempertemukan Pamanahan dengan Hadiwijaya. Hadiwijaya akhirnya menyerahkan bumi Mentaok pada Pamanahan dengan syarat Pamanahan mengucapkan sumpah-setia pada Pajang.
Setelah mendapatkan hutan Mentaok berkat campur tangan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan mengajak 150 orang Selo migrasi ke hutan Mentaok. Sebelum menuju Mataram, mereka ijin dulu ke Pajang. Dalam perjalanan, mereka mampir di Dusun Taji. Oleh sesepuh desa Taji, Ki Ageng Karang Lo, rombongan Selo itu mendapatkan jamuan makan yang memuaskan. Sebagai bukti kesetiaan, Ki Ageng Karang Lo mengantar rombongan Selo hingga hutan Mentaok. Di tengah perjalanan, mereka bertemu Sunan Kalijaga yang sedang mandi di sungai.
Ki Pamanahan dan Ki Ageng Karang Lo segera mendekat dan mencuci kaki Guru Agung Tanah Jawa tersebut. Karena kebaikan keduanya, maka Sunan Kalijaga berkata, “Anak keturunan Karang Lo kelak akan hidup mulia bersama anak turunan Pamanahan, tapi tak boleh menyandang gelar “Raden” atau “Mas”, dan tidak boleh menaiki tandu.”
Sampailah rombongan Selo itu di hutan Mentaok. Dengan kerja keras tiada henti, hutan lebat itu diubah menjadi pemukiman yang ramai, Mataram namanya. Sebuah dusun yang kaya akan hasil beras dan kayunya. Ki Pamanahan diangkat sebagai sesepuh Mataram dengan gelar Ki Ageng Mataram.
Kemudian Ki Pamanahan memberikan wasiat kepada sanak-kerabatnya, diantaranya: jika anak-cucunya berkuasa, agar menempatkan posisi secara mulia kepada kerabat Mataram (Selo) yang telah mbabat alas hutan Mentaok menjadi Mataram. Kedua, kalau suatu saat Mataram akan ekspansi ke Bang Wetan (daerah pesisir Jawa Timur) hendaknya dilakukan pada hari Jum’at Pahing bulan Muharram, sama dengan hari penghadapan Sunan Giri di Japanan. Ketiga, dalam penaklukan Bang Wetan hendaknya tidak melewati Gunung Kendeng.
Tidak lama kemudian Ki Ageng Mataram jatuh sakit. Dia akhirnya wafat tahun 1584. Sebelum meninggalnya, Ki Ageng Mataram kembali memberikan wasiat; menitipkan anak-anaknya ke Ki Juru Martani, sepupu sekaligus iparnya. Kedua, menunjuk Sutawijaya, Raden Ngabehi Loring Pasar untuk menggantikan keududukannya. Ketiga, agar Sutawijaya tetap mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Mataram. Keempat, agar anak-anaknya yang lain (Raden Jambu, Raden Santri, Raden Tompe, dan Raden Kedawung) patuh dan taat pada Ki Juru Martani
Topo Ngeli
Sepeninggal Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pamanahan), Sutawijaya memimpin Kademangan Mataram. Kemudian melakukan melakukan tapa ngeli dengan mengikat tubuhnya pada sebilah papan dari kayu jati tua (Tunggul Wulung), dia membiarkan tubuhnya terhanyut di Kali Opak Kemudian naik di atas ikan Olor yang dulu pernah diselamatkannya dari seorang nelayan. Begitu sampai di Laut Kidul, Senopati berdiri tegak di tepian ombak lautan kidul itu.
Datanglah ombak besar, angin menderu membuat gelombang badai. Selama tujuh hari tujuh malam badai itu berlangsung. Senopati tetap tegar berdiri melanjutkan tapanya. Melihat hal tersebut, datanglah Sunan Kalijaga, Wali Agung Tanah Jawa.
Wali anggota Dewan Wali Songo tersebut menasehati Senopati agar tidak sombong dengan memamerkan kesaktiannya seperti itu karena Allah bisa tidak suka. Senopati mengajak Sunan Kalijaga karena sang Sunan ingin melihat kemajuan Mataram. Sesampai di Mataram, Sunan Kalijaga menasehati agar Senopati membangun pagar rumah sebagai bentuk ketawakalan kepada Allah. Sang Sunan juga menyarankan agar Senopati membuat pagar bumi jika akan mendirikan rumah. Juga Sunan menyarankan agar rakyat Mataram membuat batu bata sebagai bahan membangun kota raja.
Sunan Kalijaga kemudian mengambil tempurung berisi air. Dituangkanlah air itu seraya berkeliling dan berdzikir. Sang Sunan berpesan, “ Kelak jika engkau membangun kota, maka ikutilah tuangan airku ini”. Sang Sunan kemudian berpamitan HUSNU MUFID
NYi Gede Pinatih dan Sunan Giri
Kisah Nyi Gede Pinatih dengan Sunan Giri
Berinama Joko Samudro
Umat Islam Jawa Timur mengidolakan Nyai Ageng Pinatih seorang janda dari pembesar kerajaan Majapahit yang kemudian menjadi seorang pedagang kaya raya di Gresik. Juga memiliki memiliki jasa sangat besar terhadap Sunan Giri. Berikut ini kisahnya.
Pada era jaman Majapahit, Nyai Gede Pinatih. Juga dikenal dengan sebutan Nyai Tandes yang sangat dihormati dan pemilik kapal cukup banyak di Gresik. Ia mendapat tanah perdikan dari saudaranya yang menjadi istri Raja Majapahit. Kemudian Raja Majapahit mengangkatannya sebagai Syahbandar Gresik pada 1458 M.
Kapal-kapal milik Nyi Gede Pinatih sering berlayar di Selat Bali yang berdekatan dengan Banyuwangi. Dalam perkembangannya menguasai selat tersebut dalam hal perdagangan. Dimana banyak barang dagangan dari kerajaan Bali dan Blambangan banyak menggunakan jasa kapal milik Nyi Gede Pinatih.
Pada 1443 M di kerajaan Blambangan yang adipatinya bernama Menak Sembuyu terjadi peristiwa yang mengharukan. Saat itu Sunan Giri masih bayi, anak dari pasangan Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu, dibuang ke laut oleh Dewi Sekardadu yang terletak di Selat Bali. Dewi Sekardadu adalah putri Prabu Menak Sembuyu.
Sunan Giri dibuang kelaut dengan alasan sebagai pembawa sial kerajaan Blambangan. Dimana penyakit pageblug menimpa rakyat.
Bayi Sunan Giri rupanya dilindungi oleh Allah. ABK kapal milik Nyi Gede Pinatih menemukan bayi tersebut yang awalnya dikira barang berharga.
Pada saat itu kapal Nyai Ageng Pinatih kebetulan hendak berlayar menuju Pulau Bali. Hampir semua Perhatian para awak kapal tertuju pada sebuah peti yang terapung-apung di tengah laut. Bahkan, kapal mereka sempat menabrak peti berisikan bayi laki-laki.
Tanpa pikir panjang para awak kapal mengangkat peti. Ketika dibuka, ternyata di dalam peti ada seorang bayi laki-kali. Para awak kapal anak buah Nyai Ageng Pinatih lalu memutuskan tidak jadi melanjutkan perjalanan menuju Bali yang tentu harus mendapat restu dari sang pemilik kapal. Hingga akhirnya, para ABK iti memilih kembali ke Gresik untuk melaporkan penemuan peti yang berisi bayi tersebut kepada Nyai Ageng Pinatih.
Ketika Nyai Ageng Pinatih ndapatir para ABK-nya pulang lebih cepat, tentu saja Nyai ede Pinatih terkejut. Apalagi, anak buahnya membawa peti yang berisi bayi. Singkat cerita, Nyai Ageng Pinatih merawat bayi Yang kelak akan mendapat julukan Pangeran Giri, Atau Prabu Satmata. Apalagi, konon dia sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.
Setelah sekian hari setelah ditemukannya bayi dalam peti. Kemudian Nyai Ageng Pinatih memberikan ama pada bayi tersebut dengan nama Joko Samudro, karena ditemukan di tengah samudera. Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, Nyai Ageng Pinatih merawat Joko Samudro yang kelak menjadi Sunan Giri.
Ngaji ke Sunan Ampel
Sekitar tahun 1445 M, Nyai Ageng Pinatih menitipkan Joko Samudro atau Raden Pake untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren Ampeldento Surabaya, di bawah asuhan Sunan Ampel.
Pilihan Nyai Ageng Pinatih menitipkan Joko Samudro ke Pesantren Ampeldento terbukti tepat. Joko Samudro membuktikan diri sebagai santri luar biasa. Sunan Ampel tahu betul Raden Paku memang bukan santri biasa. Akhirnya, para wali di Pulau Jawa mengangkat Raden Paku menjadi wali dengan julukan Sunan Giri.
Setelah menginjak dewasa, Sunan Giri dengan gigih menyebarkan Islam di Gresik dan i menjadi pemimpin masyarakat Gresik yang cukup disegani.
Tak bisa dipungkiri, Nyai Ageng Pinatih menjadi sosok yang sangat berarti bagi Sunan Giri. Meski hanya ibu angkat, tetapi Nyai Ageng Pinatih sangat berjasa karena berhasil mencetak seorang sunan yang menjadi pejuang Islam di kawasan itu. Maka, tidak heran bila beliau juga berperan dalam perkembangan Islam di Kota Gresik, Jawa Timur.
Nyai Ageng Pinatih meninggal tahun 1478 M. Kompleks makam Nyai Ageng Pinatih terletak di Kelurahan Kebungson, Gresik, Jawa Timur, beberapa ratus meter arah utara Alun-alun Kota Gresik.HUSNU MUFID
Berinama Joko Samudro
Umat Islam Jawa Timur mengidolakan Nyai Ageng Pinatih seorang janda dari pembesar kerajaan Majapahit yang kemudian menjadi seorang pedagang kaya raya di Gresik. Juga memiliki memiliki jasa sangat besar terhadap Sunan Giri. Berikut ini kisahnya.
Pada era jaman Majapahit, Nyai Gede Pinatih. Juga dikenal dengan sebutan Nyai Tandes yang sangat dihormati dan pemilik kapal cukup banyak di Gresik. Ia mendapat tanah perdikan dari saudaranya yang menjadi istri Raja Majapahit. Kemudian Raja Majapahit mengangkatannya sebagai Syahbandar Gresik pada 1458 M.
Kapal-kapal milik Nyi Gede Pinatih sering berlayar di Selat Bali yang berdekatan dengan Banyuwangi. Dalam perkembangannya menguasai selat tersebut dalam hal perdagangan. Dimana banyak barang dagangan dari kerajaan Bali dan Blambangan banyak menggunakan jasa kapal milik Nyi Gede Pinatih.
Pada 1443 M di kerajaan Blambangan yang adipatinya bernama Menak Sembuyu terjadi peristiwa yang mengharukan. Saat itu Sunan Giri masih bayi, anak dari pasangan Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu, dibuang ke laut oleh Dewi Sekardadu yang terletak di Selat Bali. Dewi Sekardadu adalah putri Prabu Menak Sembuyu.
Sunan Giri dibuang kelaut dengan alasan sebagai pembawa sial kerajaan Blambangan. Dimana penyakit pageblug menimpa rakyat.
Bayi Sunan Giri rupanya dilindungi oleh Allah. ABK kapal milik Nyi Gede Pinatih menemukan bayi tersebut yang awalnya dikira barang berharga.
Pada saat itu kapal Nyai Ageng Pinatih kebetulan hendak berlayar menuju Pulau Bali. Hampir semua Perhatian para awak kapal tertuju pada sebuah peti yang terapung-apung di tengah laut. Bahkan, kapal mereka sempat menabrak peti berisikan bayi laki-laki.
Tanpa pikir panjang para awak kapal mengangkat peti. Ketika dibuka, ternyata di dalam peti ada seorang bayi laki-kali. Para awak kapal anak buah Nyai Ageng Pinatih lalu memutuskan tidak jadi melanjutkan perjalanan menuju Bali yang tentu harus mendapat restu dari sang pemilik kapal. Hingga akhirnya, para ABK iti memilih kembali ke Gresik untuk melaporkan penemuan peti yang berisi bayi tersebut kepada Nyai Ageng Pinatih.
Ketika Nyai Ageng Pinatih ndapatir para ABK-nya pulang lebih cepat, tentu saja Nyai ede Pinatih terkejut. Apalagi, anak buahnya membawa peti yang berisi bayi. Singkat cerita, Nyai Ageng Pinatih merawat bayi Yang kelak akan mendapat julukan Pangeran Giri, Atau Prabu Satmata. Apalagi, konon dia sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.
Setelah sekian hari setelah ditemukannya bayi dalam peti. Kemudian Nyai Ageng Pinatih memberikan ama pada bayi tersebut dengan nama Joko Samudro, karena ditemukan di tengah samudera. Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, Nyai Ageng Pinatih merawat Joko Samudro yang kelak menjadi Sunan Giri.
Ngaji ke Sunan Ampel
Sekitar tahun 1445 M, Nyai Ageng Pinatih menitipkan Joko Samudro atau Raden Pake untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren Ampeldento Surabaya, di bawah asuhan Sunan Ampel.
Pilihan Nyai Ageng Pinatih menitipkan Joko Samudro ke Pesantren Ampeldento terbukti tepat. Joko Samudro membuktikan diri sebagai santri luar biasa. Sunan Ampel tahu betul Raden Paku memang bukan santri biasa. Akhirnya, para wali di Pulau Jawa mengangkat Raden Paku menjadi wali dengan julukan Sunan Giri.
Setelah menginjak dewasa, Sunan Giri dengan gigih menyebarkan Islam di Gresik dan i menjadi pemimpin masyarakat Gresik yang cukup disegani.
Tak bisa dipungkiri, Nyai Ageng Pinatih menjadi sosok yang sangat berarti bagi Sunan Giri. Meski hanya ibu angkat, tetapi Nyai Ageng Pinatih sangat berjasa karena berhasil mencetak seorang sunan yang menjadi pejuang Islam di kawasan itu. Maka, tidak heran bila beliau juga berperan dalam perkembangan Islam di Kota Gresik, Jawa Timur.
Nyai Ageng Pinatih meninggal tahun 1478 M. Kompleks makam Nyai Ageng Pinatih terletak di Kelurahan Kebungson, Gresik, Jawa Timur, beberapa ratus meter arah utara Alun-alun Kota Gresik.HUSNU MUFID
Langganan:
Postingan (Atom)