Senin, 13 November 2017

Kisah Sunan Kuning Tulungagung


Kisah Sunan Kuning Menyebarkan Islam di Tulungagung

Mengislamkan Penyembah Batu dan Pohon

Zaenal Abidin merupakan tokoh penyebar agama Islam  di kawasan barat dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Masyarakat luas menyebutnya dengan sebutan Sunan Kuning. Siapakah dia sebenarnya. Berikut ini kisahnya. 

Nama asli Sunan Kuning adalah  Zainal Abidin berasal dari Jawa Tengah. Ketika usia muda    nyantri di Pondok  Pesantren yang dipimpin Kiai Mohammad  Besari, tokoh ulama yang cukup ternama dan disegani asal Jetis, Ponorogo. Waktu itu iam mendapat  tanah perdikan dari Sunan Pakubuwono II dari Keraton Surakarta.
Selama menjadi santri, termasuk santri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Karena mampu menguasai ilmu agama Islam secara  menyeluruh mulai tafsir, hadis, al qur'an dan kitab-kitab kuning.
Usai menuntut ilmu di Kota Reog, itu Sunan Kuning diberikan tugas atau amanat untuk menyebarkan agama Islam di daerah timur. Yakni, Tulungagung dan sekitarnya, termasuk Blitar dan Kediri. Karena 3 daerah tersebut masih banyak  yang belum memeluk agama Islam. mengingat dulunya merupakan wilayah kekuasaa kerajaan Kediri dan Majapahit.
Zainal Abidin diyakini menginjakkan kaki di Tulungagung sekitar tahun 1727 silam. Kedatangannya beliau dikuatkan oleh sumber  dari  buku Sejarah dan Babat Tulungagung yang diterbitkan di oleh Pemkab Tulungagung,
Perlu diketahui bahwa, sebelum Desa Macanbang seperti sekarang ini, dulunya merupakan kawasan hutan belantara yang sangat angker. Selain dihuni banyak binatang buas, juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus yang amat menyeramkan. Saking angkernya, tidak setiap manusia berani merambahnya. Ibaratnya, jalma mara, jalma mati. Artinya, siapa yang berani merambah hutan ini, hampir bisa dipastikan akan pulang tinggal nama
"Di daerah Tulungagung pada waktu tersebut, masih hutan belantara. pohon-pohon besar masih banyak.Sehingga memungkinkan untuk warga mengkeramatkan hingga melakukan penyembahan. Hal itulah yang memicu hati Sunan Kuning untuk meluruskan,"ungkap Kiai Suud salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Fatah Tulungagung..
Kedatangannya di Tulungagung  Zaenal Abidin diikuti santri-santrinya mengajarkan kepada warga Tulungagung dan sekitar, untuk memeluk agama Islam secara utuh. Tetapi ada saja halangan. Termasuk hinaan atau dipandang miring dari masyarakat yang belum memeluk agama Islam. Bahkan ada penentangan secara halus.
Halangan dan hinaan tidak membuat Sunan Kuning menyerah begitu saja. ia tetap terus menyebarkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat yang masih menyembah batu dan pohon.
Model dakwahnya dengan cara-cara yang santun. Lebih banyak  memberikan contoh daripada berbicara. kalau berbicara hanya dengan santri-santrinya yang belajar kepadanya. Tidak ada  cacian maupun hujatan kepada pemeluk agama dan keparcayaan lain. Hingga akhirnya banyak umat Islam yang memeluk agama Islam.
Setelah banyak pengukutnya, Sunan Kuning mendirikan sebuah masjid untuk kegiatan belajar agama Islam dan shalat berjamaah. Saat itupula  kondisi umat Islam mulai tertata dan tidak ada yang menghalangi di daerah Bonorowo waktu itu.   Masjid Macanbang sendiri dibangun tanpa kubah, juga tanpa menara. Atapnya seperti kebanyakan bangunan joglo. Hanya saja bersusun tiga. Sepintas, seperti masjid zaman kerajaan Demak.
Dulu, di depan masjid terdapat kubahan batu besar yang menyerupai kolam. Bahkan, tembok-tembok pagar batu bata mirip batu candi yang berukuran besar. Tembok pagar tersebut hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Sementara kubangan kini telah tiada.
Di masjid, juga terdapat bebera  benda kuno yang diperkirakan peninggalan Sunan Kuning. Benda-benda yang dimaksud, antara lain berupa mimbar tempat berkhotbah, dampar un­tuk tadarusan, kentongan serta bedhug. Benda-benda ini, hingga sekarang masih bisa didapati. Hanya saja, un­tuk mimbar tempat ber­khotbah dan dampar untuk tadarusan, warnanya sudah tidak asli lagi. Kesannya, baru dicat dengan warna hijau.
Selama sekian tahun berdakwah di  Tulungagung akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di belakang masjid. di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang. Tulungagung.
Makamnya
Makam Sunan Kuning dalam perkembangannya menjadi salah satu tempat yang ramai diziarahi. Terutama di malam Jumat Legi. Tak hanya dari Tulungagung dan sekitarnya, tetapi juga dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maklum, Zainal Abidin konon berasal dari Jawa Tengah
Makam Sunan Kuning nyaris tak pernah sepi dari peziarah. Menurut Dulgani, hampir setiap hari peziarah itu selalu ada. Hanya saja, jumlahnya tidak pasti. Di hari-hari tertentu, memang terjadi lonjakan peziarah. Ledakan pengunjung ini, biasa terjadi pada malam Jumat Legi atau pada tanggal 1 Suro. Para pe­ziarah itu datang dari berbagai pen- juru daerah untuk ngalab berkah.
Makam Sunan Kuning dan para pengikutnya sendiri berada dalam sebuah bangunan cungkup. Untuk menziarahinya, seseorang harus melalui sebuah pintu khusus. Di- katakan pintu khusus, karena tinggi pintu cungkup tersebut tidak lazim. Saking tidak lazimnya, peziarah ha­rus membungkuk untuk bisa melewati pintu tersebut. HUSNU MUFID

Kisah Sunan Kalijogo dan Wayang Kulit

Kisah Sunan Kalijaga Membuah Wayang Kulit 

Wayang Kulit Kalahkan Wayang Golek

Ketika  masa jayanya kerajaan  Demak Bintoro hiburan Wayang Kulit menjadi tontonan yang paling digemari masyarakat. Sehingga  Sunan Kalijaga menjadikan sarana  untuk berdakwah Bagaimana kisahnya. berikut ini. 

Wayang merupakan seni pertunjukkan rakyat yang mengambil cerita dari epos besar Ramayana dan Mahabarata dalam ajaran Hindu pada zaman kerajaan Majapahit sangat digemari masyarakat. Karena  merupakan satu-satunya dan paling faforit. Bentuknya  bulat seperti  gambaran manusia biasa yang bisa dalam wujud wayang golek. dimainkan dengan tangan dipanggung.
Melihat hal itu, maka Walisongo memiliki penilaian dan strategi lainj untuk memanfaatkan pertunjukan wayang golek yang banyak diminati masyarakat  waktu itu.
Salah satu Walisongo yang memperhatikan Wayang Golek itu adalah Sunan Kalijaga putra Adipati Wilatikta dari Tuban. Tapi ideyang cukup cemerlang itu mendapat tentangan dari Sunan Ampel dan Sunan Giri. Karena pertunjukan Wayang Golek itu  seperti memainkan patung dan dalam ajaran Islam dilareang. 
Mendengar pendapat Sunan Ampel dan Sunan Giri yang kurang menyetujui  media Wayang Golek digunakan sarana untuk berdakwah, maka Sunan Kalijaga mengubah pikirannya dengan mengubah Wayang Golek  dalam bentuk  Wayang Kulit.
Ide itu  kemudian diwujudkan dengan memodifikasinya sedemikian rupa secara kreatif menjadi media dakwah Islami. Dimana wayang tersebut dibuat dengan kulit kambing.
Hal tersebut, untuk menyiasati gambar atau patung manusia yang terlarang dalam Islam. Bentuk wayang kemudian secara bertahan diubah menjadi hanya bentuk bayangan (wayang) dari manusia. Dengan deformasi itu tidak berarti wayang di era Kerajaan Islam merusak wayang yang tumbuh dan berkembang di masa Kerajaan Majapahit.
Tapi memberikan sofistikasi dan memberikan nilai estetika yang lebih dari sebelumnya. Rupanya estetika itu mendapat sambutan yang baik dari Sunan Ampel dan Sunan Giri. Hingga akhirnya bisa ditampilkan sebagai media dakwah Islam di wilayah kerajaan Demak Bintoro.
Usai melakukan modifikasi dalam bentuk fisik. kemudian Sunan Kalijaga melakukan perubahan  alur cerita atau materi yang ada. Diantaranya adalah   dengan mengembangkan cerita kepercayaan politeis (banyak Tuhan) menjadi monoteis (tauhid). Waktu itu di era Kerajaan Demak, kisah para Dewa dimodifikasi menjadi sederajat dengan para Nabi atau malaikat. Jadi perspektifnya monoteis bukan lagi politeis.
Strategi tersebut rupanya mendapat dukungan  para Walisongo dan umat islam waktu itu. Untuk pentas yang pertama kali adalah di halaman masjid Demak Bintoro. Sunan Kalijaga memerintahkan bagi masyarakat yang ingin melihat Pagelaran Wayang Kulit terlebih dahulu melakukan wudhu.
Permintaan itupun disetujui masyarakat. karena memang  ingin melihat pertunjukan Wayang Kulit karya Sunan Kalijaga.  Hingga akhirnya  pertunjukan Wayang Kulit itu digelar dimana-mana. Setiap digelar,  penontonnya selalu banyak. Juga yang masuk Islam pun semakin banyak.  Karena cukup membaca syahadat.
Waktu itu memang sangat fenomenal. karena Pagelaran Wayang Golek yang  merupakan  budaya  darai kerajaan Majapahit kalah pamor dan penontonnya sedikit. Apalagi Sunan Kalijaga mampu memainkan  dengan suara yang cukup bagus saat mendalang.
Pagelaran  Wayang Kulit [un  berlanjut dimainkan  para santri-santri Sunan Kalijaga diberbagai daerah. Hingga akhirnya menjadi hiburan yang  sangat disenangi masyarakat.
Masyarakat pun terlena dengan kisah-kisah yang ditampilkan. Syarat dengan ajaran-ajaran Islam. Culup banyak warga setelah menyaksikan pagelaran Wayang Kulit  sepulangnya  menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Tidak Dipungut Biaya
Rupanya Wayang Kulit mampu menjadikan orang-orang yang semula hanya menyembah batu, pohon besar dan tidak mengenal Tuhan menyatakan diri masuk  Islam. Karena itulah, wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam, karena mengungkapkan gambaran hidup semesta. Wayang dapat memberikan gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam dunia pewayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan kesulitan hidup.
Waktu itu  pagelaran Wayang Kulit tidak dipungut biaya. demikianpula yang mengundang puntidak ditarik uang Pagelarang Wayang Kulit. Karena sudah menjadi tanggungjawab Sunan Kalijaga dan santri-santrinya.  Wayang kemudian menjadi konsumsi umum sebagai sarana hiburan dan pelaksanaan ritual tradisi di masyarakat  santri waktu itu.
 Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Walisongo yang namanya paling tenar di kalangan masyarakat, karena beliau sangat pandai bergaul di segala lapisan masyarakat dan toleransinya yang sangat tinggi. Sunan Kalijaga sangat berjasa bagi perkembangan agama Islam dan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia, terutama kebudayaan wayang. Sejarah perkembangan wayang tidak lepas dari peranan Sunan Kalijaga. Wayang di dalam masyarakat Jawa sebelum agama Islam berkembang telah menjadi sebagian dari hidupnya, dan di dalam dakwah, Sunan Kalijaga menjadikan wayang ini sebagai alat atau media demi suksesnya dakwah Islam..HUSNU MUFID.



Kisah Sunan Dalem Diserang   Tentara Kerajaan Sengguruh

Dibantu  Ribuan  Pasukan Lebah

Syekh Maulana Zainal Abidin atau lebih dikenal Sunan Dalem merupakan putra Syekh Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Syekh Maulana Ishaq. Beliau merupakan sultan kedua dari kesultanan Giri Kedaton (1428 Saka). Berikut ini kisah hidupnya.

Syekh Maulana Zainal Abidin atau lebih dikenal Sunan Dalem  merupakan sultan kedua dari kesultanan Giri Kedaton (1428 Saka). Ia  yang mendapatkan amanah menggantikan Sunan Giri atau  lebih dikenal  bernama Raden Samudro atau Raden Paku. yang wafat.
Sunan Dalem mulai memegang peranan di Giri Kedaton sejak tahun 1506 M, atau sezaman dengan Sultan Trenggana di kesultanan Demak Bintoro. Pada masa itu pula terjadi peristiwa pendudukan kota kerajaan Majapahit oleh pasukan Islam pada tahun 1527 M. Waktu itu lokasi kerajaan Majapahit berada di  Kediri yang dipimpin  Raja Girindawardhana.
Selain itu, pada masa pemerintahan Sunan Dalem ada penyerangan dari kerajaan Sengguruh  terjadi pada tahun 1535 M. Penyerangan tersebut menjadikan ia  mengungsi ke  Desa Gumeno Kecamatan Manyar Gresik. Pada masa itu diperintah Ki Dang Palih, atas persetujuan Syekh Manganti, paman Sunan Dalem.
Dipengungsian itu  Sunan Dalem ke Desa Gumeno dalam kondisi sakit.  makannya   hanya dengan bubur dan ikannya ayam yang telah disuwir-suwir. Makanan tersebut dikemudian hari menjadi makanan tradisi lokal di Desa Gumeno Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik hingga sampai saat ini. Selanjutnya  dinisbahkan kepada Sunan Dalem, yakni buka puasa dengan “Kolak Ayam” yang dilaksanakan setiap tanggal 23 Ramadhan atau yang lebih dikenal dengan istilah “Sanggring”.
Disaat Sunan Dalem mengungsi di Desa Gumeno, Raja kerajaan  Sengguruh yang berdiri di Pasuruan. Dimana kerajaan tersebut  merupakan sisa-sisa tentara kerajaan yang mencoba ingin mendirikan kembali Majapahit yang telah runtuh.
Alasan kerajaan tersebut ingin menguasai kerajaan  Giri Kedaton. Karena  dianggap sebagai  pintu masik   Kesultanan Demak Bintoro. Mengingat  kesultanan yang  dipimpin Sultan Trenggono dibawah kekuasaan Kedaton Giri.
Saat Istana Kedaton Giri ditinggalkan  Sunan Dalem, maka tentara  dari kerajaan  Senguruh  berusaha membuka dan merusak makam Sunan Giri yang dikenal dengan nama Raden Paku. Juru kunci makam Syekh Grigis mencoba menghalang-halangi. Tapi tidak berdaya dan dibunuh secara  keji. Hingga meninggal dunia.
Kemudian muncul kekuatan baru yaitu  tawon tiba-tiba muncul di  dalam makam. Kawanan lebah yang jumlahnya cukup banyak keluar dari dalam makam. Sehingga membikit  tentara  kerajaan Sengguruh kewalahan  menghadapi tawon tersebut. Pedang dan tombak tidak mampu  mengalahkan tawon. malahan banyak yang tersengat. Kemudian meninggal dunia. Sisanya  melarikan diri dan pulang ke Pasuruan. 

Peninggalannya
Setelah kembali ke Giri, Sunan Dalem meminta agar dibuatkan makam untuk Syekh Grigis disebelah timur makam Sunan Giri, juru kunci yang terbunuh oleh pasukan kerajaan Sengguruh.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat Gumeno, Sunan Dalem mendirikan pembangunan masjid dengan atap bertingkat tiga, oleh masyarakat sekitar disebut Masjid Tiban. Sayangnya  masjid tersebut kini sudah tidak ada lagi bentuk wujudnya. karena telah dirumah  oleh  pengurus masjid yang tidak mengerti akan nilai-nilai sejarah Islam.
Dalam catatan sejarah disebutkan Sunan Dalem wafat pada tahun 1545 M dan dimakamkan disebelah barat makam Sunan Giri, selanjutnya kekuasaan kesultanan Giri Kedaton diamanahkan kepada Sunan Sedomargi untuk menjadi Sultan Giri ke-III.
Sunan Dalem hanya meninggalkan warisan yang hingga kini masih dilestarikan masyarakat  Desa Gumeno, yaitu kolak dengan suwir ayam dan kulah samping masjid yang digunakan untuk wudhu. Sedangkan bentuk masjidnya sudah dibongkar dengan bangunan baru. HUSNU MUFID

Sunan NYamlungan Jepara

Kisah Sunan Nyamplungan Menginjakkan Kaki di Pulau  Karimunjawa

Raja Ular Menolak Kedatangannya


Raden Amir Hasan merupakan putra dari Sunan Muria. Mendapat tugas untuk tinggal di Pulau Karimunjawa. Bagaimanakah kisahnya ketika berada di sana. Berikut ini.
Nama  asli Sunan Nyamplung adalah  Raden Amir Hasan. Putra Sunan Muria dari istri Dewi Sujinah. Merupakan anak kesayangan ketika masih  kecil hingga remaja. Menginjak usia remaja  dititipkan kepada pamannya, Sunan Kudus yang merupakan pamannya sendiri.  Harapan nanti akan menjadi  seorang  pemuda yang memiliki ilmu agama  yang tinggi dan pandai  ilmu silat.  Harapan tersebut  menjadi kenyataan. Karena di kemudian hari  menjadi sosok pemuda yang sangat taat dalam menjalankan ibadah dan menjadi pendekar pilih tanding.
Melihat perkembangan putranya, maka Sunan Muria yang sangat bangga. Kemudian memerintahkannya untuk merantau guna menyebarkan agama Islam di sebuah pulau yang kini dikenal dengan nama Pulau Karimunjawa.
Sunan Muria melihat  sebuah pulau dari Gunung Muria. Dimana pulau tersebut  kadang muncul  dipermukaan laut dan kadang tenggelam. Hal tersebut yang membuat tertarik  dan menyuruh putranya untuk datang ke  pulau tersebut.
Sunan Nyamplungan  tidak menolak atas perintah ayahnya untuk mendatangi Pulau Karimunjawa. Kemudian beserta  dua pengawalnya  berangkat menuju pulau tersebut dengan  menunggang kuda. mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh.
Keberangkatannya diberi sangu bahan makanan, uang, mustoko untuk atap masjid,  dan senjata. Tidak lupa pula dengan  dua buah biji Nyamplung agar nantinya ditanam di pulau tersebut. Mustaka Masjid sampai saat ini masih berada di kompleks pemakaman Sunan Nyamplung.
Kepergian Amir Hasan ke pulau Karimunjawa  tidak  sepengetahuan ibunya. Istilahnya tidak pamit. Karena khawatir tidak diperbolehkan.  Mengetahui anaknya tidak berada di rumah, Sang Ibu terkejut dan segera bergegas menyusulnya ke pantai. Maksudnya hanya ingin memberi tambahan bekal. Sesuai kesukaan anaknya, Nyai Sunan Muria membawakan pecel lele dan siput yang telah dimasak.
Namun, ketika ia sampai di pantai, sang anak telah berangkat bersama dua pengiringnya. Dengan rasa kecewa akhirnya bungkusan pecel lele dan bungkusan siput dibuang ke laut. Hingga akhirnya pulang ke rumah.
Ketika Amir Hasan sampai di daratan Karimunjawa, ia mulai mencari tempat yang cocok untuk menyebarluaskan agama Islam. Tiba-tiba seekor raja ular menghadangnya. Ular itu bertubuh pendek, berwarna hitam dan sangat berbisa. Ular itu berusaha menggigit Amir Hamzah tetapi tidak mempan. Namun Amir Hamzah sangat marah dan mengutuk ular tersebut menjadi buta. Sampai sekarang jenis ular yang dikenal dengan nama 'Ular Edor' ini, matanya buta dan umumnya tidak mampu untuk bergerak di siang hari.
Konon, kayu yang digunakan Amir Hamzah mengutuk Ular Edor itu ialah Kayu Setigi. Maka tak heran jika Kayu Setigi ini kemudian dipercaya masyarakat Karimunjawa dapat menyerap bisa dari semua binatang, termasuk ular.
Pulau yang terlihat kremun-kremun dari daratan Jawa itu akhirnya menjadi tempat tinggal Amir Hasan dan pohon Nyamplung yang ditanamnya tumbuh subur berkembang biak hingga mengitari pulau. Sampai sekarang masyarakat menyebut Amir Hasan sebagai "Sunan Nyamplungan".Hingga akhir hayatnya  Amis Hasan meninggal dunia di Pulau Karimunjawa.

Makamnya Diatas Bukit
Makam Sunan Nyamplungan terletak di Puncak Gunung Karimunjawa sebelah utara. Di pintu gerbang pemakaman itu terdapat dua buah pohon besar, Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "Kayu Dewa".
Menurut kepercayaan masyarakat di sana sampai sekarang, kayu Dewadaru ini mempunyai khasiat dan bahkan dikeramatkan. Konon, barang siapa menyimpan kayu tersebut di rumah, akan terhindar dari niat orang mencuri dan orang bermaksud jahat lainnya.
Berat jenis Kayu Dewadaru dan Kayu Segiti lebih besar dari air, sehingga jika diletakkan di air kayu tersebut akan tenggelam. Sedangkan Kayu Kalimosodo, konon dapat digunakan untuk menghalau lelembut atau roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Biasanya, kayu ini diisi mantra-mantra oleh "orang-orang pintar" di sana sesuai keinginan pemilik kayu. HUSNU MUFID


Kisah Sunan Andong


Kisah  Sunan Andong Wilis di Tuban

Dari  Madura Nyebarkan Islam di Jawa

Sunan Andong Wilis merupakan salah satu wali yang tidak memiliki nama besar seperti Walisongo. Tapi perannya cukup besar dalam penyebaran agama Islam di  Tuban. Seperti apakah dia sebenarnya. Berikut ini.

Pada zaman dahulu  Tuban merupakan daerah yang sangat terkenal. Oleh karena  itu banyak yang singgahi untuk menyerbakan agama maupun berdagang. Dalam perkembangan selanjutnya banyak yang  tinggal untuk bermukim atau sekadar lewat saja. Salah satunya adalah Sunan Andong Wilis.
Sunan Andong Wilis  merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh yang menyertai perjalanan Wali Songo. Meskipun namanya tidak setenar Walisongo. Tapi memiliki peran yang besar dalam  menyebarkan ajaran idlam ditenah-tengah masyarakat Majapahit yang sedang mengalami kekacauan.
Jatidiri Sunan .Andong Wilis bukan orang Jawa, tetapi berasal dari Madura. Dalam perjalanan ke barat untuk mendatangi putranya yang belajar agama di Bonang. Mengingat dirinya seorang yang  memiliki ilmu pengetahuan agama yang  cukup tinggi.
Ketika berada di Jawa Sunan Andong Wilis  juga menyebarkan ajaran Islam. Dimana waktu itu  tidak banyak orang yang  memeluk agama Islam. Cara berdakwahnya pun  tidak mencaci atau mengkafirkan  orang yang belum masuk Islam, melainkan menyebarkan agama  dengan santun tanpa menyinggung  dan menghilangkan tradisi yang ada di masyarakat yang ada.
Pendekatan tersebut rupanya mendapat simpati masyarakat. Sehingga  jalan dakwahnya tidak  banyak mengalami gangguan. Masyarakat menerima dengan tangan terbuka.
Kemudian ketika terjadi huru hara adanya penyerangan tentara Majapahit di Grersik dan  terjadi pertempuran antara tentara Demak melawan tentara Prabu Girindrawardana. Beliau membela tentara Demak dan terbunuh, dan layon-nya mengambang sampai di Desa Panyuran. Oleh masyarakat, kemudian dimakamkan di pantai Panyuran tersebut.
"Pangeran Andong Wilis berasal dari Pacangan Madura. Menilik nama ini ada kemungkinan yang dimakamkan di situ adalah salah seorang Bangsawan dari Madura," ungkap  R. Soeparmo dalam Catatan Sejarah 700 tahun Tuban.
Warga masyarakat sekitar menyakini sebagai salah satu pejuang yang menyertai para wali menyebarkan Islam di Jawa, khususnya di Tuban. Hingga akhir hayatnya Sunan Andong Wilis  meninggal dunia di  dukuh Kepoh, Desa Panyuran, Kecamatan Palang. Berada di wilayah pantai utara Desa Panyuran.

Makamnya Masih Asli
Kesederhanaan makam tersebut  masih sangat terasa. Masih dalam keadaan aslinya Atap aslinya terbuat dari welit (daun kelapa yang dikeringkan dan ditata rapi) masih ditempatkan di tempat asalnya, meskipun di atasnya sudah diatapi genteng.
Bangunan utama makam juga masih tetap, terdiri dari dua buah makam membujur ke utara, maesan di bagian kepala ditutup kain putih, dan lantai dari pasir laut serta kijing dari bangunan permanen yang sudah lapuk.Untuk memasuki kompleks makam, orang harus melewati pintu di sebelah tenggara yang berukuran kecil, sehingga orang harus membungkuk.
Pendeknya ukuran pintu masuk, dimaksudkan agar orang yang akan masuk berposisi menghormat. Di sebelah selatan makam Andong Wilis dibangun sebuah Masjid, yang diberi nama Masjid Astana Andongwilis.
Tidak seperti makam Sunan Bonang yang mashur,  makam Sunan Andong Wilis sedikit berbeda. Masih memiliki nuansa kekeramatan. Peziarahnya pun masih sedikit.
"Makam ini digolongkan sebagai makam tua atau diperkirakan pada awal Islamisasi di Jawa, yakni di sekitar pemerintahan,"ungkap  Muhyidin sejarawan Tuban. HUSNU MUFID


Sunan Prapen dan Santrinya


Kisah Sunan Prapen Bersama Santrinya

Jalankan Shalat Dikira Ritual Tenung

Sunan Prapen memiliki cukup banyak santri  yang pandai dan sakti. Tapi ada beberapa yang dipercaya menjalankan tugas dengan baik. Siapakah dia. Berikut ini. 
Santri Sunan Prapen yang paling pandai dalam ilmu agama Islam adalah Abdullah anak muda yang berasal dari Cirebon. Karena  kepandaiannya dalam menguasai ilmu agama Islam, menguasai  beberapa kitab dan memiliki keahlian dalam berpidato hendak dijadikan menentu.
Kemudian Abdullah berpamitan kepada Sunan Prapen untuk pulang ke Cirebon menemui  orang tuanya. Guna menyampaikan pesan Sunan Prapen pada ayah dan ibunya agar segera meminang putri Sunan Prapen untuk dirinya.
Dari  Gresik  saat menuju Cirebon singgah dulu ke Dusun Kelating Lamongan untuk melakukan istirahan. Mengingat waktu malam telah tiba. Dusun yang disinggahi itu  masih banyak orang yang belum memeluk agama Islam. Mayoritas masih menyembah  batu, pohon dan beragama Hindu serta Budha. Warganya merupakan sisa-sisa dari  pelarian kerajaan Majapait
Kemudian saat tengah malam melakukan shalat bersama sepupunya dicurigai masyarakat setempat. Karena dianggap sebagai orang asing yang melakukan ritual memanggil roh jahad.  Bahkan dianggap melakukan kegiatan ritual tenung dan menyebarkan ilmu hitam.
Apalagi saat shalat sedang melakukan sujud dianggap menjalankan ritual tenung. Maklum warga Dusun Kelating  tidak tahu kalau gerakan sujud itu merupakan gerakan shalat. Maklum belum beragama Islam. 
Bagi warga Dusun Kelating  Lamongan, gerakan sholat merupakan hal yang aneh bagi masyarakat desa Kelating dianggap sebagai ritual ilmu hitam, bahkan gerakan sujud dianggap seperti celeng (babi Ngempet). Hal ini disebabkan ajaran Islam belum sampai merambah di desa ini, sehingga lihat orang sholat disamakan denga orang sedang melakukan “teloh’ atau santet.
Akhirnya warga setempat semakin yakin kalau Abdullah  sebagai pelaku teluh/ tenung yang dapat meresahkan warga Desa Kelating.  Warga yang sejak lama mencurigai langsung saja melakukan penggerebegan dan pembunuhan. Abdullah terbunuh. Beruntung Sahid bisa meloloskan diri.
Kemudian berita terbunuhnya Abdullah oleh petinggi Desa Kelating telah disampaikan pada Sunan Prapen oleh Sahid yang lolos dari maut akibat keberingasan warga Desa Kelating. Mendengar peristiwa itu Sunan Prapen menyesalkan dan marah kepada petinggi Dusun Kelating. Dan beliau mengutuk warga Kelating sebagai manusia yang gemar “Makan  Daging Celeng”.
Kutukan Makan Babi
Mendengar kutukan dari Sunan Prapen, maka Bagaskarto putra  dari tokoh  dusun tersebut ketakutan. Guna menghindari kutukan, ia berguru kepada Sunan Prapen di Gresik. Selanjutnya Bangaskarto  putra Kyai Kening dari Dusun Kelating, Lamongan itu  tidak mau lagi tinggal di desanya.
Di pondok pesantren  Sunan Praapen Bangaskarto tinggal sekamar dengan Imam Sujono beliau adalah putra Kyai kadim dari Desa Perning Mojokerto. Di pondok ini mereka belajar memperdalam ilmu agama dan kanoragan.
Sebelum Sunan Prapen wafat pada tahun 1605, Bangaskarto dan Imam Sujono diutus untuk membantu Sunan Amangkurat dalam menyelesaikan kemelut dengan Tumenggung Banyumas yang dianggap tidak patuh dengan kebijakan sunan Amangkurat. Ditengah perjalanan menghadap Sunan Amangkurat mereka bertemu dengan kakak beradik yang beranama Salam dan Salim. Hingga akhirnya mereka berempat diberi tugas untuk menangkap tumenggung Banyumas yang sakti mandra guna.
Keberhasilan mereka menangkap Tumenggung Banyumas disambut gembira oleh Sunan Amangkurat, bahkan mereka diberi hadiah begitu banyak, tapi Bangaskarto menolak semua hadiah itu. Dari ratusan kerbau yang diberikan Amangkurat hanya satu kerbau bule kurus sebagai pilihannya untuk dijadikan sampan di atas arus bengawan Solo.
Kerbau kerbau hadiah itu harus diberikan pada rakyat yang membutuhkannya. Karena lelakon yang aneh ini, Sunan Amangkurat memberi julukan pada mereka berempat. Bangaskarto diberi gelar Sindujoyo, imam Sujono mendapat gelar Surogarjiyo, Salam dan Salim masing masing bergelar Tirto Asmoro dan Ening Asmoro HUSNU MUFID


Kisah Sunan Prawoto Raja Demak

Kisah Sunan Prawoto  Menjadi Sultan  Demak Bintoro

Lebih Suka Hidup sebagai Seorang Ulama

Sunan Prawono adalah cucu Raden Patah. Ia menggantikan  ayahnya Sultan Trenggono. Kemudian memindahkan pusat pemerintahannya di Sukolilo Pati. Bagaimanakah  kisahnya. Berikut ini.

Sunan Prawoto memiliki nama kecil Raden Mukmin, atau dalam ejaan China disebut Muk Ming. Ia lahir ketika Sultan Trenggono masih sangat muda dan belum menjadi raja Demak.
Sepeninggal Sultan Trenggono yang wafat, Sunan Prawoto kemudian diangkat menjadi raja Demak menggantikan ayahandanya. Karena sebagai  putra sulung.
Kemudian  memerintah Kerajaan Demak mulai tahun 1546 - 1549. .Raden Mukmin juga memiliki ambisi untuk melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menguasai Pulau Jawa. Namun sayang Raden Mukmin tidak memiliki kemampuan di bidang politik yang mumpuni. "Raden Mukmin lebih suka hidup sebagai seorang ulama dan lebih sering mendekatkan diri pada Allah dalam kehidupannya. Ia raja terakhir atau raja keempat Kerajaan Demak,"ungkap Hamid  Akasa  sejarawan asal Demak.
Kehidupan politik Kerajaan Demak masa Sunan Prawoto ini banyak terjadi pertikaian karena mulai muncul perselisihan untuk memperebutkan tampuk kekuasaan sebagai Raja Demak.
Sunan Prawoto sendiri juga tidak terlalu lama memimpin Kerajaan Demak sebagai raja. Bahkan pernah suatu ketika beliau ingin mengundurkan diri sebagai raja Demak.
Pada masa kekuasaannya, daerah kekuasaan Demak seperti Banten, Cirebon dan Gresik berkembang begitu pesatnya dan seakan diberikan kebebasan tanpa ada pengaturan manajerial sama sekali.
Kehidupan di beberapa wilayah kekuasaan Demak pun satu per satu semakin berkembang menjadi lebih besar dan Demak tak mampu mengontrol daerah kekuasaannya tersebut.
Daerah seperti seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang begitu bebas tanpa kontrol dari Demak, dan sebenarnya ini sangat berbahaya untuk keberlangsungan sebuah Kerajaan.
Pada masa kekuasaannya, Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Demak yang semula di Bintoro lalu dipindah ke Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Cita-cita Sunan Prawroto dalam menguasai Jawa pada akhirnya tidak pernah menjadi kenyataan. Sunan Prawoto lebih sering menjadi seorang ahli agama dari pada menjadi raja untuk melaksanakan cita-citanya.
Selama menjalankan pemerintahan ada Adipati yang   menjadi oposisi secara terselubung.  Yaitu Aryo Penangsang Adipati Jipang Panolan yang berada di  Cepu Blora.
Aryo Penangsang  adalah anak dari Pangeran Sekar Sedo Lepen atau Raden Kikin, kakak dari Sultan Trenggono. Tapi beda ibu. Mengingat Raden Patah istrinya lebih dari satu. 
Aryo Penangsang berani menjadi oposisi  kerajaan Demak saat  diperintah Sunan Prawoto. Karena merasa dendam atas ayahnya yang mati dibunuh utusan Sunan Prawoto.
Kemudian Aryo Penangsang merencanakan pembunuhan  dengan mengirim mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto. Rangkud pun berhasil masuk di kamar Sunan Prawoto pada malam.hari. Namun sebelum Rangkud membunuh, Sunan Prawoto mengakui atas kesalahan yang ia lakukan kepada Raden Kikin ayah  Aryo  Penangsang dan rela dihukum mati.
Raja Terakhir
Dalam dialog itu Sunan Prawoto rela dihukum mati asal keluarganya diampuni. Rangkud pun menyetujuinya dan kemudian menikam dada Sunan Prawoto sampai tembus ke belakang. Dan celaka, ternyata istri Sunan Prawoto berlindung di belakang Sunan Prawoto yang pada akhirnya juga turut meninggal karena ikut tertusuk tikaman dari Rangkud tersebut. Sunan Prawoto pun marah atas kematian istrinya, dengan sisa tenaganya Sunan Prawoto berhasil membunuh Rangkud.
Meninggalnya Sunan Prawono menjadikan kondisi kerajaan Demak Bintoro semakin kacau balau. Bahkan bisa dikatakan sebagai akhir dari masa kejataannya. lambat laun hilang dari muka bumi setelah Ratu Kalinyamat  memberikan Kesultanan Demak kepada Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir atas jasa-jasanya  membunuh secara tidak langsung  Aryo Penangsang di medan perang.
Kemudian Sultan Hadiwijaya   memindahkan Kesultanan Demak Bintoro  menuju Kartasura  dan mengganti nama  menjadi Kesultanan Pajang.  Saat itulah secara  defakto maupun dejure Kesultanan Demak Bintoro berakhir sirno ilang kertaning bumi.  HUSNU MUFID.

Kisah Sunan Giri Menikah

Kisah Sunan Giri  Menikahi Dua  Wanita Sehari

Pagi Nikahi Dewi Karimah, Sore dengani Dewi Wardah

Sunan Giri semasa mudanya  termasuk  orang yang memiliki  akhlak mulia,  tampan dan pintar. Oleh karena itu banyak  para orang tua  yang ingin anaknya dinikahi. Berikut ini kisah pernikahannya.

Keberadaan Joko Samudro atau Sunan Giri di Pondok Pesantren Ampel Denta merupakan i pemuda yang santun  dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Juga  dan kewibawaan bila berada di tengah-tengah masyarakat.  Oleh sang Maha Guru, Sunan Ampel, dia pun diberi gelar Raden Ainul Yaqin.
Kelebihan yang dimiliki Joko Samudro atau Raden Paku menjadikan banyak  wanita yang menyukainya. Ingin menjadi istrinya. salah satunya adalah  Dewi Murtasiyah, putri sulung Sunan Ampel dari istri  terpikat akan kecerdasan yang dimiliki Sunan Giri. Dewi Murtasiyah adalah anak pertama Sunan Ampel dari istri kedua Sunan Ampel, yaitu Dewi Karimah binti Kembang Kuning.
Gayung bersambutpun Sunan Ampel menyetujui  jika Dewi Karimah menikah dengan Joko Samudro cucu menak Sembuyu Raja Blambangan. Maka disiapkan pernikahan keduanya. Easa bahagiapun muncuk diantara   calon kedua mempelai itu.
Tapi  sebelum akad nikah dilaksanakan, mendengar  berita kalau Sunan Giri akan dinikahkan pula dengan  Dewi Wardah, putri Ki Ageng Bungkul atau Sunan Bungkul.
Alasan Joko Samudro  akan dinikahkan dengan Dewi Wardah. Karena  Sunan Giri beberapa hari yang lalu  menemukan buah delima di sungai Kali Mas milik Sunan Bungkul.
Saat itu Sunan Bungkul menazar bahwa kalau ada yang  menemukan buah  Delima yang hanyut disungai, maka akan dijadikan sebagai menantunya. Dimana buah delima tersebut kesukaan Dewi Wardah.
"Oleh karena itu, Sunan Bungkul yang pernah bernazar, jika ada seorang pemuda yang menemukan, akan menjodohkan dengan putri kesayangannya, Dewi Wardah," Drs. Mustofa, Huda, MA dosen UINSA Surabaya.
Mendengar nazar Ki Ageng Bungkul itu, Joko Samudro sempat bimbang melihat situasi dan kondisi  menjelang pernikahannya dengan Dewi Karimah  putri sulung Sunan Ampel. Hari itu  banyak mengucapkan astagfirullah.  Sebab dia akan melangsungkan akad nikah dengan putri gurunya dan tak mungkin dikhianati.
Di tengah kekhawatiran akan gagalnya pernikahannya itu, joko Samudro meminta  nasehat kepada  Sunan Ampel  sebagai calon mertuanya.
Sunan Ampel menasehati agar menerima nazar Sunan Bungkul itu. Dirinya tidak mempermasalahkan  jika nantinya  dalam sehari itu menikahi dua orang gadis. Karena sudah menjadi  takdiri. mengingat jodoh itu berada ditangah Allah SWT.
Nasehat Sunan Ampel
Saat gurunya berkata demikian, Joko Samudro  hatinya merasa tentram. Langsung menyatakan bersedia menikahi dua gadis putri tokoh terkenal di Surabaya. 
Bagi Sunan Ampel selaku  tokoh agama  di Surabaya, menyatakan "Dijawab lagi oleh Sunan Ampel, tidak mempermasalahkan. Sehari dua kali menikah. tetap sesuai syariat islam. Karena  bukan kehendak Joko Samudro  sendiri. Bukan karena nafsu, Itu sudah menjadi takdir Gusti Allah.
Juga kedua gadis yang akan dinikahi  Joko Samudro  tidak mempermasalahkan. malahan merasa senang. Karena zaman dahulu menjadi istri  kedua atau ketiga merupakan sebuah kebanggan tersendiri. bahkan mendapat pahala surga.  Masyarakatpun tidak mempermasalahkan jika Sunan Giri menikah dengan dua orang gadis dalam sehari. Bukan aib, melainkan sebuah kehormatan.
Dan akhirnya, dalam sehari Sunan Giri menikah dengan dua gadis jelita sekaligus. Pagi hari menikah dengan Dewi Murtasiyah Karimah, setelah Azar dengan Dewi Wardah. HUSNU MUFID

Sayyidah Al Hababah Hodijah di Bangil


Kisah Syarifah Al Hababah Khadijah Putri Sunan Gunung Jati

Tugas Dakwah Gantikan Sunan Ampel di Bangil

Bangil merupakan salah satu kota tua di Jawa Timur. Zaman dahulu  banyak penyebar agama Islam  berdatangan.  Di antaranya  adalah Syarifah Al Hababah Khadijah. Yang mendapat tugas berdakwah dari ayahnya, Sultan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia mendapat sebutan wanita penyebar agama Islam. Berikut ini kisahnya.

Syarifah Al Hababah adalah salah seorang putri Sunan Gunung Jati, Sultan Kerajaan Cirebon. Sejak kecil telah mendapat didikan agama Islam  dari ayahnya. Karena itulah, ia tumbuh sebagai seorang putri yang alim dan berpengetahuan agama yang luas, bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya.   
Setiap hari, Syarifah Al Hababah lebih suka berdiam diri di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Baik siang maupun malam, untuk melakukan ibadah. Guna mempraktikkan ilmu yang diajarkan ayahnya setiap usai salat Subuh.  
Menginjak usia dewasa, ia membalut tubuhnya dengan kain panjang dan rambutnya ditutup dengan jilbab. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslimah. Selain itu, memberikan contoh kepada wanita-wanita muda untuk berkerudung. Karena pada waktu itu jarang sekali wanita muda yang berkerudung.
Kemudian tiap bulan, ia selalu mengadakan pengajian-pengajian keliling desa. Jamaahnya adalah kaum wanita tua dan muda. Dalam dakwahnya menggunakan pendekatan bil hikmah. Artinya, dengan menggunakan dalil Alquran dan Hadist yang tidak terlalu keras. Sebagaimana yang dilakukan para sufi di Timur Tengah. Karena yang didakwahi wanita-wanita yang masih awam terhadap ajaran Islam.
Setelah sekian lama berdakwah di Cirebon, maka sang ayah Sultan Syarif Hidayatullah menyarankan agar pergi ke kota Bangil untuk menyebarkan agama Islam. Sebagai pengganti  Sunan Ampel yang telah lama meninggalkan kota tersebut menuju Surabaya. Dengan harapan, nantinya penduduknya tetap memeluk agama Islam.
Saran itu dilaksanakan, maka pergilah Syarifah Al Hababah Khadijah menuju ke Bangil bersama putranya. Yaitu Syarif Sulaiman. Di tempat yang baru inilah ia melakukan dakwah Islam. Tidak ada hambatan dalam dakwahnya. Karena masyarakat telah mengenal ajaran Islam sejak datangnya Sunan Ampel.
Pada waktu senggang, saat tidak melakukan aktivitas dakwah, Syarifah Al Hababah Khadijah melakukan mujahadah di dalam rumahnya yang berada di samping alun-alun kota Bangil. Waktunya lebih banyak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bila tiba bulan Ramadan, ia selalu menyempatkan diri berdakwah keliling kampung Bangil dan mengadakan pengajian di rumahnya. Kaum wanita banyak yang berdatangan untuk mendengarkan siraman rohani dan menanyakan berbagai macam problema.
Bagi kaum wanita waktu itu, keberadaan putri Sunan Gunung Jati ini sangat dibutuhkan. Karena waktu itu tidak ada dai wanita. Yang ada hanya kaum laki-laki. Oleh karena itu, mereka menyebut dengan sebutan wanita penyebar agama Islam.
Ia melakukan dakwah Islam menggantikan Sunan Ampel yang  telah pindah di Surabaya. Dalam dakwahnya tidak banyak mengalami kesulitan. Karena  sudah banyak yang masuk Islam masyarakatnya. 
Hingga akhir hayatnya, ia tinggal di Bangil. Lokasinya  tidak jauh dari Masjid  Jamik Bangil. Persisnya di depan alun-alun.
Makam Syarifah  Al Hababah Khadijah berada dalam komplek makam islam yang jumlahnya cukup banyak. Namun dalam perkembangannya makam yang cukup banyak itu dihilangkan  dengan berdirinya  Gedung Kesenian Lekra Anderbou PKI. Kemudian  tahun 70 an  beruvah menjadi pasar. Kini  hanya tinggal beberapa makam saja yang masih ada. Makam tersebut berada dibelakang pasar. 
Sepeninggal Syarifah  Al Hababah Khadijah, dilanjutkan perjuangan dakwahnya oleh putranya Syarif Sulaiman.
Kemudian setelah  Bangil  masyarakatnya telah masuk Islam semua, Sayyit Sulaiman  pergi berdakwah di Probolinggo. Karena, pada waktu itu masyarakatnya masih belum memeluk agama Islam. Beberapa tahun kemudian mendirikan pondok pesantren, yang kini terenal dengan nama Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Setelah itu melanjutkan perjalanan  menuju ke Surabaya dan mendirikan  Pondok Pesantren Sidosermo. Beberapa tahun kemudian menuju ke Mojoagung hingga akhir hayatnya. HUSNU MUFID.