Keunikan Klenteng
Hong San Kiong di Jombang
Terdapat Wayang
Potehi Berusia 150 Tahun
Selain banyak
dijumpai Pondok Pesantren, tetapi di kota santri Jombang juga terdapat sebuah
klenteng tua yang terletak di kawasan Gudo. Yaitu Klenteng Hong San Kiong. Berikut
hasil liputan wartawan posmo.
Lokasi Klenteng
‘Hong San Kiong’ berada di tepi jalan raya Gudo, di antara pemukiman penduduk.
Lokasinya yang berada tepat di ujung jalan pada simpang pertigaan itu
membuatnya sangat mudah dikenali.
Menjelang
datangnya Hari Raya Imlek, puluhan patung dewa yang ada di Klenteng Hong San
Kiong, Desa/Kecamatan Gudo, Jombang dimandikan dengan air kembang. Para umat
Tri Dharma berharap, datangnya Imlek membawa keberkahan.
Satu per satu
patung yang berjajar itu dikeluarkan. Termasuk patung dewa tertua di Klenteng
itu, yakni Kong Cong Kong Tik Tjoeng Ong. Selanjutnya, pakaian yang membalut
patung tersebut dilepas. Air yang bercampur kembang juga disiapkan.
Tahap akhir,
patung itu dimandikan secara bergantian. Bau harum langsung tercium. Setelah
semuanya beres, patung para dewa itu dikembalikan ke tempat semula. Selain
patung, altar yang digunakan untuk sesembahan juga dibersihkan oleh pengikut
Tri Dharma.
Memandikan
patung dewa merupakan ritual tiap tahun menjelang datangnya Imlek. "Kami
berharap perayaan Imlek berjalan damai. Sehingga suasana rukun tetap
terjaga," kata hari Purwanto pengurus klenteng.
Pada bagian
depan klenteng terdapat pintu masuk dengan ornamen berbentuk burung garuda di
sebelah kanan dan kiri. Di bagian bawah ornamen garuda itu terdapat aksara
Cina. Klenteng ini banyak dikunjungi bukan saja oleh orang Tionghoa, tetapi
juga non Tionghoa.
Klenteng ini diperkirakan
berdiri pada abad 17-dan merupakan klenteng tertua di Jombang. Bangunan yang
berdiri di atas lahan seluas 16,200 m2 dengan luas bangunan 3,500 m², merupakan
simbol asimilasi antara warga pribumi dan pendatang etnis Tionghoa di Jombang.
"Klenteng
tersebut merupakan tempat ibadah umat Tri Dharma di Desa Gudo, termasuk paling
tua di Kabupaten Jombang, yakni dibangun pada abad 17. Imlek jatuh pada 28
Januari 2017. Makanya segala persiapan kita lakukan, termasuk memandikan patung
para dewa," ujar Hari Purwanto, pengurus klenteng.
Di klenteng ini
terdapat beberapa altar dewa yang disembah. Yang pertama Kong Co Kong Tik Tjoen
Ong yang altarnya terletak di tengah ruang depan. Lalu ada Dewa Bumi Kong Co
Hong Tik Tjoen Sing terletak di sebelah kiri. Tak jauh di sebelah kiri Dewa
Bumi terdapat Dewa Langit Kong Co Hyang Tfian Sing Tee. Di sisi kanan terdapat
altar Dewa Kebenaran Kwan Sing Tee Koen. Dan di bawah tempat peristirahatan
rumah dewa terdapat kendaraan Kong Cu Kong Tik Tjoen Ong yang disebut Bing Hoe
Ciang Koen.
Klenteng ini
juga menyediakan fasilitas penyembuhan bagi masyarakat yang ingin berobat
secara tradisi Cina. Menariknya, yang datang ke sana (berobat, red), tidak
hanya dari para pengikutnya, tetapi juga penganut agama lain termasuk kaum
muslimin.
Warga etnis
Tionghoa di sekitar Klenteng Hong San Kiong ini juga ada yang piawai membuat barongsai.
Salah satu kesenian asli warga keturunan Tionghoa, bahkan karya mereka sudah
dipergunakan oleh komunitas-komunitas barongsai di seluruh Indonesia.
Menariknya, setiap
hari pukul 15.30 dan 19.00 WIB digelar pertunjukan wayang potehi. Bicara
tentang kebangkitan kembali wayang potehi, tak bisa lepas dari keberadaan
Klenteng Hong San Kiong di Gudo, Kabupaten Jombang. Tak sebatas di Jawa Timur,
klenteng ini menjadi markas Paguyuban Wayang Potehi Fu He An ini, boleh jadi
merupakan satu-satunya pusat pelestarian wayang potehi di Indonesia.
Toni Harsono,
ketua Klenteng Hong San Kiong sekaligus ketua Paguyuban Wayang Potehi Fu He An,
merupakan tokoh pelestari di balik geliat wayang potehi di Gudo. Toni adalah
generasi ketiga seniman potehi di Indonesia.
Kakek Toni, Tok
Su Kwie, adalah seorang sehu yang datang langsung dari Negeri Tiongkok. Bersama
Tan Hing Gie, salah seorang pemain musik yang setia mengiringinya, mereka
mendarat di pantai utara Pulau Jawa di penghujung abad ke-19 dan menetap di
Gudo hingga akhir hayatnya.
Melestarikan
Tradisi
Tok Hong Kie,
ayah Toni Harsono, menjadi penerus jejak sehu Tok Su Kwie melestarikan tradisi
potehi hingga masa-masa sulit ketika Pemerintah Orde Baru memberangus segala
sesuatu yang berbau Tionghoa di paruh kedua tahun 1960-an.
Namun, meski
menjadi keturunan langsung seniman-seniman potehi, Toni Harsono justru tidak
melanjutkan profesi sebagai seorang sehu, mengikuti wasiat sang ayah yang tidak
menghendaki keturunannya untuk melanjutkan profesi ini, mengingat pengalaman
hidupnya sebagai seorang sehu yang penuh dengan keprihatinan dan keterbatasan.
Karenanya, ungkapan cinta dan kepeduliannya akan wayang potehi diwujudkannya
dengan perhatian dan berbagai upaya demi lestarinya wayang potehi di Indonesia,
khususnya di Jombang, tempat kelahiran yang sangat dicintainya.
Peninggalan sang
kakek, kini menjadi salah satu koleksinya yang paling berharga, berupa puluhan
wayang potehi asli berusia tak kurang dari 150 tahun, lengkap dengan dekorasi
panggungnya. Koleksi bersejarah yang telah melintasi samudera luas, dari Negeri
Tiongkok ke Tanah Jawa. Meski sebagian dengan kondisi rusak, sisa-sisa
keindahannya masih tampak.
Koleksi asli
yang di negeri asalnya bahkan telah jarang dijumpai ini, memandunya untuk
menciptakan boneka-boneka baru. Pengukir kayu andal sengaja didatangkan dari
Jepara. Tak sebatas mengukir kepala boneka potehi, mereka juga membuat duplikat
properti dan dekorasi panggung yang sesuai dengan aslinya. Busana mini
warna-warni yang menghiasi tubuh boneka potehi diserahkan kepada tukang bordir
dan penjahit khusus di Jombang dan Tulungagung. Sementara pengecatan ekspresi
wajah dan pembentukan akhir wujud boneka lebih banyak dilakukannya sendiri.
Memang, tak
setiap sehu selalu memiliki kotak boneka sendiri dan selama ini mereka biasa
menggunakan koleksi yang dimilikinya tanpa dipungut biaya sepeser pun. Posisi
Toni sebagai salah satu pengusaha sukses di Jombang memungkinnya untuk
mengemban posisi penting dalam pelestarian seni tradisi ini. Bukan sebagai sehu
sebagaimana ayah dan kakeknya, namun menjadi seorang maecenas lokal dengan
perhatian spesifik terhadap kelestarian wayang potehi. Sebuah posisi unik yang
tergolong langka.
Sementara itu
Widodo, pemain, dalang, sekaligus pembuat wayang potehi mengatakan kalau
pertunjukan wayang Potehi di klenteng untuk sementara vakum. Lantaran banyak
diantara pemainnya yang kini kerap melakukan pementasan di luar.
Dalam sekali
pementasan biasanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan 25 cerita. Untuk
wayangnya sendiri sekitar 155 biji dengan beragam karakter masing-masing.
“Dalang di sini umumnya justru bukan dari keturunan Tionghoa melainkan asli
Jawa,” jelasnya.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat