Dari Bedah Buku Surabaya
1945 Sakral Tanahku di Surabaya
Daerah Merdeka Pertama RI dari Kekuasaan Bangsa Asing
Buku yang
berjudul Surabaya 1945 Sakral Tanahku karya Frank Palmos, sejarawan dari
Australia, mendapat perhatian yang cukup besar dalam acara Bedah Internasional
yang diadakan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jumat, (11/11) jam
14.00 WIB di Auditorium UINSA Surabaya kemarin. Seperti apakah isinya?
Bedah Buku
Surabaya 1945 Tanah Sakralku dengan narasumber Frank Palmos dan Dr. H. Achmad
Muhibbin Zuhri, M.Ag, Ketua PC NU selaku pembanding dan dimoderatori Rizal, Ketua
Lembaga Tahlid Wan Naser (LTN) mendapat perhatian cukup besar dari peserta.
Dalam bedah buku
tersebut, Frank Palmos menyatakan, Jawa Timur khususnya Surabaya merupakan
daerah yang merdeka pertama kali dari kekuasaan bangsa asing. Boleh dikatakan
sebagai tanah hitam atau sakral yang tidak masuk dalam kekuasaan. Sedangkan
kota-kota lain sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Waktu
itu 50 persen wilayah Surabaya telah dikuasai Republik. Belanda tidak mampu
menguasai. Kendali kekuasaan ada di tangan Arek Suroboyo yang berani mati.
Hal tersebut
karena sikap heroisme rakyat Surabaya membara saat para penjajah ingin kembali
menguasai Indonesia sekaligus merenggut kemerdekaan yang hampir diraih. Merdeka
atau mati merupakan motto para pejuang ketika melawan para penjajah. Khususnya
arek-arek Suroboyo yang kala itu semangatnya tengah berkobar seakan tidak bisa
dipadamkan. Hingga puncaknya pada 10 November 1945.
Dengan berani,
pejuang di Surabaya mencapai tiga capaian: menaklukkan pasukan Jepang dan
melucuti senjatanya, melawan dan menggagalkan kekuatan Belanda yang hendak
mengambil kembali bekas jajahannya, dan menantang tentara gabungan
Inggris-India dengan misi mereka memulangkan pasukan Jepang yang telah kalah
perang dan membantu Belanda berkuasa kembali di Hindia Timur (Indonesia).
”Pertempuran
Tiga Hari” berlangsung tanggal 27-29 Oktober 1945. Frank mencatat ini sebagai
serentetan sergapan terencana tentara rakyat Surabaya terhadap pasukan Inggris
di jalan-jalan Kota Surabaya, hingga kemudian didatangkan Presiden RI Soekarno
untuk meredakan pertempuran. Dalam suatu bentrokan dengan pasukan rakyat
Surabaya di dekat Jembatan Merah, komandan pasukan Inggris di Surabaya,
Brigadir AWS Mallaby, pada 30 Oktober 1945, tewas.
Kiai Enggan Ditulis Sejarah
Peristiwa inilah
yang membuat Inggris mengeluarkan ultimatum penyerahan senjata seluruh rakyat
Surabaya yang dibatasi hingga 10 November 1945, pukul 06.00. Rakyat Surabaya
tidak menggubrisnya. Mereka malah memilih perang meski terdesak sampai selatan
Kota Surabaya.
Inilah wujud
patriotisme rakyat Surabaya dalam membela simbol negara sekaligus
mempertahankan kemerdekaan. Ya, diakui, hanya di Surabaya, pejuang RI mampu
memberikan perlawanan yang berarti bagi pasukan Jepang dan Inggris-India. Para
Arek Suroboyo, di bawah arahan jitu para tokoh nasionalis lokal, melucuti senjata
tentara Jepang, menggagalkan usaha Belanda menundukkan Surabaya dan akhirnya
menggempur pasukan Inggris-India di bulan Oktober 1945.
Rakyat Surabaya
akhirnya berhasil memenangkan pertempuran, sekaligus mencatat sejarah Surabaya
sebagai wilayah Indonesia yang tetap merdeka. Begitulah sedikit gambaran di mana
arek-arek-Suroboyo begitu hebatnya saat merebut kemerdekaan.
Sementara Dr. H.
Achmad Muhibbin Zuhri, M.Ag, Ketua PC NU mengatakan, buku Surabaya 1945 Sakral
Tanahku yang ditulis Frank Palmos mengisahkan tentang perjuangan Arek Suroboyo.
Namun tidak mengetengahkan perjuangan kiai dan santri. Padahal perannya dalam
Peristiwa 10 November 1945 cukup besar.
Memang sejarah
Indonesia tidak mencantumkan peran kiai dan santri. Hal tersebut karena penulisan
sejak tahun 1980-an para sejarawan hanya mewawancarai para petinggi militer
bekas pejuang kemerdekaan. Ditambah lagi memang pemerintah Orde Baru yang saat
itu sedang bermusuhan dengan para kiai tidak mau menuliskan sejarah perjuangan
kiai dan santri dalam sejarah.
Ditambah lagi
para kiai memang tidak mau ditulis dalam sejarah dengan alasan nanti pahalanya
akan hilang. Para kiai waktu itu memang ikhlas dalam berjuangan untuk
kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Akibatnya hingga sekarang perannya tidak
ada di buku sejarah Indonesia. Salah satunya Resolusi Jihad yang sekarang
diperingati sebagai Hari Santri.
Oleh karena itu,
kita sebagai umat Islam harus menulis sejarah versi sendiri. Kalau orang lain
tidak mau menulis sejarah Resolusi Jihad dengan alasan tidak pernah diberitakan
di koran Asia yang waktu itu terbit. Namun kita punya bukti autentik kalau
Resolusi Jihad telah diberitakan di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Koran ini ditemukan
di Belanda. Cahya/Haris
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat