KH M Ali Syafi’i, Pengasuh Pondok Pesantren Abu
Dzarrin Sumbertliasih Bojonegoro
Pegari Santri dengan Tenaga Batin
Membekali santriwan dan
santriwati dengan ilmu-ilmu agama dan umum sudah menjadi tanggungjawabnya,
bahkan juga menjadikan anak didiknya memiliki kekuatan batin yang tinggi dan
siap menghadapi segala problema. Itulah yang dilakukan KH M Ali Syafi’i, pengasuh Ponpes Abu Dzarrin, Sumbertiasih,
Dander, Bojonegoro.
Sekilas orang tidak menyangka, bila KH M Ali Syafi’i, pengasuh
sebuah ponpes. Karena penampilannya begitu sederhana, dan halus tutur katanya.
Selain itu, beliau juga bukan keturunan
seorang kiai. Tatkala Ninja beraksi dengan mendatangi tempat-tempat muda-mudi
menuntut ilmu, Ponpes Abu Dzarrin ini tidak sedikit pun dijamahnya. Bahkan
mereka sudah takut begitu akan masuk, mengapa? Tidak lain karena sudah dipagari
secara gaib.
Puasa Senin Kemis
KH M Ali Syafi’i lahir di Tuban 18 Agustus 1944, dan
dibesarkan dalam lingkungan masyarakat pada umumnya. Melihat bakat dan
keseriusan mempelajari ajaran Islam, maka kedua orang tuanya sepakat
mengantarkannya ke pondok pesantren waktu itu adalah Ponpes Syalafiyah Makam Agung Tuban, dari tahun 1955-1961.
Banyak yang dipelajari, bukan saja mengaji ilmu agama, tapi juga belajar ilmu
pengetahuan umum di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Kebiasaan yang tidak terlupakan
sampai saat ini adalah selalu puasa Senin dan Kamis. Itu dilakukan sesuai
dengan petunjuk kiainya agar lancar selama menuntut ilmu. Petunjuk itu menjadi
kenyataan, dan ilmu-ilmu yang dipelajari mudah diterima, sehingga mampu
menguasai ilmu nahwu sorof, fiqih,
balagoh, hisab, tasawuf, Al Qur’an dan Hadist.
Tidak puas ngangsu kaweruh di
Ponpes Salafiyah Makam Agung Tuban, Ali Syafi’i melanjutkan menuntut ilmu ke
Ponpes Al Ikhsan Zampes Kediri dari
tahun 1961-1970. Selama nyantri di
pondok tersebut, diminta menjadi pengurus sekaligus ikut mengajar di pondok.
Kesempatan itu tidak disia-siakan dan dijalani dengan hati ikhlas.
Hasilnya cukup lumayan.
Kepandaiannya melebihi teman-teman sesama santri yang sudah lama mondok. Tidak
heran Ali Syafi,i juga kerapkali diserahi tugas seperti Bahsul Masa’il (memecahkan
perbagai masalah) yang ada di pondok pesantren.
Setelah menuntut ilmu di Pondok
Pesantren Al Ikhsan Zampes Kediri,
dilanjutkan ke Pondok Pesantren Abu Dzarrin Sumbertiasih Dander Bojonegoro, yang kemudian diambil
menantu KH Abu Dzarrin pengasuh pondok tersebut.
Hadapi Ninja
Disinilah awal memulai
mengabdikan diri kepada masyarakat. Ilmu yang dipelajari di pesantren seperti fikih, aqidah, tasawuf, nahwu sorof,
balagoh, Al Qur’an dan Hadis diberikan
pada santrinya. Tidak lupa pula memberikan ilmu batiniah untuk menguatkan batin
dalam menghadapi berbagai persoalan.
Kegigihannya dalam mentranfer
ilmu kepada santri-santrinya membuat
masyarakat tertarik. Akhirnya diminta memegang jabatan penting di organissasi NU. Mulai dari Katib Suriah, Tanfiziah dan sekarang
ditunjuk sebagai Ketua Syuriah NU.
Jabatan itu diterima dan
dilaksanakan dengan baik, namun di sisi
lain membuat pihak lain tidak senang, dan mereka yang menggunakan kedok ninja.
“Isunya banyak Ninja yang mondar-mandir
di sini. Mendengar kabar burung yang belum tentu benar, maka saya pun
berikhtiar memagari pesantren ini secara batin (gaib). Caranya dengan
menggelar istighosah,” ujarnya.
Pagar tersebut rupanya membawa hasil. Para Ninja jadi
keder nyalinya, dan mereka tidak berani masuk pesanren yang posisinya persis dipinggir jalan.
Akhirnya mereka hanya mondar-mandi di sekitar pesantren, dan kemudian hilang
dengan sendirinya. Keadaan pun menjadi aman.
Hingga kini, pesantren miliknya tetap berdiri tegak. Tidak
ada orang jahat yang berani mengganggu ketentraman santri-santrinya yang sedang
mempelajari ilmu agama. Kegiatan belajar
berjalan dengan lancar dan telah menghasilkan santri yang berguna bagi
masyarakat.husnu mufid
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat