Misteri Makam Buyut Haryo Dalem
Mantan Bupati Tuban
Ganti Atap, Nyawa Bisa Melayang
Keberadaan makam Mbah Buyut di desa Kadipaten Bojonegoro
penuh misteri. Tidak ada warga masyarakat yang berani mengganti atap makam yang
terbuat dari alang-alang (welet) dengan
genting. Karena nyawa yang menjadi taruhannya. Masa pergantian alang-alang itu pun menunggu saat daun pohon
rebet jatuh. Setelah itu ditanggapkan
kesenian kerawitan semalam suntuk.
Pangeran Haryo Dalem yang lebih terkenal dengan julukan Mbah
Buyut Haryo Dalem ini, sebenarnya
mantan bupati Tuban pada masa Kerajaan
Mataram. Dia adalah seorang yang masih keturunan raja dari kerajaan Mojopahit.
Gaya hidupnya menyukai kedamaian
daripada berperang, sebagaimana yang pernah dilakukan leluhurnya.
Ketika terjadi perang saudara di Mataram, ia memilih meninggalkan kadipatan menuju kota
Bojonegoro. Kepergiannya disertai istrinya
RA Sri Oning dengan dikawal
Punggawa Singolaksono dan prajurit yang setia lainnya. Alasanya, untuk
menghindari perang melawan saudaranya sendiri
merebut kekuasaan.
Di Bojonegoro, Pangeran Haryo
Dalem menjalani hidup sederhana. Hidup
bersama rakyat kecil. Kehidupannya itu dilalui selama beberapa puluh tahun. Boleh dibilang hidup tenteram bersama
rakyat hingga akhir hayat dan dimakamkan
di desa Kadipaten kota Bojonegoro.
Alang-Alang
Ada keanehan dalam makam
Pangeran Haryo Dalem, yaitu atap
bangunan rumah makam yang sampai sekarang masih terbuat dari alang-alang (welet). Tidak ada orang yang
berani mengganti dengan genteng. Masyarakat mempercayai, jika mengganti
taruhannya adalah nyawanya sendiri.
Pernah pada jaman dahulu, salah
seorang lurah Bojonegoro yang pertama yakni Mbah Jelamprong, ingin
mengganti atap makam yang terbuat dari alang-alang itu dan diganti
dengan genteng. Alasan agar kuburan Haryo Dalem terlihat lebih baik. Tapi niat
baik itu diurungkan setelah melakukan tirakatan
dalam makam tersebut.
“Mbah Jelamprong yang terkenal
sakti waktu itu mendapat pesan, jika sampai diganti nyawanya yang menjadi
taruhannya. Akhirnya tidak jadi menganti,” ujar Sutrisno, juru kunci makam yang
tinggal di Jl Dewi Sartika gang Payung no. 61 desa Kadipaten Bojonegoro.
Dari kejadian itu, Jelamprong
tidak berani melaksanakan niatnya untuk mengganti atap makam. Takut mendapatkan
celaka, mengingat taruhannya cukup berat. Bahkan sampai saat ini tidak seorang
pun yang berani melakukannya. Warga hanya berani merubah pagar pengeliling makam dan tempat
peristirahatan penziarah. “Atapnya sampai sekarang tetap diganti dengan alang-alang dan bukan
genting,” ujarnya.
Kesenian Tradisional
Penggantian atap alang-alang itu dilakukan pada Rabu Pahing. Namun terlebih dahulu harus
melihat rontoknya daun Krebet yang ada di depan makam. “Memang pohon yang besar
dan usianya ratusan tahun ini menjadi tanda untuk melakukan pergantian atap
makam,” ungkapnya.
“Pada saat pergantian atap
makam, maka harus diramaikan dengan
menanggap kesenian tradisional kerawitan
sehari semalam suntuk. Ratusan sampai ribuan orang yang datang, baik dalam kota
maupun dari luar,” tambahnya.
Pada hari-hari tertentu, warga
dari luar kota seperti Jakarta,
Magelang, Yogyakarta, Solo dan Madiun banyak yang datang untuk berziarah maupun
melakukan tirakatan. Kedatangan mereka
ke makam cukup unik. Bukan pada
pagi maupun siang hari. Tapi tengah
malam dan pulang pada pagi hari, baik rombongan maupun pribadi.
Kedatangan mereka ke makam biasanya diawali dengan
membaca al-Quran dan tahlil. Kemudian berdoa keselamatan, lancar rejeki dan
pangkatnya naik. Tidak sedikit yang doanya dikabulkan Allah swt. Lantas
membangun pagar dan altar makam, serta memberi payung pada makam. husnu
mufid
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat