Syekh Maulana Ibrahim Asmoro Qondi dari Samarkad Hingga Jawa
Dinikahkan
dengan Putri Raja Champa
Syekh
Maulana Ibrahim Asmoro Qondi merupakan salah satu ulama penyebar agama Islam.
Nama Samarkand adalah nama daerah di Asia Tengah. Tokoh ini datang di Pulau
Jawa sekitar pada abad ke-14 M. Dalam naskah Nagarakretabhumi, disebut dengan
nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Berikut kisah hidupnya.
SYEKH Maulana Ibrahim Asmoro Qondi adalah
putra dari Syekh Hussain Jumadil Qubro
ini lahir di Samarkand,Asia Tengah, pada paruh kedua abad ke-14. Ia mempunyai nama asli Ibrahim Asyamar Khan. Gelar
Khan di belakang nama aslinya itu menunjukkan masih memiliki darah biru dari
raja Hulagu Khan, putra Jengkhis Khan yang menyerbu kerajaan Abbasyiah di
Bagdad.
Sedangkan di Babad Tanah Jawi menyebut
namanya dengan sebutan Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim
Asmoro.Sebutan itu mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan
as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi Asmoro Qondi.
Sejak kecil hidup dalam lingkungan
keluarga kerajaan dan ulama. Pendidikan agama diberikan dari ayahnya sendiri
dan membuat senjata dari keluarga kerajaan. Oleh karena itu, menginjak usia
dewasa beliau terkenal sebagai seorang
pejuang yang sangat kokoh dalam menyebarkan agama Islam dan memiliki keahlian
sebagai pande besi yang handal dalam
membuat persenjataan.
Ketika ayahnya Syekh Hussain Jumadil Qubro berdakwah ke Kerajaan Campa di wilayah
Indochina. Syekh Jumadil Qubro ikut bersama
dan menetap di Gunung Sukasari.
Model dakwahnya dengan mengedepankan ahlak. Tidak menggunakan cara –cara
kekerasan maupun mengkafirkan orang lain.
Dari sinilah Raja Champa dan rakyatnya
tertarik dengan teladan yang ditampilkan dua ulama besar dari Samarkandi itu.
Lama kelamaan akhirnya bersedia masuk Islam tanpa ada paksaan. Hingga akhirnya ajaran Islam diterima sebagai agama kerajaan
Champa.
Di
tahun 1416 M Syekh Maulana Ibrahim Asmoro Qondi dinikahkan ayahnya dengan Dewi Candrawulan, putri ke dua Raja
Campa Jaya Simhawarman III yang dalam Serat Walisana disebut sebagai Raja
Kiyan. Putri pertama Raja Kiyan, Dyah Dwarawati yang dalam Babad Tanah Jawi
disebut sebagai Putri Campa, menikah dengan Sri Kertawijaya tahun 1415 M, yang
saat itu masih berstatus salah satu calon putra mahkota Kerajaan
Majapahit.
“Dari pernikahan itu Syekh Makhdum
Ibrahim Asmara Qondi memiliki dua putra yaitu Raden Santri atau Raden Ali Murtaha lahir
tahun 1417 M. Sedang putra keduanya Raden Rahmat baru lahir tahun 1420 M,”ujar
Prof. Dr. Syeikhul Hadi Permana Guru
Besar UINSA Surabaya.
Syekh Maulana Ibrahim Asmoro Qondi bertempat tinggal di Champa selama tiga belas
tahun lamanya. Kemudian menuju Jawa
setelah kerajaan Champa diserang kerajaan Vietnam dan mengalami kekalahan. Ia
lolos dalam upaya pembunuhan. Sedangkan keluarga kerajaan lainnya banyak yang
terbunuh.
Islamkan Arya Damar
Kedatangannya ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440
Masehi, bersama dua orang putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah
kerabat, dengan tujuan menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya,
yaitu Dewi Darawati. Sebelum ke Jawa, rombongan Syekh Ibrahim Asmoro Qondi
singgah dulu ke Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati
Palembang, Arya Damar.
Setelah berhasil mengislamkan Adipati Palembang,
Arya Damar (yang namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan keluarganya.
Selanjutnya Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta putera dan kemenakannya
melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan mendarat di sebelah timur
bandar Tuban, yang disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang,
Kabupaten Tuban).
Pendaratan Syekh Ibrahim Asmoro Qondi di
Gesik dewasa itu dapat dipahami sebagai suatu sikap kehati-hatian seorang
penyebar dakwah Islam.Mengingat Bandar Tuban saat itu adalah bandar pelabuhan
utama Majapahit. Itu sebabnya Syekh Ibrahim Asmoro Qondi beserta rombongan
tinggal agak jauh di sebelah timur pelabuhan Tuban, yaitu di Gesik untuk
berdakwah menyebarkan kebenaran Islam kepada penduduk sekitar. Sambil menulis
sebuah kitab dengan nama Usui Nem Bis, yaitu sejilid kitab berisi enam kitab
dengan enam bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmoro Qondi.
Syekh Ibrahim Asmoro Qondi tidak lama berdakwah di Gesik. Sebelum
tujuannya ke ibukota Majapahit terwujud, Syekh Ibrahim Asmoro Qondi dikabarkan
meninggal dunia. Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai. Makamnya
dikeramatkan masyarakat dan dikenal dengan sebutan makam Sunan Gagesik atau
Sunan Gesik.
Sepeninggal Syekh Ibrahim Asmoro Qondi,
putra-putranya Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah beserta kemenakannya, Raden
Burereh (Abu Hurairah) beserta beberapa kerabat asal Champa lainnya,
melanjutkan perjalanan ke ibukota Majapahit untuk menemui bibi mereka Dewi
Darawati yang menikah dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota Majapahit
dilakukan dengan mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke Kutaraja
Majapahit. HUSNU MUFID
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat