Syeh Muhammad Ibnu Abbad
Tokoh Poros Kebangkitan Tasawuf
Asal usul Syeh Muhammad Ibnu Abbad ini lahir
di Spanyol. Ia mengenal tasawuf setelah belajar pada sejumlah tokoh sufi dan
mempelajari karya-karya sufi ternama.
Dari belajar ilmu tasawuf inilah ia akhirnya
menjadi seorang tokoh sufi Tarekat Syadzaliyah. Berikut ini ceritanya.
Syeh Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah
seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah
terkemuka kelahiran Spanyol pada abad ke-14. Ia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak
bukit di Spanyol, yang waktu itu berada
di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah.
Pada usia tujuh tahun ia sudah dapat
menghafah al-Qur’an dan mulai
mempelajari fiqih Madzhab Maliki.
Pada
tahun 1347, ia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, akibat tekanan dan penaklukan kembali
orang-orang Kristen yang berhasil mengalahkan
Sultan Mariniyah pada tahun 1340 dan membuat kehidupan kaum muslimin di
Spanyol menjadi semakin sulit. Di Fez,
Ibnu Abbad kembali belajar fiqih Maliki
dan teologi. Mentor termasyhur Ibnu Abbad di bidang fiqih adalah
asy-Syarif at-Talimsani (1369 M), seorang pemimpin kebangkitan kembali
Malikisme. Sementara itu di bidang teologi, ia belajar teologi Asy’ariyah
kepada al-Abili ( 1356 M), dengan kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini ( 1086 M), salah seorang guru al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian
tersebut, ia juga mempelajari himpunan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim
al-Muwaththa’ dan karya Malik bin Anas.
Karya yang disebut terakhir ini dipelajari dari al-Imrani, seorang faqih kenamaan yang disebut-sebut sangat tertarik
pada tasawuf. Ibnu Abbad sendiri mengenal tasawuf lewat guru-guru fiqihnya yang
juga mengajarkan tasawuf secara pribadi, dengan
memakai karya-karya klasik al-Maliki, al-Ghazali dan Suhrawardi.
Situasi kota Fez yang sangat kacau
akibat perebutan kekuasaan setelah
meninggalnya Sultan Abu Inan pada tahun 1358 M, memaksa Ibnu Abbad untuk kembali
meninggalkan kota ini menuju ke barat
(Sale), sebuah kota di tepi laut Atlantik.
Di sana ia berguru kepada Ibnu Asyir
(1300-1362 M), seorang wali yang dikenal sebagai tokoh poros kebangkitan
tasawuf di luar tarekat. Ia kemudian
menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di bawah bimbingan Ibnu Asyir, Ibnu
Abbad
banyak mengetahui dan membaca tasawuf
dari berbagai cabang tarekat serta
gayanya, sampai pada akhirnya ia
memutuskan menjadi anggota
Tarekat Syadziliyah.
Setelah Ibnu Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana
ia berguru kepada seorang sufi yang
tidak begitu dikenal, Abu Marwan Abul
Malik. Setelah tinggal untuk beberapa waktu, ia kembali ke Fez, dan di sana ia berkenalan dan
bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan
Abu Rabi Sulaiman al-Anfasi. Atas
permintaan kedua sahabatnya ini ia menulis At-Tanbih yang diselesaikannya antara
1370-1372 M.
Setelah itu Ibnu Abbad kembali ke Sale dan
tinggal di sana sampai sekitar 1375 M. Kemudian, karena reputasi dan integritas
pribadinya, serta kemasyhuran
Tanbih-nya, Sultan Abu al-Abbas Ahmad
lalu mengangkatnya sebagai imam dan khatib
Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama
dan ilmu tertua yang paling bergengsi di
Afrika Utara.
Sebagai khatib, Ibnu Abbad dalam
menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih
memilih dan menyukai gaya didaktis
(pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Ia dengan setia menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan
caranya yang halus dan membimbing mereka menuju kepada Allah Maha Pencipta,
yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur.
Ia juga suka menggugah langsung hati nurani
jamaah, lewat materi-materi dakwahnya
yang selaras dengan kehidupan sehari-hari. Yang menarik, Ibnu Abbad tidak
memandang khutbah umum itu sebagai forum
yang tepat untuk
menyampaikan masalah-masalah tasawuf.
Sebaliknya, ia membahas masalah tasawuf
secara lebih mendalam melalui syarah
kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah dan dua koleksi surat-suratnya (keseluruhannya ada 45 buah
surat) yang berhasil diedit oleh P. Nwya, seorang Jesuit asal
Irak. Melalui dua karyanya inilah dapat
memahami gambaran jiwa Ibnu Abbad dan
metode bimbingan spiritualnya.
Dengan rendah hati ia mengakui bahwa
dirinya tidak pernah menikmati dzauq,
“pengalaman mistis” atau secara langsung
mencicipi “kebahagiaan” yang tidak terucapkan; ia tidak pernah mengalami luapan perasaan yang
membuatnya
ekstase seperti dialami oleh para sufi
lain. Oleh karena itu, tidak satu pun
tema-tema
sentral seperti ucapan-ucapan syathah, hal
atau maqam kaum sufi yang bisa ditemukan
dalam surat-suratnya. Demikian juga
tidak ditemukan topik-topik favorit para
teoritis sufi dalam tulisan-tulisannya
seperti pembahasan tentang alam-alam
yang mesti ditempuh jiwa, pemikiran
tentang Dzat yang Wujudnya Mesti Ada, dan tentang sosok Nabi Muhammad
SAW. Akan tetapi ia merasa puas dengan
apa yang telah dipelajari dan
ditelaahnya terhadap kitab-kitab para
guru sufi sebelumnya. HUSNU MUFID
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat