Syekh Jalaludin Rumi
Penyair
Sufi Yang Tak Tertandingi
Syekh Jalaludin Rumi seorang tokoh sufi
yang cukup melegenda di Turki maupun Indonesia. Ia bukan hanya tinggi ilmu agamanya, melainkan juga seorang
penyair tingkat atas dan melahirkan tarian khas sufi. Berikut ini kisah
hidupnya.
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H
atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin
Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah
Rum (Roma).
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga
berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya
memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya
itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar
pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi
menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas,
di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu
di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian
menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul
para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai
ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang
ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang.
Sebagaimana seorang ulama, ia juga
memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk
bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh
derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias
Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi
mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba- tiba seorang lelaki asing yakni
Syamsi Tabriz ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar
pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan
Tabriz.
Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai
kagum kepada Tabriz yangternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan
berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam
kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari
perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi
seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya,
meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam
diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya
itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian
lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka
menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan
takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan
Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya,
saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi
dirundung duka. Rumi benar-benar
berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia
mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas
berkirim surat dan menegur Rumi. Karena
merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai
mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus
putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi,
Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan
permintaan maaf atas tindakan rasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan
perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan
Rumi, lantaran takut
terjadi
fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat
pergaulannya dengan Tabriz.
Kesedihannya berpisah dan kerinduannya
untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan
emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian
dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan
gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz. HUSNU MUFID
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat