Kisah Syekh Wasil berdakwah di Wilayah Kerajaan Kediri
Membangun Masjid Dalam Waktu Semalam
Syekh Wasil merupakan wali yang datang sebelum Walisongo di Jawa. Ia
datang saat Prabu Sri Aji Joyoboyo
berkuasa di kerajaan Kediri. Juga merupakan tokoh wali yang cukup melegenda dan diakui oleh khalayak khsusunya di Kediri. Ada kisah unik saat mendirikan masjid. Seperti apakah
kisahnya. Berikut ini.
Syekh wasil punya nama lain Sulaiman
Al- Wasil Syamsudin, nama Al-
Wasil. Miliki
arti pengajar atau guru. Beliau adalah pembawa ajaran agama
Islam di kerajaan Kediri, Jatim sekitar abad 12 Masehi. Nama Al-Wasil, terdapat pada epigraf
di makamnya. Adapun nama Syam
Sudin, tercantum pada sumber tertulis
dan itu terdapat di museum yang
berpusat di Jakarta. Makam Syekh Wasil, di Sentono Gedong, Kediri, Jatim.
Masa hidup Syekh
Wasil sejaman dengan Raja Kediri waktu itu, Sriaji Jayabaya
merupakan wali yang datang ke Jawa dari
negeri Persia. Kiprah Syekh Wasil yang terangkum dalam
sejarah disebut pernah bertemu dengan Raja Kediri Sriaji Jayabaya, kedua tokoh linuwih ini sama-sama
membahas kitab Musyarar
Keduanya membicarakan kitab Musyarar dan isi dari pembicaraan
merujuk pada isi kitab tersebut adalah, tentang ramalan berbagai peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dimasa mendatang. Sejarah mencatata bahwa pembahasan
kitab tersebut, terjadi sekitar abad XI.
Syekh Wasil
datang ke tanah Jawa kemudian
bersama para wali bau membahu
mendirikan Masjid Agung di
Sentono Gedong. Keberadaan masjid dikala
itu, selain untuk sholat berjamaah, tujuan dari pembangunan rumah Allah
tersebut tak lain sebagai tempat bertemu
dan berkumpulnya para Aulia manakala
beliau datang ke Kediri. Masjid tersebut, dibangun hanya dalam waktu semalam.
Pembangunan pun
dimulai dan dipandegani oleh Syekh
Wasil. Temaram sinar bulan, menjadi satu-satunya pendar sinar di area itu.
Sedangkan puluhan oncor (lampu terbuat dari bambu yang diberi sumbu dan minyak,
Red) sengaja dipasang disejumlah sudut pelataran untuk menambah penerangan. Tak
satu pun orang yang berbicara saat itu.
Mereka seakan
larut dalam pekerjaan masing-masing. Ada yang mengangkut batu, membawa pasir
dan menimba air dengan piranti seadanya. Syekh Wasil pun tak kalah sibuknya.
Setiap jengkal tanah diawasi dengan
seksama,khawatir ada yang kelewatan yang berimbas pondasi tidak rata sehingga
nantinya akan mempengaruhi kwalitas bangunan.
“Tapi apa yang terjadi pada malam itu. Sungguh
membuat para pekerja termasuk Syekh Wasil benar-benar terkesima. Lampu oncor
masih menyala, pendar sinar rembulan pun masih sanggup menyinari seisi bumi,
isyaratkan kalau masih jauh dari beduk subuh,”ungkap Mujiono. MJ Cendekiawan Muslim dan Budayawan kota Kediri.
Namun dari
kejauhan tiba-tiba terdengar suara yang sangat mengejutkan, dhug,...., dhug,...., dhug,...., berulang
kali. Kawasan Sentono Gedong yang kala itu masih sedikit rumah dan lebih banyak
pepohonan hutan yang tumbuh, membuat suara itu sangat kencang terdengar
lantaran terbawa oleh laju angin malam.
Para pekerja pun
saling berpadangan satu sama lain dengan piranti tukang yang masih dibawanya. Raut muka
merera
tersirat rasa kebingungan yang teramat sangat, tak mengerti apa yang mesti
dilakukan. Sebagian mendongak ke atas memandangi sinar rembulan, dan tak
sedikit yang memandangi lampu oncor. Tapi suara dhug,...., dhug,...
dhug,...., itu makin lama makin nyaring
terdengar.
Reaksi Syekh
Wasil saat itu tak kalah kagetnya. Keringat sebesar biji jagung membasi sekujur
tubuhnya, wajahnya memerah isyaratkan rasa lelah yang teramat sangat berpadu
dengan amarah yang sengaja disimpannya dalam hati. Suara itu makin lama makin
nyaring terdengar, dan kali ini diikuti dengan suara kokokan ayam jantan milik
penduduk dari kandangnya. Kluruk ayam jago yang diawali dengan kepakan sayapnya
itu pun juga terus terdengar, isyaratkan hari sudah beranjak pagi.
Wajah putus asa
terpancar dari raut muka Syekh Wasil. Dengan memendam amarah tinggi, semua
orang yang membantunya membangun masid disuruhnya berhenti. Pekerja pun tak ada
pilihan, selain menuruti perintahnya. Piranti seadanya yang sebelumnya dipakai
untuk membuat pondasi, langsung ditinggalkan. Area masjid masih belum terwujud
dengan sempurna. Yang nampak hanyalah pondasinya.
Sumur Tua
Pembangunan
tempat peribadatan yang belum selesai ini, ada versi lain yang menyebut
karena sabda dari Syekh Wasil. Syekh Wasil mengutus salah seoang santrinya
untuk pergi ke kampung terdekat,guna memastikan asal suara. Sejumlah santri pun
berbegas berangkat.
Syekh Wasil dan
yang lain, harap-harap cemas dengan kabar yang akan dibawa oleh santri yang
diutusnya. Lama menunggu, hamparan lahan yang sedianya akan dibangun masjid
dipandanginya dengan seksama. Maketnya terlihat jelas, mana tempat imam atau
mimbar, kemudian pintu-pintu tempat masuknya para jemah dan juga dan sumur yang nantinya untuk berwudu. Di lngit rembulan
masih terlihat gagah dengan pendar sinarnya.
Syekh Wasil lalu berjalan ke arah sumur. Dilihatnya air sumur itu dari tanah
tempatnya berdiri. Sinar rembulan memantulkan cahaya dari air sumur, sehingga
terlihat bayangan dari mulai leher sampai kepala wajah orang linuwih ini. Meski
samar, tapi si pemilik wajah seperti tak kuasa menyembunyikan rasa amarah dan
keputus asaan dari dalam hatinya.
Setelah menunggu
utusan yang diperintahkan untuk mengecek muasal suara, tak lama kemudian utusan
itu datang dengan tergopoh-gopoh. Keringat sebiji jagung membasi sekujur
tubuhnya. Si utusan ini langsung menemui Syekh Wasil, guna menceriterakan apa
yang telah terjadi, setelah dirinya pergi ke kampung terdekat, guna mencari
asal-usul suara hingga memunculkan suara gaduh, satoiwen (hewan peliharaan,
Red) seperti ayam jago sampai berkokok bersaut-sautan, isyaratkan hari telah
beranjak pagi.
Syekh Wasil
mendengarkan dengan seksama setiap deret kata yang keluar dari mulut utusannnya
itu. Sekarang dirinya paham, bahwa suara dhug,...., dhug,..., dhug,...., itu ternyata beraal dari para perawan kampung
yang tengah membersihkan tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Tempat nasi itu
dipukul-pukulkan satu sama sama lain hingga memunculkan suara yang seperti itu.
Tujunnya, agar sisa nasi bisa rontok dn tempat nasi itu menjadi bersih dan bisa
dipakai kembali untuk tempat nasi yang malam itu nasinya sedang dimasak.
Mendengar cerita
utusannya, Syekh Wasil terkejut
sekaligus marah. Tapi, amarah itu tak sampai pecah, beliau masih mampu meredam
emosi hatinya, sederet doa keluar dari mulutnya. Melihat reaksi Syekh Wasil
yang seperti itu, si utusan ini balik terkejut. Awalnya, dirinya akan menduga
kalau beliau akan marah besar. Tapi yang terjadi, justru sebaliknya. Diam dan
hanya mengangguk-nggukan kepalanya.
Peristiwa tersebut menjadikan masjid yang dibangun dengan susah payah
tidak mencapai hasil yang maksimal. Pembuatan masjid tidak mencapai
kesempurnaan. Kini masjid tersebut hanya
terlihat bentuk pengimaman dan pondasi masjid. HUSNU MUFID
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat