Rabu, 13 Juli 2016

Masjid Soko Tunggal Banyumas






Melihat Masjid Saka Tunggal Legok Pekuncen, Banyumas
Ide RM Tumenggung Cokronegoro III
 Masjid Saka Tunggal di Legok Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas merupakan masjid tua. Tempat ibadah umat Islam ini masih mempertahankan arsitek bangunan saat kali pertama dibangun. Berikut laporannya.
BUKAN hanya Masjid Saka Tunggal yang berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon. Di Kabupaten Banyumas ada juga Masjid Saka Tunggal di Dusun Legok, Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas. Kedua masjid ini memiliki keistimewaan dengan saka tunggalnya. Artinya, masjid ini hanya memiliki satu saka penyangga. Masjid Saka Tunggal tersebut masih mempertahankan arsitek bangunan sejak kali pertama dibangun dan kondisinya masih terawat. Sehingga, dapat dijadikan sebagai aset wisata religi bagi Pemerintah Kabupaten Banyumas.
 Lokasi Masjid Saka Tunggal atau Masjid Darussalam terletak di Dusun Legok, Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas. Berjarak sekitar 40 km dari kota Purwokerto, dengan melalui jalan yang mudah dan jalur yang tidak begitu ramai. Sedangkan keberadaan Masjid Saka Tunggal Darussalam berada di tepi jalan raya dan sangat strategis karena tidak jauh dari masjid ini terdapat Stasiun Kereta Api Legok.
Dikatakan oleh Muchdjaeri seorang aktivis Islam yang sekarang masih sebagai ta’mir masjid tersebut bahwa pemberian nama tersebut diberikan pada Tahun 1968. Berjalannya waktu Masjid Darussalam telah mengalami beberapa kali perehaban. Saat rehab kali pertama pada bagian usuk emperan, dengan menghabiskan enam batang glugu (batang pohon kelapa). "Sudah sekitar delapan kali rehab, terutama pada bagian pondasi, pagar keliling, dan tempat wudu, kata Muchdjeri.
 Menurut Muchdjeri, Masjid Saka Tunggal Darussalam didirikan pada tahun 1915 M atas prakarsa Bupati Purwokerto yang saat itu dijabat oleh Raden Mas Tumenggung Cokronegoro III, yang memerintah Kabupaten Purwokerto pada tahun 1905 -1920. Tercatat pula pada prasasti yang menempel pada dinding masjid tepatnya di atas pintu tengah masjid yang bertuliskan dengan menggunakan huruf Arab dan berbahasa Jawa yang berbunyi 6 Syuro 1846; 17-11-1915; 1334 Hijroh, Legok Kranggan Ajibarang. Yasa dalem Kanjeng Bendoro Rahaden Mas Tumenggung Aryo Cokronegoro Ingkang Jumeneng Hadipati ing Nagari Purwokerto Banyumas, Pengulu Hakim Muhammad Hadirejo, serta Landrat Purwokerto. “Jika dihitung, maka umur masjid Saka Tunggal Darussalam hingga tahun 2016 telah berusia 101 tahun dan masjid ini berdiri pada 17 November 1915 yang jatuh pada Hari Sabtu Manis,” jelasnya.
Menurut catatan sejarah bahwa pada tahun 1831 hingga tahun 1936 wilayah Banyumas terdiri atas dua Kabupaten yaitu Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purwokerto. Selanjutnya pada tahun 1905 hingga 1920 Bupati Purwokerto dijabat oleh RMT Cokronegoro III. Pada masa pemerintahan RMT Cokronegoro III berhasil dibangun jalur kereta api antara Kroya hingga Cirebon yang relnya melalui wilayah Kota Purwokerto, yang selanjutnya dibangun pula beberapa stasiun berdiri sepanjang jalur Cilacap-Cirebon, salah satunya adalah stasiun Legok. Ketika itu belum berdiri wilayah Pekuncen, yang ada wilayah Ajibarang yang memiliki perwakilan di daerah Kranggan. Pada waktu itu sarana transportasi pemerintahan yang dinggap lancar hanya menggunakan jasa kereta api dan pada saat itu stasiun Legok dikenal sebagai Legok Kranggan. Berjalannya waktu sekarang Kranggan merupakan Desa yang berdiri sendiri dan Legok merupakan Dusun yang termasuk dalam wilayah Desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas.
Di masa pembangunan Stasiun Legok, Bupati Purwokerto RMT Cokronegoro III mempunyai inisiatif untuk membangun sebuah masjid di kompleks stasiun Legok yang terbuat dari beton dan hanya memiliki satu tiang penyangga utama (Saka Tunggal). Konon, dengan adanya penamaan Masjid Saka Tunggal yang diberi nama Darussalam tersebut telah menuai beberapa kritikan dan pernyataan ketidakcocokan dari beberapa orang. Namun hingga kini dapat teratasi. Sehingga masjid ini masih terawat dan digunakan oleh umat Islam sebagai tempat ibadah.
Masjid Saka Tunggal Darussalam dibangun di atas tanah seluas 20 m x 13 m dengan tinggi bangunan 3,25 m dan memiliki bentuk segi 8 (delapan), terdiri atas 5 sisi di bagian serambi depan dan 3 sisi bangunan utama masjid. Tiang penyangga utama masjid ini menggunakan sebuah tiang beton (adukan terbuat dari semen, kapur, pasir, semen merah, dan batu kali), tiang penyangga yang hanya satu dan berbentuk segi delapan ini disebut saka tunggal, yang mempunyai makna adanya Tuhan Yang Maha Esa.
 Hingga kini masjid Saka Tunggal Darussalam masih berdiri kokoh dan digunakan oleh warga sekitar masjid sebagai salah satu tempat sarana beribadah. ADJI WALOEJO
Sedangkan bentuk masjid segi 8 memiliki makna adanya arah mata angin yang secara filosofis mengandung makna bahwa Masjid Saka Tunggal Darussalam sebagai tempat syiar Islam dapat tumbuh dan berkembang ke segala arah. Sedangkan pada serambi memiliki sudut yang berjumlah 5 hal ini menandakan adanya rukun Islam yang berjumlah 5. Sedangkan pada sisi tembok yang memiliki 3 dinding melambangkan 3 kerukunan umat beragama. Yaitu hubungan antara manusia dengan Allah swt, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Pintu serambi depan terdiri atas 3 pintu yang menandakan 3 amalan yang tetap dialirkan pahalanya oleh Allah swt yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh.


Masjid Cheng Hoo Surabaya



Mengungkap Peran Masjid Cheng Hoo, Surabaya
Meneruskan Misi Laksamana Dinasti Ming
Masjid Cheng Hoo Surabaya merupakan masjid yang memiliki ciri khas tersendiri. Bangunannya merupakan perpaduan antara arsitektur Tiongkok kuno dengan Arab Islam. Didirikan sejak 2001. Kini telah menjadi masjid yang memiliki peras besar dalam penyebaran agama Islam di kalangan masyarakat Cina. Bagaimana sejarah dan perannya?
Masjid bernuansa Tionghoa ini terletak di Jalan Gading, Kecamatan Genteng, Surabaya. Lokasinya sekitar 1 km sebelah utara Balaikota Surabaya dan sekitar 100 meter dari Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Sikilas bangunan menyerupai Klenteng tempat peribadatan umat Tri Dharma. Balutan warna merah, kuning dan hijau seakan ‘mengaburkan’ pandangan bahwa apa yang sebenarnya mereka lihat merupakan sebuah masjid perpaduan dari Cina, Timur Tengah dan Jawa, sehingga memiliki kesan unik.
Nama Cheng Hoo ini sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan segenap muslim di Surabaya dan Indonesia, terhadap Laksamana, bahariawan asal China beragama Islam. Selama perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Hoo tidak hanya berdagang dan menjalin persahabatan, tapi juga menyebarkan agama Islam di Indonesia.
Masjid Cheng Hoo didirikan atas prakarsa para sesepuh, penasehat dan pengurus PITI (Pembina Iman Tauhid Islam). Selain itu, pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia Jawa Timur dan tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya juga diturutsertakan.
Bahkan peletakan batu pertama pada 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Pembangunan masjid selesai pada 13 Oktober 2002. Kemudian diresmikan oleh Menteri Agama RI Prof Dr H Said Agil Husein Al Munawar pada 28 Mei 2003.
Masjid yang bernama lengkap Masjid Muhammad Cheng Hoo ini berdiri di atas lahan seluas 21x11 m2 dan luas bangunan utama 11x9 m2. Didominasi warna merah, kuning, hijau dengan ornamen bernuansa Tiongkok lama. Memiliki 8 sisi di bagian atas bangunan utama.
Ketiga ukuran dan angka ada maknanya yakni, angka 11 adalah ukuran Ka'bah saat baru dibangun. Sedangkan angka 9 melambangkan Walisongo. Sedangkan 8 artinya melambangkan Pat Kwa (dalam bahasa Tionghoa artinya keberuntungan atau kejayaan). Masjid Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jamaah.
“Perpaduan gaya Tiongkok dan Arab ini memang menjadi ciri khas Masjid Cheng Hoo. Arsitektur Masjid Cheng Hoo diilhami Masjid Niu Jie di Beijing. Seperti bagian atap utama, bagian puncak dan mahkota masjid. Masjid Cheng Hoo juga tidak melepaskan nuansa Timur Tengah seperti pintu utama masjid. Serta bergaya Jawa seperti tembok yang susunan batu batanya terlihat," kata Ustad Hari. Pengurus dan Staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
Di sisi utara Masjid Cheng Hoo terdapat relief dan replika kapal dan wajah Laksamana Cheng Ho Laksamana dari Dinasti Ming. Di lokasi tersebut, juga sering menjadi tempat foto para wisatawan. Ada alasan kenapa dibangun relief dan replika kapal dan Cheng Hoo. Yaitu, ingin menunjukkan bahwa Muhammad Cheng Hoo adalah pelaut, muslim dari Tionghoa yang taat, saleh dan utusan perdamaian yang terpuji.
Sebab itulah banyak yang penasaran hingga Masjid Cheng Hoo banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Indonesia. Ada yang dari Makassar, Jawa Barat, Jakarta dan berbagai daerah lainnya. Banyak juga wisatawan dari mancanegara baik yang muslim maupun non muslim. Ada dari Malaysia, Arab Saudi, China, selandia Baru, Inggris, Afrika dan lainnya.
"Hampir semua negara di belahan dunia ini pernah berkunjung ke sini. Kunjungan wisatawan baik dari nusantara maupun mancanegara rata-rata sebulan bisa mencapai 1.500 sampai 2.000 orang," tuturnya.
Ikrar Mualaf Nonmuslim
Wisatawan mancanegara baik yang muslim maupun non muslim terkagum-kagum dengan Masjid Cheng Hoo. Khusus wisatawan mancanegara yang non muslim mengira bangunan ini adalah klenteng (rumah ibadat umat Tri Dharma). “Tetapi kita jelaskan bahwa ini adalah masjid tempat ibadat umat Islam," jelasnya.
Kekaguman atas bangunan dan ornamen Masjid Cheng Hoo juga disampaikan oleh beberapa pengunjung. Arif asal Jombang salah satunya, setelah menunaikan salat dzuhur, dia membawa kamera dan melihat-lihat ornamen yang bernuansa Tiongkok. "Dari kejauhan seperti bukan masjid. Ada yang berbeda dengan masjid-masjid yang pernah saya lihat. Untuk memastikan apakah bangunan itu masjid atau bukan, saya lihat di ujungnya (mahkota bangunan) apakah ada bulan sabitnya, Arsitek bangunan masjid ini dapat menggambarkan keberagaman budaya," ungkapnya dengan ekspresi terkagum-kagum.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke Surabaya, bisa mampir ke Masjid Cheng Hoo yang terletak di pusat Kota Surabaya. Di area masjid Cheng Hoo ini juga terdapat prasasti tiga bahasa, Indonesia, Mandarin dan Inggris, yang menjelaskan sejarah Laksamana Cheng Hoo di gedung kantor Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo dan Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) di depan sisi selatan Masjid Cheng Hoo.
Berbagai kegiatan yang diadakan di Masjid Cheng Hoo diantaranya meliputi peringatan hari raya Idul Fitri, Idul Adha, kegiatan pengumpulan dan pembagian zakat fitrah, khitanan massal, dll. Yang spesifik, adalah menggelar acara ikrar mualaf bagi nonmuslim yang berasal dari berbagai agama. Ikrar dilakukan, setelah para nonmuslim itu mengikuti serangkaian pembinaan.
Tidak kurang dari dua puluh orang yang menjadi sasaran pembinaan. Tentunya prang yang sudah niat menjadi mualaf dari kesadaran diri. Maka, bila dia sudah hafal lafaz syahadatnya atau masuk di dalam hati, ikrar sudah bisa dilakukan.
Peran Masdjid Cheng Hoo tersebut merupakan angin segar bagi perkembangan penyebaran agama Islam yang dilakukan kalangan masyarakat etnis Tionghoa. Karena gerakan dakwahnya tidak membebani jamaahnya, melainkan pengrusnya yang mampu memberikan da yang cukup besar dalam syiar Islam.
Sikap kemandirian Masjid Cheng Hoo Surabaya dalam mengelola dana mendapat apresiasi tersendiri dari masyarakat Indonesia dan dunia. Sehingga lepas beban dari angan-angan mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun swasta. Kemandirian masalah dana inilah yang menjadikan masjid tersebut semakin eksis dalam syiar Islam. Dimana islam ditampakkan dalam sikap keramah-tamahan. CAHYA/HARIS