Jumat, 09 Juni 2017

Sunan Ampel Membangu Pesantren


Kisah  Raden Ali Rahmatullah di Ampel Denta Surabaya

Membangun Perumahan Untuk Pusat Penyebaran Islam

Setelah  Sunan Ampel  tinggal untuk sementara waktu di Peneleh dan Kembang Kuning dengan mendirikan  masjid. Kemudian pindah ke Ampel Denta dan menetap selamanya. Apa yang dilakukan ditempat yang baru tersebut.
Setelah Sunan Ampel mendapatkan dukungan dari  Prabu Brawijaya V untuk menyebarkan agama Islam, maka diberi tanah perdikan  di daerah Ampel Denta yang lokasinya mudah dijangkau dengan  menaiki perhu melewati sungai atau melewati laut.
Bagi Sunan Ampel  lokasi tempat tinggal yang baru di Surabaya  sangat menyenangkan. Karena berada di dataran tinggi yang lokasinya dikelilingi oleh hamparan  rawa-rawa dan sungai. Penduduknya pun masih jarang. Karena penduduk Majapahit sebagian besar masih bertempat tinggal di  sekitar keraton yang terletak di Trowulan Mojokerto. 
Tidak lama kemudian Sunan Ampel membangun  tempat tinggal yang baru dengan mendirikan  puluhan rumah bersama santri-santrinya yang dibawa dari  Peneleh dan Kembang Kuning Surabaya. Rumah tersebut ditata dengan rapi layaknya perumahan sekarang ini. Hanya saja terbuat adari  bahan kayu dan pohon bambu.
Disekitar rumah yang dibangun ditanami pohon-pohon, buah-buahan dan kembang-kembang. Hal itu diilhami  ketika masih berada di kerajaan Champa. Mengingat dirinya  adalah seorang cucu  dari kerajaan tersebut. Para santri merasa kagum dengan arsitektur  rumah yang dibangun Sunan Ampel.
Perumahan yang dibangun Sunan Ampel untuk zaman itu merupakan perumahan modern berwawasan lingkungan. Lebih baik dari rumah-rumah yang dibangun pada zaman kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, Raja Majapahit dan rakyatnya menyukai bangunan yang diarsitekturi Sunan Ampel.
Setelah pembangunan rumah selesai, maka difungsikan sebagian untuk tempat tinggal, masjid dan tempat mengaji para santri. Juga sebagai  tempat menginap  orang-orang yang  berasal dari jauh untuk mengaji  selama beberapa minggu. Peumahan plus masjid yang dibangun  Sunan Ampel itu  dapat dilihat dari  sungai mas tempat berlayar para pedagang-pedagang yang berasal dari  luar negri maupun  dari kerajaan Majapahit.
Para santri yang tinggal didalamnya pun merasa senang. Karena rumah yang dijadikan tempat tinggal dan sekaligus untuk menuntut ilmu sangat nyaman. Tidak terasa panas. Tapi menyejukkan. Jika musim buah dapat memetik setiap saat. begitupula saat musim bungi  dapat melihat keindahan bunga yang berwarna warni.
Konidi tersebut menarik minat pemuda-pemuda yang berada di  Desa Peneleh dan Kembang Kuning  untuk  tinggal di  Ampel Denta guna mengaji. Demikian pula dengan para pangeran  dari kerajaan Majapahit tertarik untuk belajar dan tinggal di selama bebarapa bulan.
Para pedagang dari Arab pun yang melewati kali emas tertarik pula untuk singgah di Ampel Denta. Lama kelamaan ramailah tempat tinggal Sunan Ampel. Karena pagi hingga sore hari banyak  santri-santri yang melakukan aktifitas. Jika malam hari terlihat sinar emas dari jauh yang dipancarkan api obor dari dalam perumahan  Ampel Denta. mengingat posisi  berada didataran yang cukup tinggi. .
Suara merdu bacaan ayat-ayat suci al-Qur'an terdengar sampai  Wonokromo wilayah Sunan Bungkul. Karena waktu itu  masih sedikit rumah-rumah yang ada.  Rawa-rawa masih terbentang luas. Posisi  Ampel Denta  berada didataran tinggi. Orang-orang yang berada  diluar dapat melihat dengan jelas keberadaannya.  

Bantuan Sunan Bungkul
Setelah berhasil membangun perumahan  sebagai pusat kegiatan agama, maka Sunan Ampel mengajak  masyarakat Surabaya agar menjadi manusia yang berakhlak mulia. Meninggalkan kegiatan berjudi, mabuk-mabukan, main perempuan dan mencuri. Sebab saat itu kondisi  kerajaan Majapahit dalam kondisi kacau balau
Pelan-pelan dakwah yang dilakukan Sunan Ampel dapat diterima masyarakat yang tinggal didaerah rawa-rawa. Perjudian dan pencurian semakin berkurang. Hidup masyarakat Surabaya  semakin makmur. Meskipun didaerah lain dilanda kekacauan akibat perang saudara.
Proses mengislamkan masyarakat Surabaya mendapat dukungan Sunan Bungkul yang waktu itu mendapat mandat dari  Raja Majapahit sebagai Adipati di Surabaya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sunan Ampel. Sehingga kondisi masyarakat yang awal mulanya  moralnya kurang bagus berubah menjadi manusia muslim yang taat.
Setelah berhasil mengislamkan masyarakat Surabaya, maka Sunan Ampel memberi tugar dua putranya yaitu  Sunan Bonang berdakwah ke Tuban. Meskipun Adipatinya beragama Islam. Kemudian  menugaskan Sunan Drajad ke Lamngan karena masyarakatnya masih banyak menganut agama Animisme dan Dinamisme. Yaitu menyembah pohon dan  binatang. HUSNU MUFID  

Teraweh di Zaman Walisongo



Kisah Aktivitas Keagamaan Bulan Ramadan di Zaman Walisongo

Teraweh Dibukit Ampel dan Hutan Lemah Abang
Bulan ramadan merupakan bulan yang mulia bagi umat Islam. berbagai kegiatan dilakukan. Pada  zaman Walisongo masih hidup diperingati dengan suka cita. Mereka menjalankan tanpa gangguan dari pengikut agama lain.  Bagaimanakah gambaran ramadan waktu itu. Berikut ini  kisahnya.

Sejak Pulau Jawa kedatangan Walisongo kehidupan menjalankan syariat Islam mulai semarak. Meskipun waktu itu umat Islam masih tergolong minoritas. Tapi semangat untuk menyambut ramadan sangat kuat. Persatuan dan kegembiraan nampak terlihat pada umat Islam di zaman itu. 
Umat Islam yang merayakan ramadan  waktu itu dibagi menjadi tiga lokasi. yaitu Jawa Timur di Surabaya, Jawa Tengah di Demak dan Jawa Barat di Cirebon. Lokasinya pun berbeda-beda, Ada yang berada di lingkungan  ibukota negara, ada yang berada di perbukitan dan di dalam hutan. Meskupun lokasi merayakan bulan ramadan berbeda-beda. Mereka tetap satu tertuju kepada Allah SWT.
Masyarakat Majapahit  yang beragama lain tidak mengganggu keberadaan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa  dan teraweh. Mereka menghormati keberadaan umat Islam. Karena dianggap telah melindungi dari serangan penghianat-penghiatan  tentara kerajaan Majapahit.
Hanya saja bila dibandingkan bulan ramadan bagi  umat Islam di zaman Walisongo  berbeda dengan zaman sekarang. Kalau zaman sekarang jumlah masjid  sangat banyak. Tiap kota dan desa  jumlahnya tak terhitung. 
Pada zaman Walisongo Masjid di Jawa Timur hanya 3. Semuanya berada di  Surabaya. yaitu  Masjid Peneleh, Masjid Rahmad dan Masjid Ampel Denta. Masjid tersebut merupakan masjid yang didirikan Sunan Ampel.
Sedangkan di Wilayah  Jawa Tengah berada di  ibukota kerajaan Demak Bintoro dan Masjid  Kudus yang dibangun  Sunan Kudus. Sementara di  Jawa Barat Cirebon terdapat masjid Sang Cipta Rasa yang didirikan Sunan Gunung Jati.
Pada malam ramadan di Surabaya banyak  masyarakat menuju ke  masjid yang didirikan Sunan Ampel. Mereka datang dengan menggunakan perahu melewati Kali Mas yang merupakan urat nadi jalur perdagangan kala itu. Mengingat belum ada  kendaraan atau mobil dan motor.
Obor merupakan  api yang dibawa  umat Islam menuju Masjid Ampel Denta menjadi alat penerangan. Sebab waktu itu belum ada penerangan listrik Malam hari nampak terang benderang suasana dilingkungan Pondok Pesantren yang didirikan Sunan Ampel. Sebagian santri menggunakan pakaian putih-putih.
Masyarakat yang berada di Kali Mas dapat meraskan suasana di  tempat tinggal Sunan Ampel. Karena waktu itu posisinya  berada didataran tinggi.  Dimana lokasinya dikelilingi sungai-sungai yang mengalir menuju laut.
Lantunan ayat suci al-Qur'an terdengar dari Bukit Ampel Denta hingga ke masyarakat yang tinggal di daerah sekitar rawa-rawa. Begitu pula dengan situasi Masjid Rahmad yang dipimpin Mbah Karimah, suasananya tidak jauh berbeda. Masjid yang sebesar mushollah  penuh dengan jamaah yang sedang menjalankan ibadah shalat terawih.
Sementara  di Masjid Demak Bintoro suasananya jauh berbeda dengan di Masjid Ampel Denta. Karena  sultan, para bangsawan dan rakyat  melakukan shalat taraweh. Jumlahnya cukup banyak. Kondisi tersebut merupakan hal yang biasa. karena sebelum datangnya Raden patah, wqilayah Demak sudah banyak orang yang beragama Islam. Penyebarnya adalah Syekh Subakir dan Sam Poo Kong.
Begitupula di Kesultanan Cirebon. Sultan, bangsawan hingga rakyat  mengadakan shalat berjamaah. Untuk azannya dilakukan 7 orang secara bersama-sama. Suasanapun semaki semarak.
Dipadepokan Giri Amparan Jati pun banyak santri-santri Syekh Datul Kahfi melakukan shalat  tarewih dan merayakan  malam bulan ramadan diatas bukit Gunung Jati yang tidak jauh dari Gunung Sembung. Api obor nampak dari kejauhan menyala hingga tengah malam. .

Syekh Siti Jenar  
Sedangkan Syekh Siti Jenar sendiri mengadakan kegiatan taraweh di  dalam hutan dengan murid-muridnya. Hal ini berbeda dengan umat Islam yang berada di lingkungan keraton dan Padepokan Ampel Denta dan Padepokan Giri Amparan Jati. Lokasi di dalam hutan diberinama oleh  Syekh Siti Jenar dengan nama Padukuhan Lemah Abang.
Di dalam Padukuhan Lemah Abang inilah Syekh Siti Jenar bagaikan seorang raja. Karena memiliki kekuasaan penuh  untuk mengendalikan jamaahnya. Para jamaah sangat fanatik terhadapnya. Pakaiiannya merah-merah.
Bagi pengikut Syekh Syekh Siti Jenar taraweh di hutan merupakan kebahagiaan tersendiri. Apalagi situasinya sangat hening. Ada air  terjun dan sungai mengalir di disekitar padukuhan. Juga  lahan pertanian sangat subur. Sehingga selama bulan ramadan tidak mengalami kesulitan dalam hal makan. Oleh karena itu, selama bulan ramadan mereka  menjalankan ibadah secara penuh.
Perkembangan selanjutnya Padukuhan Lemah Abang bukan hanya diwilayah Jepara dan Cirebon, melainkan diberbagai daerah Jawa. Dimana  daerah itu ada  nama lemah abang, maka disitulah dulunya merupakan  lokasi tempat  Syekh Siti Jenar melakukan pembabaran ajarannya terhadap murid-muridnya. Namun kondisi sekarang nekas Padukuhan Lemah Abang sebagian telah menjadi  makam umaum. Tinggal namanya saja yang masih  hidup ditengah-tengah masyarakat. HUSNU MUFID