Selasa, 16 Januari 2018

Tiga Santri Sunan Kudus


Kisah Tiga  Santri Sunan Kudus Menjalankan Tugas Dakwah 

Membangun Pemukiman Islam di Hutan

Sunan Kudus merupakan ulama yang memiliki santri-santri yang siap menyebarkan agama Islam diberbagai daerah Jawa Tengah. Ada 3 orang yang menjadi andalannya. Siapakah dia dan bagaimana kisahnya. Berikut ini.

Setelah Kesultanan Demak Bintoro mengalami kejayaan, maka Sunan Kudus  bebas melakukan dakwah di daerahnya. Dakwahnya bukan lagi sembunyi-sembunyi atau menggunakan siasat. Tapi sudah terang-terangan. Sebab penduduk di Kudus kota sudah masuk islam semua. Tinggal di daerah pedesaan dan sekitar hutan yang melum memeluk agama Islam.
Sunan Kudus  meskipun usianya sudah lanjut. Tapi  tetap  terus menerus berdakwah  dan bantu oleh santri santrinya penyebaran ajaran Agama di pelosok-pelosok Desa sekitar kawasan Kudus.
Waktu iru,  Sunan Kudus mengutus 3 orang santinya yang telah memiliki kedalaman Ilmu agama yang cukup tinggi. Untuk berdakwah di daerah tersebut.   Yaitu  Muhammad Jaelan, Abdullahl Mufakattan dan Raden Jolodoro cucu Sunan Muria.
Harapan Sunan Kudus nantinya penyebaran Agama Islam pun dilakukan bukan hanya di sekitar kediaman Sunan Kudus, melainkan  mulai memasuki daerah pedalaman yang selama ini sulit dijangkau. Ketiga santri tersebut sepakat  model dakwahnya  menggunakan  pendekatan budaya dan seni serta menghormati adat istiadat msyarakat setempat. Tidak menggunakan kekerasan dan senjata. 
Mereka bertiga oleh Sunan Kudus di perintahkan ke arah barat dari pusat Kudus. Tiga orang santri tersebut disertai santri -santri lainnya. karena nantinya akan membentuk sebuah perkampungan desa sebagai pusat dakwah.
 Rombongan santri  dengan tiga orang pimpinan  melewati hutan keluar hutan. Hingga  mereka pun akhirnya sampai di sebuah hutan yang cukup lebat untuk istirahat. Karena  tidak menggunakan alat transportasi seperti kuda, melainkan jalan kaki. Abdulloh selaku pimpinan rombongan santri meminta kepada seluruh santri  beristirahat untuk melepaskan lelah dan menjalankan kewajiban Sholat.
Kemudian Abdullah, Muhammad Jaelani dan Raden Jolodoro  mencari tempat untuk ibadah dan memohon petunjuk dari ALLah ditengah-tengah hutan yang  agak gelap. Karena sinar matahari tidak mampu menembus lebatnya daun. . dalam doanya Allah memberikan petunjuk  kalau di hutan tersebut harus  dijadikan pemukiman dan lahan pertanian.
Keesokan harinya mereka bertiga mengadakan pertemuan untuk membahas tentang petunjuk yang telah diterima. Setelah adanya mufakat maka pada hari yang telah di sepakati. Kemudian pembabatan hutan pun dimulai dan Muhammad Jaelani  yang di minta untuk memimpin para Santri membabat hutan.  Sedangkan  Abdulloh dan Raden Jolodoro pun ikut membantu dengan giat dan dengan bergotong royong. Tidak lama kemudian hutan yang tadinya lebat telah dibabat dan di atur untuk pemukiman dan lahan pertanian.
Saat melakukan pembabatan ditemukan pohon yang harum baunya. Yaitu pohon  Garu. Darisitulah akhirnya  pemukiman yang ditempati dinamakan Desa Garung.  Seluruh rombongan mendapatkan tanah  sesuai dengan  kerja kerasnya membabat hutan. Pembagian pun dibagi secara adil kepada semua warga yang ikut serta dalam membangun perkampungan.
Abdulloh sebagai pimpinan pun segera memanggil Muhammad Jaelani dan Raden Jolodoro  untuk membahas rencana ke depan pemukiman yang baru dibangun  tersebut. Mereka bertiga berdiskusi tentang tugas dakwah dengan membangun pusat studi Islam dan membangun masjid sebagai sarana dakwah dan mengajarkan ilmu keagamaan pada para penduduk. Tidak lama kemudian dibangunlah masjid terbuat dari kayu.
Hari berganti bulan bulan berganti tahun dan perkampungan baru semakin ramai. Muhammad Jailaniy meminta pada Abdulloh untuk mendirikan pasar sebagai pusat perekonomian dan sebagai sarana untuk agar bisa berhubungan dengan Kadipaten Kudus. Selain itu,  diminta untuk sowan ke Kudus guna memberitahukan mengabarkan tentang berdirinya pemukiman  yang didirikan santri-santri Sunan Kudus.  Abdulloh pun menyetujui apa yang dicita-citakan oleh  Muhammad Jailani.
Abdulloh pun berangkat di ikuti beberapa santri untuk menghadap Kanjeng Sunan Kudus. Sesampainya di Kudus Abdulloh pun. Segera menghadap dan melaporkan seluruh hal yang terjadi dari awal sampai akhir. Dan Sunan Kudus pun memerintahkan Panembahan Kudus selaku  putranya  untuk turut serta melihat desa Garung yang telah ramai. Setelah beberapa lama kemudian tempat tersebut pun maju dengan adanya pasar dan pengakuan dari Kudus.
Kegiatan warga pun semakin terarah dengan bertani berdagang dengan berdasarkan ilmu pengetahuan yang di ajarkan oleh ketiga pimpinan mereka. Masyarakat hidup rukun damai dan sejahtera. Kehidupan beragama dan saling bertoleransi dengan umat lain pun di galakkan.
Berbagai disiplin ilmu di ajarkan oleh ketiga Santri Sunan Kudus. Baik ilmu agama sosial seni budaya perdagangan pertanian serta keprajuritan. Pada masa itu banyak dari pemuda warga garung menjadi pedagang petani seniman serta prajurit di kadipaten Kudus serta Jipang Panolan.
Mohammad  Jailani, Abdulloh dan Raden  Jolodoro kemudian hari mendapat gelar dari masyarakat dengan sebutan Kiai.  Tiga tiga tersebut terus menerus  penyebar agama Islam dan pembimbing masyarakat di Desa Garung dan sekitarnya hingga  akhir masa Kesultanan Demak Bintoro.

Pusat Dakwah
Masa awal terbentuknya pemukiman  Abdullah mendapat julukan.  Mbah Dul Mufakattan. Karena  sifat beliau yang mengedepankan asas musyawarah untuk mencari mufakat dalam berbagai urusan.
Seumur hidup tinggal di Desa Garung hingga meninggal dunia. Makam beliau bertiga dimakamkan  di desa garung lor Kec Kaliwungu Kudus dan masih di keramat kan oleh warga sekitar. Bahkan di makam Kyai Jolodoro yang berada di dusun Tersono desa Garung Lor setiap tahunnya diadakan upara ganti Luwur. Jasa Beliau bertiga sangatlah besar dalam perkembangan Islam untuk membantu perjuangan Kanjeng Sunan Kudus.
Kini Desa Garung yang sekarang telah dibagi menjadi dua kelurahan atau desa. Yaitu Desa Garung Lor dan Desa Garung Kidul.dan terdiri dari beberapa padukuhan sesuai dengan perkembangan sejarah dan pemukiman setelah kepemimpinan tiga tokoh pertama.dan islam pun semakin berkembang. Tempat tempat pendidikan pun semakin banyak hingga saat ini.
Lokasinya terletak di antara dua jalan utama menuju kota Jepara. Disebelah selatan jalan begitu hijaunya dengan area persawahan. Dan disebelah utara, pemukiman penduduk yang tertata dengan rapi dengan jalan-jalan yang sudah beraspal. HUSNU MUFID




Senin, 08 Januari 2018

Fatimah binti Maimun dan Raja Kediri


Kisah Fatimah binti Maimun di Wilayah Kerajaan Kediri

Mencoba Mengislamkan Raja Lewat Perkawinan

Fatimah binti Maimun merupakan seorang penyebar agama Islam di  wilayah Jawa pada masa kerajaan Kediri. Ia  datang dari Kesultanan Perlak Aceh. Bagaimanakah kisahnya. berikut ini.

Fatimah binti Maimun  merupakan puteri dari Maimun bin Hibatullah bin Muhammad Makhdum Sidiq. Cucu dari Muhammad Makhdum Sidiq.  Menarik gelar “Makhdum” pada sosok Muhammad Makhdum Sidiq, yang merupakan ciri dari nama keluarga dinasti Makhdum yang menjadi penguasa Kesultanan Perlak Aceh. Dari data ini bisa diambil asumsi bahwa jalur silsilah Fatimah binti Maimun berasal dari Kesultanan Perlak Aveh.
Pada abad ke-11, dalam silsilah Kesultanan Perlak ditemukan nama Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat. "Nama Sultan Perlak inilah sejatinya paman dari Fatimah binti Maimun yang disebut-sebut dalam Legenda Gresik," Syafiia sejarawan Gresik.
Kedatangan Fatimah binti Maimun di Pelabuhan Leran. Karena merupakan pelabuhan yang  terbesar kala itu pada zaman kerajaan Kediri.  Kemudian menetap di  Desa Leran yang merupakan daerah pesisir utara pulau Jawa. Kedatangannya  ke Jawa dalam rangka  melaksanakan perintah ayahnya untuk menyebarkan ajaran islam. Khususnya dalam kalangan kraton melalui jalur perkawinan dengan Raja Kediri yang berkuasa saat itu.
Kedatangan  Fatimah binti maimun datang ke Jawa di dampingi  rombongan yang terdiri dari dayang, punggawa Kesultanan Aceh dan  kerabatnya.  mereka datang di Leran karena  disitu sudah ada penduduknya. sedangan di Surabaya masih dalam bentuk rawa-rawa.
Orang-orang Kediri tidak mempermasalahkan kedatangannya bersama rombongan. Karena dianggap sebagai  keluarga kerajaan dari Kesultanan Aceh. Tidak diganggu, malahan mendapatkan penghormatan tersendiri.
Kegiatan keagamaan pun digelar di Leran bersama kerabat  Fatimah binti Maimun.  Masyarakatpun  yang beragama Budha, Hindu tidak mempermasalahkan. Hingga akhirnya Raja Kediri mengetahui keberadaannya. Ia tahu kalau ada putri dari Kesultanan Perlak  tinggal di Leran.
Raja Kediri pun mengundang ke istananya untuk mengetahui maksud kedatangannya. Saat datang  raja melihat akan kecantikan  dan budi baik  Fatimah  bin ti Maimun Meskipun dibalut kerudung kain  sutra.  Fatima binti Maimun bersedia menjadi  istri kerajaan Kediri. Tapi sayangnya Raja Kerajaan Kediri tidak bersedia menikahi. karena berbeda agama dan istrinya sudah banyak sekali.
Penolakan itu menjadikan Fatimah binti Maimun pulang kembali di Leran dengan tangan  hampa.  Tapi beberapa hari kemudian Raja Kediri  merasa menyesal telah melakukan penolakan. 
Selanjutnya  Fatimah binti Maimun pulang menuju  Desa  Leran  dan tidak kembali ke Perlak Aceh. Tidak lama kemudian  muncul  muncul musibah yang membuat banyak warga sekitarnya meninggal dunia.  Wabah penyakit itupun akhirnya menimpanya. Sejumlah tabib untuk menyembuhkan  tidak berhasil dan akhirnya meninggal dunia.
Fatimah binti maimun wafat pada 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M) berdasarkan prasasti yang ditemukan disamping makam, saat masih berusia 18 tahun. Beserta 4 dayangnya, Siti Fatimah wafat saat masih perawan.
"Keikhlasannya menyediakan diri untuk dinikahkan dengan raja Budha demi  agama Islam. Sungguh sebuah pengorbanan yang luar biasa kala itu,"ujar H.A Hasyim juru kunci  makam Fatima binti Maimun..
Jenazah nya dimakamkan bersama barang-barang peninggalannya. Berupa pusaka dan harta pemiliknya karena tidak ada ahli waris yang sah, dan dikhawatirkan akan dikuasai penguasah kerajaan yang masih memeluk agama Budha. Oleh karena itu,  ukuran makam jauh lebih panjang dari makam umumnya.
Makam Siti Fatimah terletak di dalam sebuah cungkup persegi dengan luas 4x6 M dan tinggi 16 M. Cungkup tersebut berbahan batu kapur yang diambil dari gunung Suci, Manyar.
Berbeda dengan bangunan makam wali pada umumnya, cungkup makam Siti Fatimah Binti Maimun menyerupai sebuah candi pada masa Hindu-Budha. Konon, cungkup itu dibangun oleh seorang raja Budha yang hendak disunting Sultan Machmud Syah Alam.
Pembangunan Makam Siti Fatimah merupakan bukti penyesalan sekaligus menebus rasa bersalah raja Kerajaan Budha ini yang kurang bersahabat dengan kehadiran rombongan keluarga Sultan Machmud Syah Alam yang hendak meminang dirinya untuk dinikahkan dengan Siti Fatimah sebagai selirnya.

Makamnya
Selain makam Siti Fatimah Binti Maimun, didalam cungkup tersebut juga terdapat makam 4 dayangnya, yakni Putri Seruni, Putri Keling, Putri Kucing, dan Putri Kamboja. Sedangkan di luar cungkup, terdapat beberapa makam kerabat Siti Fatimah yang konon turut mengantar Siti Fatimah menyebarkan Islam di tanah Jawa. Menariknya, diantara banyak makam tersebut, terdapat 8 makam panjang yang menyita perhatian banyak orang. Makam panjang tersebut terdiri dari 6 makam panjang berukuran 9 meter dan 2 makam panjang berukuran 6 meter. Pemilik dari 8 makam panjang tersebut adalah Sayid Jafar, Sayid Kharim, Sayid Syarif (ketiganya paman Siti Fatimah), Sayid Jalal, Sayid Jamal, Sayid Jamaluddin, Raden Ahmad, dan Raden Said.
Selain itu, tedapat pula beberapa makam warga sekitar. Konon, dulunya area makam Siti Fatimah Binti Maimun merupakan tempat pemakaman umum. Tetapi, semejak tahun 1973 atau saat Makam Siti Fatimah Binti Maimun diambil alih Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, area makam tersebut tidak lagi dibolehkan menjadi pemakaman umum.
Keadaan makam sendiri bisa dibilang cukup terawat. Selain kebersihan area makam yang terjaga, keaslian bangunan makam juga benar-benar diperhatikan. Bahkan, H Hasyim Ali sangat berterima kasih atas kepedulian BP3 terhadap perawatan makam selama ini. HUSNU MUFID

Sunan Gunung Jati ke Palestina


Kisah Pengembaraan  Sunan Gunung Jati di Palestina

Menemukan Kitab Usul Kalam di Istana Bani Israil

Sunan Gunung Jati atau Syerif Hidayatullah semasa mudanya tinggal di kerajaan Mesir. Tapi tidak suka berlama-lama tinggal di istana, melainkan suka mengembara. Bagaimanakah kisah pengembaraannya. Berikut ini.

Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan  Gunung Jati adalah putra dari Sultan Hud, yang memiliki  wilayah kekuasaan mulai dari Mesir hingga Palestina. Ibunya bernama  Ratu Nyimas Larasantang.  Tapi setelah menjadi istri raja Mesir berganti nama menjadi  Syarif Mudaim.
Semasa mudanya  Syarif Hidayatullah lebih suka mengembara daripada tinggal di istana kerajaan. Lokasi pengembaraannya  hingga sampai ke  daearh Palestina. Di daerah Palestina, Syarif Hidayatullah merasa aman-aman saja. Karena merupkan wilayah kekuasaan  ayahnya.  Orang Yahudi dan Nasrani pun harmat dengannya. karena dianggap sebagai putra mahkota kerajaan Mesir.
Dalam pengembaraannya ia menemukan sebuah kitab yang selama ini dicari ulama-ulama kerajaan. Namanya Kitab Usul kalam yaitu suatu kitab yang ditemukan di Gedong Agung dalam Istana Bani Israil, kitab tersebut ditulis dengan menggunakan tinta emas dan didalamnya membahas mengenai hakikat Nabi Muhammad dan menjelaskan mengenai Dzat Allah yang maha suci.
Syarif Hidayatullah merasa gembira. kemudian membaca kitab tersebut. Rupanya kitam itu mempu mempengaruhi  jiwa dan pikiran cucu Raja Pajajaran. Setelah membaca kitab tersebut, Syarif Hidayatullah mepunyai keinginan kuat untuk  berjumpa dengan Nabi Muhamad.
Oleh karena itu, ia kembali ke Mesir untuk minta ijin kepada orang tuanya. Tapi sayangnya sesampainya di istana kerajaan mendapat kabar ayahnya telah meninggal dunia. hatinya pun sedih. Tapi tidak menyurutkan  niatnya untuk  bertemu dengan Nabi Muhammad meskipun telah meninggal dunia beberapa abad lamanya.
Ketika ada keputusan yang menyatakan, bahwa  penerus tahta adalah Syarif Hidayatullah. Karena beliau merupakan anak laki-laki pertama dari Sultan Hud dan Ratu Nyimas Larasantang. Keputusan tersebut ia tolak. Sehingga  jabatan raja diberikan kepada adiknya yang nomor dua.  Syarif Hidayatullah meminta supaya di ijinkan melakukan pengembaraan  mencari Nabi Muhamad SAW.
Ijin tersebut membuat ibunya kaget bukan kepalang. Ibunda Syarif Hidayatullah, dalam keadaan itu kemudian  berkata “Wahai anaku bukankah Nabi Muhamad telah wafat dan dikuburkan di Madinah, Anaku, bagaimana mungkin ananda bisa berjumpa dengan beliau?, sudahlah anaku, janganlah engkau pergi!”
Mendapati gelagat aneh dari anaknya itu, Ratu Nyimas Larasantang merasa khawatir dan memberitahukan kepada patihnya yang bernama Patih Onka, Sang Patih kemudian membujuk Syarif Hidayatullah muda, bujuknya agar jangan mengembara. Sebab Nabi Muhamad sudah wafat dan telah dikuburkan di Madinah lagipula penobatan Syarif Hidayatullah sebagai penguasa Banisrail segera dilaksanakan.
Namun demikian Syarif Hidayatullah sudah kuat hatinya, ingin mengembara mencari Nabi Muhamad, demikian katanya terhadap Sang Patih “Paman aku tidak mengangap beliau telah wafat, karena itu adalah urusan Allah yang bersifat maha pengasih.
Apakah Paman pernah mendengar ada orang yang telah wafat kemudian datang menemui orang hiidup?, memang Allah itu maha kuasa. Susah atau  mudahnya kita serahkan kepada Allah, begitu tambah Syarif Hidayatullah dengan keyakinan penuh”
Niat yang begitu besar akhirnya Patih Onka tidak bisa berbuat banyak. Kemudian mengijinkan Syarif Hidayatullah untuk  melakukan pengembaraan menemui Rosulullah.  Satu hari kemudian Syarif Hidayatullah meninggalkan Istana dan mengembara mencari Nabi Muhamd SAW. berbekal  baju, emas dan kuda sebagai tunggagannya.
Dalam pengembaraanya itu Syarif Hidayatullah menuju Palestina guna  mengunjungi Makam Nabi Sulaiman di Pulau Majeti. Beliau juga kemudian terdampar di Jabal Kahfi. Dalam perjalanan selanjutnya dimana Syarif Hidayatullah dalam keadaan lelah setelah seratus hari seratus malam tak kunjung menemukan Nabi Muhamad SAW.
Kemudian pada  malam hari dalam tidur lelapnya,  Syarif Hidayatullah memasuki   alam dimensi lain, beliau melihat alam nyawa dimana tempat berkumpulnya nyawa orang-orang yang telah wafat dalam perang sabil berada.
Dalam alam Nyawa itu, Syarif Hidayatullah kemudian didatangi oleh Nabi Khidir, dan beliau mengabarkan kabar gembira kepada Syarif Hidayatullah, bahwa keinginannya untuk dapat bertemu Nabi Muhamad akan terlaksana, Sang Nabi Khidirpun kemudian mengangkat Syarif Hidayatullah menjadi Waliullah.
Dengan menunggangi Kuda yang bernama Kuda Sembrani, Nabi Khidir kemudian membawa Syarif Hidayatullah melesat bagaikan kilat, tenggelam dalam ketidaktahuan arah, utara-barat-timur maupun selatan. Alam menjadi gelap gulita hingga akhirnya sampailah kepada suatu tempat yang terang benerang keduanya tiba di Gunung Mirah Wulung.

Burung Putih
Setelah Syarif Hidayatullah muda turun dari kudanya, kemudian Nabi Khidir meninggalkan beliu sambil berpesan, “Engkau tunggulah disini dengan sabar, nanti aka ada yang datang kepadamu, nanti akan kau lihat sendiri”
Selang beberapa lama setelah masa penantian, datanglah seekor burung putih keluar dari puncak gunung mendatangi Pemuda Syarif dan kemudian membawanya naik kepuncak gunung Mirah Wulung. Syarif Hidayatullah muda dibawa ke Masjid Kumala.
Tanpa diketahui kedatangannya, kemudian terlihat Rasullalah, cahayanya menyilaukan memancar menerangi alam sekelilingnya. Syarif Hidayatullah lalu menghambur untuk bersujud dihadapan Nabi, akan tetapi bahunya segera diangkat oleh Nabi, dan Sabdanya “Nanti kamu Kafir kalau menyembah sesama manusia.!, sebab sejak awalnya sujud itu hanya kepada Allah”
Pemuda Syarif kemudian berkata “Hamba mohon Syafaat, baiat kepada sejatinya, semoga selamat dunia samppai akhirat”  Artinya: “(Hai anak muda, yang akan menjadi pengganti diriku. Ingatlah kamu selalu kepada sesama hidup. Karena hidup itu tidak berbeda, tidak bisa dibunuh karena sukmanya itu Allah. Jangan sampai nanti terlambat, hanya ada satu tak ada duanya, yaitu itulah engkau adanya. Namun lahir harus memaki Tirai, untuk meramaikan Negara, berikan petunjuk kepada hamba Allah, berhati-hatilah dalam tutur kata. Sempurnakanlah amal syariat yang utama dengan berbakti kepada ayah dan bunda, dan kunjungilah Ka’bah Allah, carilah guru yang saleh dan janganlah meninggalkan adat dunia, hanya itulah nasihatku)”
Maka selesai sudah baitanya Rasullallah. Syarif Hidayatullah pun kemudian bersukur karena tercapai sudah keinginanya yaitu berjumpa dengan Nabi Muhamad SAW. HUSNU MUFID

Sunan Prapen






Kisah Zaman Kejayaan Sunan Prapen di  Giri Kedaton 

Melantik  Sultan Pajang dan Panembahan Senopati

Sunan Prapen merupakan keturunan cucu dari Sunan Giri. Memiliki kekuasaan  politik di wilayah bekas kerajaan Majapahit. Khususnya diwilayah  Pantai Utara  Jawa setelah mengalahkan prajurit kerajaan Majapahit dibawah  pimpinan  Prabu Girindrawaedhana. Berikut ini kisahnya.

Sunan Prapen merupakan  penguasa keempat yang memerintah Giri Kedaton,  antara tahun 1548 sampai 1605 M. Selama  memerintah mengalami kejayaan yang cukup besar.
Sunan Prapen juga seorang pujangga besar di masanya. Dia lah yang menggubah kitab Asrar dan kemudian digunakan sebagai dasar menyusun Jangka Jayabaya. Selain itu, Sunan Prapen juga dikenal sebagai mpu atau pembuat keris. Karyanya yang terkenal di bidang pembuatan keris adalah keris Angun-angun.
Saat dipimpin Sunan Prapen, Giri Kedaton bukan hanya sebagai tempat   belajar agama namun menjadi daerah yang mempunyai pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan politik.
Pada wal masa pemerintahannya Sunan Prapen merupakan  sosok ulama yang memiliki kemampuan politik. Sehingga  daerah-daerah bekas  wilayah jajahan  kerajaan Majapahit  menyatakan setia padanya.
Hal inilah yang membuat Prabu Girindrawardana memerintahkan Patih Udara untuk menyerang Giri Kedaton. Jika  nantinya mengalami kemenangan, maka  bekas kekuasaan  kerajaan Majapahit yang  telah melakukan  menyatakan setia kepada Sunan Prapen  akan kembali dikuasai.  karena pimpinannya yaitu Sunan Prapen tidak mau menyatakan takluk kepada Majapahit.
Perintah itupun kemudian ditindaklanjuti, maka Patih Udara mengerahkan pasukannya dari Kediri menuju  Gresik untuk melakukan penyerangan. Seribu prajurit kerajaan Majapahit  menyerang Giri Kedaton. Perlawanan pun dilakukan oleh prajurit Giri Kedaton. Tapi sayang  tidak mampu menghadapi serangan yang jumlahnya cukup banyak.  Akhirnya mampu menguasai hampir sebagian wilayah Giri Kedaton, dan banyak menewaskan para santri yang ada.
Seluruh bangunan di kawasan Giri semuanya dibakar habis, Giri Kedaton menjadi lautan api. Harta benda dijarah.Sunan Prapen dan pengikutnya lalu mundur ke makam Sunan Giri. Kemudian di Kompleks Makam tersebut Sunan Prapen berdoa kepada Allah SWT. Selesai berdoa kemudian memerintahkan juru kunci membuka pintu kayu jati di kompleks makam kemudian keluarlah ribuan tawon atau lebah beracun.
Ribuan tawon tersebut terbang ke angkasa, bergumpalan bagaikan awan hitam yang menyerang barisan pasukan Majapahit yang sedang bersenang-senang karena kemenangannya. Para prajurit Majapahit lari pontang-panting seluruh tubuhnya menjadi lebam. Karena sengatan lebah beracun, banyak korban yang tewas. Melihat keadaan yang tidak terkendali, sebagian prajurit lebih baik mencari selamat, lari masuk hutan.
Namun barisan lebah yang semakin banyak itu mengikuti larinya rombongan Patih Maudara hingga sampai di Kerajaan Majapahit. Lebah beracun itu kemudian menyerang ke dalam istana, geger seluruh penghuni yang ada di dalamnya.
Menyaksikan hal ini, Prabu Girindrawardana  kemudian menengadahkan tangannya ke langit, dan bersumpah, tidak akan mengganggu para santri dan Sunan Prapen, kecuali yang sudah terjadi. Setelah selesai sang Prabu Girindrawardhana mengucapkan sumpahnya, seluruh barisan lebah beracun, berbalik arah melesat ke udara, dan terbang ke arah  barat laut. Langitpun menjadi cerah. Hal inilah yang membuat akhirnya Girindrawardana membiarkan Giri Kedaton menjadi daerah bebas di luar kekuasaannya.
Setelah kerajaan  kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan akibat serangan Sultan Trenggono di Kediri, m aka kewibawaan Sunan Prapen semakin  tinggi. Ketika kerajaan Demak runtuh akibat perang saudara, maka Joko Tingkir minta restu  Sunan Prapen untuk menjadi seorang sultan. Kemudian  Sunan Prapen yang kemudian melantik Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menjadi sultan di Pajang.

Petinggi VOC
Bahkan ketika Kesultanan Pajang mengalami keruntuhan, maka Sunan Prapen juga memberi restu Panembahan Senopati menjadi raja kerajaan Mataram. "Selama hidupnya  selalu  pelantik atau pemberi restu kepada raja kerajaan Mataram,"ungkap Prof. Dr. Ali Mufrodi, MA  Guru Besar UINSA Surabaya.
Begitupula dengan sejumlah raja Islam di wilayah Indonesia Timur seperti di Pulau Kalimantan, Lombok dan Maluku juga diberikan restu oleh Sunan Prapen saat pelantikannya.Sehingga petinggi VOC saat itu menyatakan kalau Sunan Prapen bertindak seperti Paus penguasa Tahta Suci Vatikan yang juga memberikan restu dan berkah kepada raja-raja di Eropa.
Sunan Prapen wafat pada tahun 1605 M. Makam Sunan Prapen terletak di Desa Klangonan Kecamatan Kebomas sekitar 400 meter di sebelah barat Makam Sunan Giri, dalam sebuah cungkup berarsitektur unik dengan ukiran bernilai seni tinggi. HUSNU MUFID


Syekh Maulana Mgribi


Kisah Syekh Maulana Magribi di Pulau Jawa

Petilasannya Banyak Dijadikan Makam
 
Syekh Maulana Magribi merupakan salah satu sunan yang berdakwah di berbagai daerah di Jawa. Cukup banyak petilasan-petilasan yang dibangun dengan megahnya. Bagaimanakah kisahnya. Berikut ini.
Syekh Maulana Magribi seorang ulama dari Timur Tengah bukan hanya memiliki ilmu agama yang cukup tinggi. Tapi juga mempunyai ilmu karomah tingkat tinggi. Oleh karena itu, dalam dakwahnya juga menggunakan ilmu karomah yang disertai ilmu silat tenaga dalam. Hal tersebut sesuai dengan zamannya.
Selain itu, Syekh Maulana Mahribi  merupakan wali yang cukup tinggi derajadnya. Karena tanpa menyandang gelar Walisongo, akan tetapi memiliki peran  besar dalam menyebarkan agama Islam di berbagai daerah Jawa dengan ditandai banyaknya  petilasan-petilasan yang ditandai dalam bentuk sebuah makam. Seperti di Bantul Jogjakarta, Cirebon, Pomal Jawa Tengah dan berbagai  daerah lainnya.
Kedatangan Syekh Maulana Magribi dari Maroko ke Jawa dengan tujuan berdakwah. Mengingat waktu itu daerah Pulau Jawa masih sedikit yang beragama Islam. Bahkan  sejumlah rajanya tidak mempermasalahkan datangnya ajaran islam di wilayah kerajaannya.
Selain berdakwah, pekerjaan sehari-hari  adalah berdagang dari kerajaan ke kerajaan lain di berbagai belahan bumi. Hingga akhirnya  sampai di  Pulau Jawa dan mendarat di Pelabuhan Leran Gresik. Karena waktu itu Leran merupakan  pelabuhan yang cukup terkenal bila dibandingkan dengan  pelabuhan lainnya.
Kemudian melanjutkan dakwah menuju daerah Klaten hingga sampai pesisir Parangteritis. Karena didaerah tersebut  banyak  orang-orang yang belu, beragama islam. Khususnya masyarakat kelas Bawah. Ia bertempat tinggal di atas bukit dan ditemani seorang murid setia yaitu Syekh Belabelu.
Perjalanan pun berlanjut menuju Pomal  Jawa Tengah untuk melakukan syiar. Karena didaerah itu banyak orang-orang yang masih menyembah pohon dan batu besar. Juga ada. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju  Kesultanan Cirebon dengan rajanya Sultan Syarif Hidayatullah.
Bagi Syekh Maulana  Magribi  berdakwah di  Kesultanan Cirebon tidaklah sulit. Karena masyarakatnya sebagian besar beragama Islam. Sehingga posisinya  cukup tinggi. Sebab penguasa dan rakyat banyak yang menaruh hormat.
Setelah sekian lama tinggal di Kesultanan Cirebon. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju  Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah selaku  raja setelah kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan.
Dalam dakwahnya, Syekh Maulana Magribi semakin bersinar terang. Membantu Walisongo yang telah terlebih dahulu mengislamkan masyarakat Jawa Tengah. Hingga akhir hayatnya berada di Kesultanan Demak dan makamnya berada di belakang Masjid Demak Bintoro.  Hanya saja makamnya tidak banyak dikunjungi umat Islam. Karena tidak tahu.  HUSNU MUFID