Abu Ali Al-Hussain Ibn
Abdallah:
Pemikiran Filsafatnya Dibahas Imam Ghazali
Sejak muda, Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah sudah mampu menguasai
berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani. Juga menguasai ilmu agama
Islam. Dalam perkembangannya menjadi seorang ulama, yang mewarnai perkembangan
filsafat Islam.
KINI
pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam kitabnya, banyak dipelajari oleh
ilmuwan di berbagai negara di dunia. Abu Ali Al Hussain Ibn Abdallah dilahirkan
pada tahun 370 Hijrah bersamaan dengan 980 Masehi di Iran. Sejak kecil hingga
dewasa memang suka belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum di Bukharah,
Iran seperti bidang bahasa dan sastra. Juga mempelajari ilmu-ilmu lain, yaitu geometri,
logika, matematika, dan sains. Ia berpendapat bahwa seorang muslim harus mampu
menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
Oleh karena
itu, penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu telah menjadikannya seorang tokoh
sarjana yang serba bisa. Ia tidak sekadar menguasainya. Hingga akhirnya mencapai
tahap puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang ilmu yang dipelajari.
Di samping
itu, tokoh ini menguasai ilmu logika sehingga mendapat gelar guru ketiga. Dalam
bidang penulisan, Abu Ali Al Hussein Ibnu Abdallah telah menghasilkan ratusan
karya termasuk kumpulan risalah yang mengandung hasil sastra kreatif. Ia
merupakan pelopor penulisan sastra kreatif di zamannya.
Ia juga
merupakan seorang ahli falsafah yang terkenal. Pernah menulis sebuah buku
berjudul “An-Najah” yang membicarakan persoalan falsafah. Pemikiran falsafahnya
banyak dipengaruhi oleh aliran falsafah al-Farabi yang telah menghidupkan
pemikiran Aristotle.
Oleh sebab
itu, pandangannya banyak dipengaruhi oleh asas dan teori perubatan Yunani,
khususnya Hippocrates. Pemikiran tokoh Yunani merasuki alam pemikirannya.
Sehingga pengaruh pemikiran Aristoteles sangat kuat mempengaruhi dirinya.
Ia
berpendapat bahwa matematika boleh digunakan untuk mengenal Tuhan. Pandangan
yang sama pernah dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani seperti Pythagoras untuk
menguraikan mengenai suatu kejadian. Bagi Pythagoras, suatu barang mempunyai
angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini. Berdasarkan pandangan itu, Imam
al-Ghazali telah menyifatkan fahamnya sebagai sesat dan lebih merusakkan
daripada kepercayaan Yahudi dan Nasrani.
Sebenarnya,
ia tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku “An-Najah”, menyatakan
bahwa pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib al-Wujud" ialah satu.
Dia tidak berbentuk dan tidak boleh dibagikan dengan apa-apa cara sekalipun.
Menurutnya, segala yang wujud (mumkin al-wujud) terbit daripada "Wajib
al-Wujud" yang tidak ada permulaan.
Tetapi
tidaklah wajib segala yang wujud itu datang daripada Wajib al-Wujud. Sebab, Dia
berkehendak bukan mengikut kehendak. Walau bagaimanapun, tidak menjadi halangan
bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan segala yang wujud karena
kesempurnaan dan ketinggian-Nya.
Pemikiran
falsafah dan konsep ketuhanannya telah ditulisnya dalam bab "Himah
Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya susunan akal dan nufus langit
dan jirim atasan.” Pemikirannya ini telah mencetuskan kontroversi dan telah
disifatkan sebagai satu percobaan untuk membahaskan zat Allah.
Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang
berjudul Tahafat al'Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli
Falsafah) untuk membahaskan pemikirannya. Antara sanggahan yang diutarakan oleh
Al-Ghazali ialah penyangkalan terhadap kepercayaan dalam keabadian planet bumi,
penyangkalan terhadap penafikkannya mengenai pembangkitan jasad manusia dengan
perasaan kebahagiaan dan kesengsaraan di surga maupun neraka.
Walau apa
pun pandangan yang dikemukakan, sumbangannya dalam perkembangan falsafah Islam
tidak mungkin dapat dinafikan. Bahkan, ia boleh dianggap sebagai orang yang
bertanggung jawab menyusun ilmu falsafah dan sains dalam Islam. HUSNU MUFID
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat