Dibalik
Kepergian Sunan Ampel dari Kerajaan Champa Menuju Majapahit (1)
Diminta Prabu
Kertawijaya erbaiki Moralitas Bangsawan
Nama
asli Sunan Ampel adalah Sayyid Ali Rahmatullah saat masih tinggal di kerajaan
Champa. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar
kewaliannya saat menjadi Ketua Dewan Walisongo, dan nama Ampel atau
Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya di Surabaya. Berikut ini kisah
perjalanannya dari kerajaan Champa menuju Majapahit untuk menjalankan tugas
suci.
.
Raden
Rahmat dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa. Ayah Sunan Ampel bernama Syekh Maulana Ibrahim Asmoro Qondi dari Asia Tengah Samarkand Uzbekistan. Ibunya
bernama Dewi Chandrawulan putri Raja Champa dan saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum,
ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu Kertawijaya atau Brawijaya V.
Di
kerajaan Champa Raden Rahmat Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim,
sangat terpelajar. Juga mendalam tentang agama Islam dan dikenal mempunyai
akhlak yang suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi
terhadap masalah-masalah sosial.
Kealiman
dan ahli pendidikan Raden Rahmat terkenal hingga ke kerajaan Majapahit. Oleh
karena itu, ketika kerajaan tersebut mengalami masalah terjadi perang saudara. Lebih-lebih lagi
dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka
berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul
bila kebiasaan semacam ini diteruskan kerajaan akan menjadi lemah.
Ratu
Dwarawati, yaitu isteri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya.
Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. Seorang
keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti.
Yaitu Raden Rahmat putra dari kanda Dewi
Candrawulan di negeri Champa.
Pengajuan
Ratu Dwarawati itu diterima oleh Prabu Brawijaya V. Kemudian diberangkatkanlah
utusan dari Majapahit ke negeri Champa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah
datang ke Majapahit. Kedatangan utusan tersebut disambut gembira oleh Raja Champa,
dan Raja Champa bersedia mengirim cucunya ke Majapahit..
Keberangkatan
Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh
ayahnya Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali
Murtadho dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa).Singgah terlebih
dahulu ke Tuban dan meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu
Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal
layar yang ditumpanginya mendarat dipelabuhan Canggu.
“Kedatangannya
disambut dengan suka cita oleh Prabu Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya sendiri
memeluknya erat-erat seolah-olah sedang memeluk kakak perempuannya yang di
negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali Rahmatullah memang sangat mirip dengan
kakak perempuannya,”ungkap Drs. Mustofa Huda, MAg dosen Fakultas Tarbiyah UINSA
Surabaya.
Disebutkan
dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari
di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu puteri Majapahit yang
bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali
Rahmtullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu
Raja Majapahit.
Diambil Menantu Raja
Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka beliau adalah
anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran
pada jaman dahulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berarti
Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
Selanjutnya,
pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah
daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta. Rombongan itu
melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Pada saat itu
kawasan desa kembang kuning belum seluas sekarang ini. Disana sini masih banyak
hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama
rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau
langgar. Tempat sembahyang itu sekarang dirubah menjadi mesjid yang cukup besar
dan bagus.
Ditempat
itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu
Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama
keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat. Dengan adanya kedua
tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan
pendekatan kepada masyarakat sekitarnya.
Terutama
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak
langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit
tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Kemudian pindah ke Ampel Denta dan
membangun sebuah masjid dengan berbahan kayu sebagai pusat kegiatan ibadah. .
Selanjutnya
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran
Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau. Hasil didikan
mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal
tercela yaitu : Moh Main atau tidak mau berjudi, 2. Moh Ngombe
atau bermabuk-mabukan, 3. Moh Maling, 4. Moh Madat atau
tidak mau mengisap candu. 5. Moh Madon atau tidak mau berzinah..
Prabu
Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama
Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat
kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam, maka Prabu Brawijaya tidak
marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia
ingin menjadi raja Budha yang terakhir di Majapahit.
Setelah
Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai Mufti atau
pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel
sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan
Kudus dan Sunan Gunung Jati. HUSNU MUFID
Sisilah Sunan Ampel
Sunan
Ampel / Raden Rahmat / Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana
Malik Ibrahim Asmoro Qondi bin
Syaikh
Jumadil Qubro Hadhramaut) bin
Muhammad
Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin
Ahmad
Jalaludin Khan bin
Abdullah
Khan bin
Abdul
Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
Alawi
Ammil Faqih
Ali
Kholi' Qosam bin
Alawi
Ats-Tsani bin
Muhammad
Sohibus Saumi'ah bin
Alawi
Awwal bin
Ubaidullah bin
Ahmad
al-Muhajir bin
Isa
Ar-Rumi bin
Muhammad
An-Naqib bin
Ali Uraidhi bin
Di Balik
Kepergian Sunan Ampel dari Kerajaan Champa Menuju Majapahit (2-Habis)
Mencetak Para Wali dan Raja di Tanah Jawa
Raden Rahmat
setibanya di Ampel Denta mendirikan sebuah masjid dan pondok pesantren dengan
harapan nanti akan melahirkan generasi baru yang mampu mengislamkan tanah Jawa
dan mendirikan sebuah kerajaan Islam. Berikut ini kisahnya.
Setibanya di
Desa Kembangkuning itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua
tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh
masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden
Rahmat. Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu, maka semakin mudah bagi Raden
Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya.
Terutama kepada
masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak
langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit
tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Kemudian pindah ke Ampel Denta dan
membangun sebuah masjid dengan berbahan kayu sebagai pusat kegiatan ibadah.
Selanjutnya
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran
Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau. Hasil didikan
mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal
tercela yaitu: Moh Main atau tidak mau berjudi, 2. Moh Ngombe atau
bermabuk-mabukan, 3. Moh Maling, 4. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu. 5.
Moh Madon atau tidak mau berzinah.
Prabu Brawijaya
sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu
adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian
mengumumkan ajarannya adalah agama Islam, maka Prabu Brawijaya tidak marah,
hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin
menjadi raja Buddha yang terakhir di Majapahit.
Di Ampel Denta,
Raden Rahmat tinggal bersama dua istrinya. Yaitu Dewi Karimah dan Dewi
Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak
yaitu Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan
Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku
atau Sunan Giri.
Dengan istri
keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti
Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan
Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.
Di Ampel Denta
Sunan Ampel mendirikan pondok pesantren dengan tujuan mengader generasi rabbani
untuk menjadi para wali dan raja di Pulau Jawa guna melanjutkan perjuangan
dakwah Islam. Di antara murid-muridnya selain anaknya sendiri adalah Raden
Patah, Raden Ainul Yaqin, Syekh Siti Jenar, Mbah Sholeh, dan sejumlah anak-anak
para bangsawan kerajaan Majapahit.
Raden Rahmat
mendidik Raden Ainul Yakin dan Raden Patah dengan ilmu agama Islam dan tata
negara sistem Islam dengan harapan nantinya menjadi seorang raja di Pulau Jawa.
Harapannya itu menjadi kenyataan. Raden Ainul Yakin menjadi seorang Raja di
Kedaton Giri dan Raden Patah menjadi rasa di Kesultanan Demak Bintoro.
Setelah Syekh
Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan
Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti
atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel
sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Drajad adalah
putra Sunan Ampel sendiri.
Ketika kerajaan
majapahit mengalami keruntuhan akibat serangan Patih Udara dari Kadipaten
Kediri, maka selaku Mufti mengusulkan dan kemudian mengangkat Raden Ainul Yakin
atau Sunan Giri I menjadi seorang raja di Giri Kedaton Gresik dan menjadikan
Raden Patah sebagai Sultan Demak Bintoro di Jawa Tengah.
“Jasa beliau
yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya
yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau juga turut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah
satu di antara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama
sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel,” ujar H. Mustofa Huda, SH. M.Ag
dosen Fakultas Tarbiyah UINSA Surabaya.
Sunan Ampel
tidak kembali ke kerajaan Champak karena telah dihancurkan oleh kerajaan
Vietnam. Hingga akhirnya menetap di Ampel Denta Surabaya hingga akhir hayatnya
dikubur di daerah tersebut. Hingga kini banyak masyarakat yang menziarahi
makamnya. HUSNU MUFID
Silsilah
Sunan Ampel
Sunan Ampel / Raden Rahmat / Sayyid
Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim Asmoro Qondi bin
Syekh Jumadil Qubro Hadhramaut) bin
Muhammad Sohib
Mirbath (Hadhramaut) bin
Ahmad Jalaludin
Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India)
bin
Alawi Ammil Faqih
Ali Kholi' Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Ahmad al-Muhajir bin
Isa Ar-Rumi bin
Muhammad An-Naqib bin
Ali Uraidhi bin
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat