KH Kholid Ridwan, Pengasuh Pondok Pesantren Roudotul
Kholidiyah Kutoarjo Jateng
Dikenal Pemberani Menghadapi Penjajah
Kiai yang satu ini dikenal cukup berani. Bahkan
semasih muda, dia ikut melawan Belanda dan memiliki benda yang berfungsi
membuat tubuh menjadi kebal pedang dan senjata api. Aneh, karena benda itu
berupa kapuk yang diberi ayahnya.
Berbagai pondok pesantren besar pernah didatangi, bahkan pernah menjadi
murid Mbah Maksum Lasem. Beliau adalah KH Kholid Ridwan, pengasuh Ponpes
Roudlotul Kholidiyah Kutoarjo, Jawa Tengah.
Kapuk Kebal
Sejak muda, Kholid
sudah mendapatkan pendidikan
agama dari orang tuanya. Maklumlah, beliau merupakan putra seorang ulama
besar yakni KH Ridwan dan juga pejuang kemerdekaan khususnya dalam hal agama.
Di luar pesantren, juga mendapat pendidikan umum dari Belanda ongko loro dan
sekolah Jepang
Namun
sekolahnya ini sempat terputus-putus, gara-gara di Indonesia terjadi
perang.akibat clas antara Belanda ke I dan II. Maka sekolahnya terpaksa
dan mengungsi ke pegunungan. Di tempat
pengungsian dan tinggal di rumah bekas
santri kakeknya selama satu tahun.
Di saat mengungsi itu, Kholid Ridwan yang masih usia
muda tidak tinggal diam, melainkan ikut berjuang melawan penjajah Belanda.
Meskipun hanya sebatas menyampaikan surat dan membantu persoalan administrasi
pejuang-pejuang kemerdekaan yang datang dipesantren. Seperti anak buah Bung
Tomo yang tergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
“Saya waktu itu ikut berjuang bersama mereka. Ayah
mengasih kapuk agar dipegang saat
menjalankan tugas. Konon, kapuk itu bisa kebal senjata tajam dan tembak.
Sementara pejuang-pejuang lainnya diberi air putih,” ujar KH Kholid Ridwan
Mengembara
Setelah perang selesai, pulanglah ia dari pengungsian dan melanjutkan
pendidikan agama di rumah. Diajar oleh orang tuanya sendiri yang kemudian
melanjutkan di Pesantren Al Qur’an
Kiangkong pimpinan KH Satibi. Di pesantren ini, Kholiq ngangsu kaweruh selama selama 6 tahun dengan hanya
mempelajari ilmu salaf.
Kemudian akhir tahun 1955, melanjutkan pendidikan ke Lasem di Pesantren Al Hidayah milik Mbah
KH Maksum hingga tahun 1962. Belum puas sampai di situ, beliau memperdalam
ilmunya dengan melanjutkan lagi ke
Pesantren Kedung Lurah Brongkah Trenggalek di bawah asuhan KH Abdullah
Umar selama 7 tahun.
“Selama menuntut ilmu saya tidak mengalami kesulitan.
Karena dari rumah mendapat kiriman makanan yang
cukup. Sehingga tinggal belajar ilmu alat yang di berikan kiai,”
ujarnya.
Setamat memperdalam ilmu di Pesantren Kedung Lurah, beliau pun mengakhiri
pengembaraan ke pesantren lain dan ke rumahnya dan mengajar di pesantren yang
didirikan kakeknya KH Abdullah Faqih.
Dipesantren ini, ilmu yang selama ini didapat berupa Nahwu Sorof, Fikih, Jurmiyah, Fatkhul
Mu’in, Fatkhul Wahab, Alfiyah, Takrib diajarkan
pada santri-santrinya. Tanpa mengenal pamrih. Beberapa tahun kemudian, beliau pun mendapat
tugas melanjutkan perjuangan orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Hampir tidak ada hambatan dalam mengendalikan
pesantren, sebagaimana dialami kakeknya yang terus diuber-uber Belanda. Meski
begitu, beliau tidak mau memanfaatkan untuk berbuat KKN dengan pemerintah Orde
Baru. Dana yang diberikan pemerintah tidak dilakukan untuk membangun pesantren,
tapi dimanfaatkan untuk kepentingan santri-santrinya, karenanya hingga kini
onpes yang dipimpinnya tetap sederhana.
Kegigihannya menjadikan pondok pesantren yang dimiliki
sebagai tempat pengkaderan santri-santri maupun masyarakat yang datang mengaji,
sempat menjadikan kemarahan para Ninja. Karena itu, bupati
mengundang bersama puluhan kiai di pendopo kabupaten guna memberitahu
kalau 25 kiai di Kutoarjo akan dibunuh oleh Ninja.
Namun panggilan itu tidak digubris. KH Kholid Ridwan tidak mau datang. Sementara
banyak kiai yang datang dan kemudian
mengungsi untuk menghindari serbuan Ninja sewaktu-waktu. Sedangkan bagi
yang tidak mengungsi, memerintahkan
santri-santrinya untuk menjaganya. “Saya sendiri tidak takut sama Ninja.
Padahal diingatkan bupati, camat dan
polsek. Hanya Allah yang saya takuti. Yang penting tidak takabur. Hati mantab.
Nyatanya Ninja tidak sampai masuk ke
pesantren. Hilang dengan sendirinya,”ujarnya.
Sikap yang demikian itu merupakan sikap yang nyata dalam
menghadapi keangkara murkaan.
Sebagaimana yang dialami kakeknya sewaktu menghadapi Belanda dan ancaman
pembunuhan PKI. husnu mufid
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat