Senin, 11 Desember 2017

Sunan Drajad dan Sunan Ampel

Kisah Sunan Drajad Dapat Tugas Dakwah Sunan Ampel

Kaplnya Tenggelam Dilaut Saat Menuju Gresik

Nama terkenalnya adalah Sunan Drajad. Tapi  Nama aslinya adalah Raden Qasim. Mendapat tugas dari  Sunan Ampel Surabaya untuk berdakwah di Gresik.  Untuk menggantikan Syekh Maulana Malik Ibrahin yang telah meninggal dunia. Berikut ini kisahnya.

Sunan Drajat sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan Pondok Pesantren Ampel Denta Surabaya. Ayahnya merupakan guru satu-satunya. Ia belajar bersama Sunan Bonang, Sunan Giri, Raden Patah dan putra bangsawan kerajaan Majapahit. Berbagai ilmu didapatkan dari ayahnya. Seperti fiqih, al-Qur’n hadist, tarih, aqidah akhlaq dan banyak lagi ilmu agama lainnya.
Selama belajar agama kepada ayahnya, Sunan Drajad ini tergolong sebagai anak yang cerdas dan memiliki akhlaq yang mulia. Boleh dibilang termasuk santri yang memiliki kelebihan dalam mempelajari ilmu agama Islam. Hal ini yang membuat bangga Sunan Ampel.
Ketika menginjak usia dewasa, maka ayahnya memerintahkan untuk menuju ke wilayah Gresik guna menggantikan  Syekh maulana Malik Ibrahin dan Syekh Ali Muthadlo yang telah meninggal dunia.      
Kepergian Sunan Drajad ke Gresik  menggunakan  prahu layar dan tidak melalui jalan darat sebagaimana yang dilakukan Sunan Bonang kakaknya.  Karena jika melewati jalan darat akan memakan waktu cukup lama. Sebab banyak  hutan yang harus dilalui. Di mana hutan lebat  dan para penjahat  berkeliaran. Memang wilayah Surabaya dan Gresik  waktu itu merupakan daerah yang sulit untuk dilalui dan rawan kejahatan. Sisa-sisa  prajurit kerajaan Majapahit masih bercokol sangat kuat. Khususnya   mereka yang mendukung Patih Udara dan Raja Girindrawardhana pengkudeta Prabu Brawijaya V.
Rupanya  jalan laut pun  banyak penjahatnya. sama dengan  jalan di darat.  Sebab waktu itu banyak  pelarian tentara yang kalah  dalam perang saudara dalam lingkup   kerajaan Majapahit. Di tengah-tengah perjalanan lewat laut, Sunan Drajad mengalami musibah. seorang perampok mencoba menenggelamkan perahu yang dinaiki Sunan Drajad. Tiba-tiba ombak besar datang dan perahu yang dinaiki terbalik. Kemudian datang pertolongan dari Allah, beliau diselamatkan oleh ikan dan dihantarkan sampai ke pinggir pantai. Sejak saat itulah berada di wilayah Lamongan.
Di Paciran Lamongan Sunan Drajad tidak mengalami kesulitan dalam berdakwah. Karena mendapat pertolongan dan dukungan dari penguasa setempat sekaligus mertuanya.  Dari sinilah  aktifitasnya menyebarkan agama Islam pada masyarakat Lamongan berjalan lancar. Masyarakat yang ada kehilangan tokoh agama. Seperti Resi dan Pedanda yang meninggalkan Lamongan menuju Pulau Bali dan Gunung Tengger. .
Dalam dakwahnya cukup santun dan tidak dengan kekerasan maupun paksaan. Berjiwa sosial, sangat memperha­tikan nasib kaum fakir miskin. Karena waktu itu banyak masyarakat yang  hidup dalam kemiskinan. Sebab kondisi kerajaan Majapahit mengalami kehancuran ekonomi berupa gagal panen. Ditambah lagi  perang saudara dan tidak adanya raja yang kuat dalam mengatur  kerajaan. 
Untuk itu ia melakukan strategi terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.  Rupanya hal itu berhasil dengan sukses. Sehingga banyak orang Majapahit yang bersedia  masuk Islam secara sukarela.
Sejak itulah banyak orang-orang Majapahit masuk Islam. Agama baru Islam disambut dengan gembira. Ajaran Islam menjadikan masyarakat Paciran Lamongan pinggir pantai maupun pedalaman menjadi manusia-manusia yang santun  dan beradab. Bukan lagi masyarakat yang sangat dan suka berperang melawan pendatang baru.
Dalam menyebarkan ajaran Islam Sunan Drajad cukup sederhana. Ia memiliki  filosofi dalam pengentasan kemiskinan dan diajarkan kepada murid-muridnya. Adapun isinya sebagai berikut : Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain). Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada). Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan). Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu). Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur). Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Selain hal tersebut, dalam berdakwah  Sunan Drajat juga  menggunakan  tembang Mocopat yakni Pangkur diiringi dengan gamelan Singomeng­kok. Dari sinilah banyak masyarakat yang tertarik untuk masuk Islam. Hingga akhirnya Lamongan menjadi daerah yang aman damai dan masyarakatnya sebagian besar telah masuk Islam.

Trahnya
Sebagai penghargaan atas keberha­silannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak Bintoro pada tahun saka 1441 atau 1520 M.
Penghargaan tersebut semakin menguatkan posisi Sunan Drajad di Lamongan. Tidak ada orang-orang jahat yang mencoba menggulingkan posisinya sebagai penguasa di Lamongan yang beragama Islam. Hingga akhirnya seluruh wilayah Lamongan rakyatnya beragama Islam.
Begitupula dengan rumah yang pernah ditempat hingga kini masih ada. Juga keturunannya masih tetap ada dan diakui kerajaan Mataram, Surakarta, karta Sura Surokarto Hadiningrat dan Ngayogyokarto Hadiningrat. Sehingga silsilahnya tetap jelas dan runtut. Karena tidak ada kerajaan yang membumi hanguskan kedaton dan mengejar keturunannya.
Berbeda dengan kerutunan Sunan Giri, yang sanak keturunannya dikejar-kejar  penguasa kerajaan Mataram dibawah pimpinan Amangkurat I.
Oleh karena itu, keturunan Sunan Giri  pasca Sunan Prapen menyembunyikan diri. Tujuannya agar tidak dibunuh penguasa kerajaan saat itu. Keratonnya [pun dihancurkan di wilayah Kebomas Gresik.
Sedangkan keturunan Sunan Drajad tidak dikejar-kejar oleh penguasa kerajaan Mataram. mereka tetap dikasih posisi  jabatan sebagai penguasa di Lamongan hingga zaman Jepang.. HUSNU MUFID



Sunan Muria dab Rakyat Jelata



Kisah Sunan Muria Berdakwah di Masyarakat Nelayan

Mantra dan Sesaji Diganti  Tahlil

Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said. Dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung. Berikut ini kisahnya. 

Nama Sunan Muria sendiri diambil dari nama Gunung Muria, yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah. Ia sendiri tinggal di gunung tersebut bersama istri dan murid-muridnya. Dari atas gunung, Sunan Muria hampir setiap hari harus naik-turun jalan kaki guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk yang berada  dibawah Gunung Muria. Karena   tidak menggunakan kuda.
Kemudian Sunan Muria  berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang sebagai sasaran utama. Selama berdakwah  kondisi tubuhnya cukup prima dan sehat. Karena dari atas gunung menuju pantai dan pasar yang banyak dihuni masyarakat.
Metode dakwahnya menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Cara tersebut  tidak sampai menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat yang masih menganut agama leluhurnya.
Adapun sarana yang digunakan adalah dengan menggunakan  kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Sebab waktu itu  merupakan alat komunikasi yang sangat strategis untuk menyampaikan dakwahnya. Oleh karena itu, beliau menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Selain itu, ada tiga macam kesenian digunakan Sunan Muria  untuk menyiarkan Islam itu sendiri. Kesenian yang dimaksud adalah Tembang, Gending dan Wayang Kulit. Seperti lakon carangan atau karangan sendiri yang tidak bersumber kepada buku Mahabrata. Lakon-lakon itu adalah : Dewa Ruci, Jimat Kalisada, Petruk Dadi Raja, Pandu Pragola, semar Ambarang Jantur, Mustaka Weni, Sekutrem Yasa Pustaka, Begawan Ciptaning, Obong Bale Sigala-gala, Wahyu Widayat, Kresna Gugah dan sebagainya.
"Oleh karena itu, Sunan Muria termasuk wali  yang paling keras mempertahankan kesenian Jawa agar tetap berlangsung dan bahkan bisa diunakan sebagai media da’wah," ungkap Solihin Salam sejarawan asal Kudus. Ketika  Sunan Muria  menghadapi adat istiadat masyarakat setempat Seperti selamatan. Misalnya bila salah seorang anggota keluarga ada yang meninggal dunia, maka mereka akan mengadakan selamatan dan menyediakan sesajen untuk si mati.
Selamatan tersebut sering disebut dengan istilah Kenduri atau Kenduren. Ada upacara selamatan yang dilaksanakan menjelang jenazah si mati iberangkatkan ke kuburan. Ada yang dilaksanakan seudah menguburkan mayat. Jaman dahulu ( Hindu-Biddha, Animisme dan Dinamisme ).

Warna Islam
Kalau saja ada orang mati pihak keluarga di rumah akan menyediakan sesajen di kuburan. Ada istilah selamatan Ngesur Tanah (Kenduren setelah mengubur mayat). Ada istilah Nelung Dinani (Kenduren setelah tiga hari mengubur mayat). Ada istilah Pitung Dinani(Kenduren setelah tiga hari mengubur mayat). Ada istilah Matang Puluh, Nyatus Dino, Mendhak Pisan, Mendhak Pindo, dan istilah NYewu atu seribu harinya si mayat.
Maka Sunan Muria memberinya warna Islam. Dengan demikian tidak terjadi kontradiksi di dalam masyarakat. Warna Islam yang dimaksud adalah upacara yang sekarang disebut Tahlil, yaitu niatnya bersedah untuk si mati dengan cara membacakan kalimat Tayyibah, serta ayat-ayat AlQur’an. Ini dimaksudkan untuk mengganti do’a mantra yang biasa diucapkan para pendeta.
Sedang pahalanya diberikan kepada orang yang mati. Kalau acara selamatan itu lansung dihilangkan atau diberantas rakyat pasti akan marah karena masih belum mengerti dengan dalam syariat dan aqidah islam yang sesungguhnya. Maka selamatan boleh tetap diadakan namun upacara membakar kemenyan dan membuat sesajen dihilangkan. Diganti dengan bacaan dzikir dan ayat-ayat Al-Qur’an serta shalawat Nabi. Demikian pula adat selamatan bila si ibu mengandung maupun melahirkan bayi. Hal itu diberi warna Islam. Biasanya dengan cara membaca shalawat Nabi. HUSNU MUFID



Sunan Drajad dan Danau Brumbung


Kisah Sunan Drajat Islamkan Warga Dusun Brumbung Lamongan

Bersihkan Air Sendang dan Hilangkan Pageblug

Sunan Drajad dalam mengislamkan masyarakat  bukan hanya menggunakan  media kesenian. Tapi juga menggunakan air sendang Brumbung yang awalnya kotor jadi bersih.. Bagaimanakah kisahnya ?. Berikut ini.

Sunan Drajad merupakan sosok wali yang bertempat tinggal di atas bukut Drajad. Berbagai kegiatan keagamaan dilakukan di bukit tersebut. Cukup banyak masyarakat Lamongan yang datang untuk berkonsultasi tentang agama dan kehidupan.
Suatu hari  Sunan Drajad turun dari bukit untuk melihat kondisi masyarakat dari dekat. mengingat waktu itu kerajaan Majapahit  lagi mengalami perpecahan dan perang saudara. Sehingga rakyatnya tidak diurusi. Diantara  banyak dusun di zaman kerajaan Majapahit, maka Sunan Drajad mendatangi Dusun Brumbung. Karena sedang  dilanda bencana alam.
Dimana  wabah penyakit menular melanda seluruh kawasan desa. Penyakit itu menyebar dengan cepat. Sehingga banyak masyarakat yang jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Istilah ini sering disebut sebagai, esuk lara sore mati (pagi sakit, sore meninggal dunia).
Kemudian Sunan Drajat melakukan penelitian terhadao dusun tersebut. dari hasil penelitian  itu kemudian disimpulkan, bahwa sumber air Sendang Brumbung yang selama ini digunakan untuk  minum dan keperluan  lainnya oleh warga masyarakat menjadi penyebab menyebarnya wabah penyakit.
Mengingat selama ini. Sendang Brumbung yang biasanya berair jernih,   justru sangat keruh. Anehnya warha dusun tetap saja menggunakan air tersebut untuk keperluan sehari-hari. Tanpa memikirkan  dampak  kesehatan.
Kondisi air sendang yang keruh  merupakan pilihan satu satunya sebagai  sumber kebutuhan sehari-hari masyarakat. Misalnya minum, mandi, mencuci, dan sebagainya. warga Dusun Brumbung  saat itu memang tidak ada pilihan lain. Air yang ada hanya di sendang tersebut. Meskipun keruh tetap dipakai. 
Melihat warga Dusun Brumbung hanya  memiliki satu pilihan  dalam menggunakan air, maka Sunan Drajat mendekati Sendang Brumbung. Lantas ber jalan ketempat lain untuk menancapkan tongkatnya.
Kemudian di tanah tersebut menyemburlah air tawar yang berlimpah. Padahal tanah di situ bercampur dengan bebatuan. warga dusun kemudian banyak yang datang untuk melihat secara langsung.
"memang  karomah Sunan Drajad  membuat sumur cukup dengan tongkat bisa keluar air jernih. Mungkin sudah ahlinya dalam menemukan mata air di daerah yang tandus dan berbatu," ungkap Juru Kunci Makam Sunan Drajat, Yahya ditemui di kompleks Makam Sunan Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Sunan Drajat menganjurkan agar masyarakat sementara memakai air tawar  yang dibuatkan itu guna memenuhi kehidupan sehari-hari. Mengenai  Sendang Brumbung jangan dulu digunakan. 
Tapi  meminta kepada warga agar membersihkan Sendang Brumbung secara bersama-sama. Pembersihan pun dilakukan bersama sama dengan cara menguras dan mengambil  kotoran yang berada di  bawah air sendang.
Rupanya  warga tidak berhasil membersihkan Sendang Brumbung. Karena  ternyata   air sendang  justru tetap saja airnya berwarna coklat. Apalagi  hujan terus mengguyur dengan derasnya tiap malam.
Sunan Drajat menduga bahwa kotornya Sendang Brumbung.  Karena banyak masyarakat yang belum memeluk Islam. Masih banyak yang menyembah agama kerajaan Majapahit dan menyembah  pohon besar serta batu besar.

Air Jernih Kembali
Akhirnya Sunan menyampaikan pesan, jika warda dusun Brumbung ingin  sendangnya  kembali airnya jernih dan bisa digunakan untuk keperluan lainnya, maka harus  memeluk agama Islam. Karena nanti Allah SWT akan membantu.
Saat itu pula seluruh warga Dusun Brumbung bersedia masuk Islam asalkan benar-benar air sendang kembali dapat digunakan dan wabah penyakit pageblug hilang dari dusunnya. 
Tidak lama kemudian Sunan Drajad mengambil  kedua bokor yang dimiliki. Bokor tersebut digunakannya untuk membersihkan sendang. Maka seketika lenyaplah segala kotoran yang membuat sendang keruh. Sendang Brumbung menjadi jernih kembali.
Atas peristiwa tersebut akhirnya banyak masyarakat Brumbung yang semula memeluk agama leluhur mulai beralih dan menjadi pemeluk agama Islam. Setelah air sendang  bersih dan airnya jernih, maka Sunan Drajat menyembuhkan satu-persatu masyarakat yang tadinya terkena wabah penyakit dengan menggunakan air sendang. HUSNU MUFID

Senin, 13 November 2017

Kisah Sunan Kuning Tulungagung


Kisah Sunan Kuning Menyebarkan Islam di Tulungagung

Mengislamkan Penyembah Batu dan Pohon

Zaenal Abidin merupakan tokoh penyebar agama Islam  di kawasan barat dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Masyarakat luas menyebutnya dengan sebutan Sunan Kuning. Siapakah dia sebenarnya. Berikut ini kisahnya. 

Nama asli Sunan Kuning adalah  Zainal Abidin berasal dari Jawa Tengah. Ketika usia muda    nyantri di Pondok  Pesantren yang dipimpin Kiai Mohammad  Besari, tokoh ulama yang cukup ternama dan disegani asal Jetis, Ponorogo. Waktu itu iam mendapat  tanah perdikan dari Sunan Pakubuwono II dari Keraton Surakarta.
Selama menjadi santri, termasuk santri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Karena mampu menguasai ilmu agama Islam secara  menyeluruh mulai tafsir, hadis, al qur'an dan kitab-kitab kuning.
Usai menuntut ilmu di Kota Reog, itu Sunan Kuning diberikan tugas atau amanat untuk menyebarkan agama Islam di daerah timur. Yakni, Tulungagung dan sekitarnya, termasuk Blitar dan Kediri. Karena 3 daerah tersebut masih banyak  yang belum memeluk agama Islam. mengingat dulunya merupakan wilayah kekuasaa kerajaan Kediri dan Majapahit.
Zainal Abidin diyakini menginjakkan kaki di Tulungagung sekitar tahun 1727 silam. Kedatangannya beliau dikuatkan oleh sumber  dari  buku Sejarah dan Babat Tulungagung yang diterbitkan di oleh Pemkab Tulungagung,
Perlu diketahui bahwa, sebelum Desa Macanbang seperti sekarang ini, dulunya merupakan kawasan hutan belantara yang sangat angker. Selain dihuni banyak binatang buas, juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus yang amat menyeramkan. Saking angkernya, tidak setiap manusia berani merambahnya. Ibaratnya, jalma mara, jalma mati. Artinya, siapa yang berani merambah hutan ini, hampir bisa dipastikan akan pulang tinggal nama
"Di daerah Tulungagung pada waktu tersebut, masih hutan belantara. pohon-pohon besar masih banyak.Sehingga memungkinkan untuk warga mengkeramatkan hingga melakukan penyembahan. Hal itulah yang memicu hati Sunan Kuning untuk meluruskan,"ungkap Kiai Suud salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Fatah Tulungagung..
Kedatangannya di Tulungagung  Zaenal Abidin diikuti santri-santrinya mengajarkan kepada warga Tulungagung dan sekitar, untuk memeluk agama Islam secara utuh. Tetapi ada saja halangan. Termasuk hinaan atau dipandang miring dari masyarakat yang belum memeluk agama Islam. Bahkan ada penentangan secara halus.
Halangan dan hinaan tidak membuat Sunan Kuning menyerah begitu saja. ia tetap terus menyebarkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat yang masih menyembah batu dan pohon.
Model dakwahnya dengan cara-cara yang santun. Lebih banyak  memberikan contoh daripada berbicara. kalau berbicara hanya dengan santri-santrinya yang belajar kepadanya. Tidak ada  cacian maupun hujatan kepada pemeluk agama dan keparcayaan lain. Hingga akhirnya banyak umat Islam yang memeluk agama Islam.
Setelah banyak pengukutnya, Sunan Kuning mendirikan sebuah masjid untuk kegiatan belajar agama Islam dan shalat berjamaah. Saat itupula  kondisi umat Islam mulai tertata dan tidak ada yang menghalangi di daerah Bonorowo waktu itu.   Masjid Macanbang sendiri dibangun tanpa kubah, juga tanpa menara. Atapnya seperti kebanyakan bangunan joglo. Hanya saja bersusun tiga. Sepintas, seperti masjid zaman kerajaan Demak.
Dulu, di depan masjid terdapat kubahan batu besar yang menyerupai kolam. Bahkan, tembok-tembok pagar batu bata mirip batu candi yang berukuran besar. Tembok pagar tersebut hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Sementara kubangan kini telah tiada.
Di masjid, juga terdapat bebera  benda kuno yang diperkirakan peninggalan Sunan Kuning. Benda-benda yang dimaksud, antara lain berupa mimbar tempat berkhotbah, dampar un­tuk tadarusan, kentongan serta bedhug. Benda-benda ini, hingga sekarang masih bisa didapati. Hanya saja, un­tuk mimbar tempat ber­khotbah dan dampar untuk tadarusan, warnanya sudah tidak asli lagi. Kesannya, baru dicat dengan warna hijau.
Selama sekian tahun berdakwah di  Tulungagung akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di belakang masjid. di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang. Tulungagung.
Makamnya
Makam Sunan Kuning dalam perkembangannya menjadi salah satu tempat yang ramai diziarahi. Terutama di malam Jumat Legi. Tak hanya dari Tulungagung dan sekitarnya, tetapi juga dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maklum, Zainal Abidin konon berasal dari Jawa Tengah
Makam Sunan Kuning nyaris tak pernah sepi dari peziarah. Menurut Dulgani, hampir setiap hari peziarah itu selalu ada. Hanya saja, jumlahnya tidak pasti. Di hari-hari tertentu, memang terjadi lonjakan peziarah. Ledakan pengunjung ini, biasa terjadi pada malam Jumat Legi atau pada tanggal 1 Suro. Para pe­ziarah itu datang dari berbagai pen- juru daerah untuk ngalab berkah.
Makam Sunan Kuning dan para pengikutnya sendiri berada dalam sebuah bangunan cungkup. Untuk menziarahinya, seseorang harus melalui sebuah pintu khusus. Di- katakan pintu khusus, karena tinggi pintu cungkup tersebut tidak lazim. Saking tidak lazimnya, peziarah ha­rus membungkuk untuk bisa melewati pintu tersebut. HUSNU MUFID

Kisah Sunan Kalijogo dan Wayang Kulit

Kisah Sunan Kalijaga Membuah Wayang Kulit 

Wayang Kulit Kalahkan Wayang Golek

Ketika  masa jayanya kerajaan  Demak Bintoro hiburan Wayang Kulit menjadi tontonan yang paling digemari masyarakat. Sehingga  Sunan Kalijaga menjadikan sarana  untuk berdakwah Bagaimana kisahnya. berikut ini. 

Wayang merupakan seni pertunjukkan rakyat yang mengambil cerita dari epos besar Ramayana dan Mahabarata dalam ajaran Hindu pada zaman kerajaan Majapahit sangat digemari masyarakat. Karena  merupakan satu-satunya dan paling faforit. Bentuknya  bulat seperti  gambaran manusia biasa yang bisa dalam wujud wayang golek. dimainkan dengan tangan dipanggung.
Melihat hal itu, maka Walisongo memiliki penilaian dan strategi lainj untuk memanfaatkan pertunjukan wayang golek yang banyak diminati masyarakat  waktu itu.
Salah satu Walisongo yang memperhatikan Wayang Golek itu adalah Sunan Kalijaga putra Adipati Wilatikta dari Tuban. Tapi ideyang cukup cemerlang itu mendapat tentangan dari Sunan Ampel dan Sunan Giri. Karena pertunjukan Wayang Golek itu  seperti memainkan patung dan dalam ajaran Islam dilareang. 
Mendengar pendapat Sunan Ampel dan Sunan Giri yang kurang menyetujui  media Wayang Golek digunakan sarana untuk berdakwah, maka Sunan Kalijaga mengubah pikirannya dengan mengubah Wayang Golek  dalam bentuk  Wayang Kulit.
Ide itu  kemudian diwujudkan dengan memodifikasinya sedemikian rupa secara kreatif menjadi media dakwah Islami. Dimana wayang tersebut dibuat dengan kulit kambing.
Hal tersebut, untuk menyiasati gambar atau patung manusia yang terlarang dalam Islam. Bentuk wayang kemudian secara bertahan diubah menjadi hanya bentuk bayangan (wayang) dari manusia. Dengan deformasi itu tidak berarti wayang di era Kerajaan Islam merusak wayang yang tumbuh dan berkembang di masa Kerajaan Majapahit.
Tapi memberikan sofistikasi dan memberikan nilai estetika yang lebih dari sebelumnya. Rupanya estetika itu mendapat sambutan yang baik dari Sunan Ampel dan Sunan Giri. Hingga akhirnya bisa ditampilkan sebagai media dakwah Islam di wilayah kerajaan Demak Bintoro.
Usai melakukan modifikasi dalam bentuk fisik. kemudian Sunan Kalijaga melakukan perubahan  alur cerita atau materi yang ada. Diantaranya adalah   dengan mengembangkan cerita kepercayaan politeis (banyak Tuhan) menjadi monoteis (tauhid). Waktu itu di era Kerajaan Demak, kisah para Dewa dimodifikasi menjadi sederajat dengan para Nabi atau malaikat. Jadi perspektifnya monoteis bukan lagi politeis.
Strategi tersebut rupanya mendapat dukungan  para Walisongo dan umat islam waktu itu. Untuk pentas yang pertama kali adalah di halaman masjid Demak Bintoro. Sunan Kalijaga memerintahkan bagi masyarakat yang ingin melihat Pagelaran Wayang Kulit terlebih dahulu melakukan wudhu.
Permintaan itupun disetujui masyarakat. karena memang  ingin melihat pertunjukan Wayang Kulit karya Sunan Kalijaga.  Hingga akhirnya  pertunjukan Wayang Kulit itu digelar dimana-mana. Setiap digelar,  penontonnya selalu banyak. Juga yang masuk Islam pun semakin banyak.  Karena cukup membaca syahadat.
Waktu itu memang sangat fenomenal. karena Pagelaran Wayang Golek yang  merupakan  budaya  darai kerajaan Majapahit kalah pamor dan penontonnya sedikit. Apalagi Sunan Kalijaga mampu memainkan  dengan suara yang cukup bagus saat mendalang.
Pagelaran  Wayang Kulit [un  berlanjut dimainkan  para santri-santri Sunan Kalijaga diberbagai daerah. Hingga akhirnya menjadi hiburan yang  sangat disenangi masyarakat.
Masyarakat pun terlena dengan kisah-kisah yang ditampilkan. Syarat dengan ajaran-ajaran Islam. Culup banyak warga setelah menyaksikan pagelaran Wayang Kulit  sepulangnya  menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Tidak Dipungut Biaya
Rupanya Wayang Kulit mampu menjadikan orang-orang yang semula hanya menyembah batu, pohon besar dan tidak mengenal Tuhan menyatakan diri masuk  Islam. Karena itulah, wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam, karena mengungkapkan gambaran hidup semesta. Wayang dapat memberikan gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam dunia pewayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan kesulitan hidup.
Waktu itu  pagelaran Wayang Kulit tidak dipungut biaya. demikianpula yang mengundang puntidak ditarik uang Pagelarang Wayang Kulit. Karena sudah menjadi tanggungjawab Sunan Kalijaga dan santri-santrinya.  Wayang kemudian menjadi konsumsi umum sebagai sarana hiburan dan pelaksanaan ritual tradisi di masyarakat  santri waktu itu.
 Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Walisongo yang namanya paling tenar di kalangan masyarakat, karena beliau sangat pandai bergaul di segala lapisan masyarakat dan toleransinya yang sangat tinggi. Sunan Kalijaga sangat berjasa bagi perkembangan agama Islam dan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia, terutama kebudayaan wayang. Sejarah perkembangan wayang tidak lepas dari peranan Sunan Kalijaga. Wayang di dalam masyarakat Jawa sebelum agama Islam berkembang telah menjadi sebagian dari hidupnya, dan di dalam dakwah, Sunan Kalijaga menjadikan wayang ini sebagai alat atau media demi suksesnya dakwah Islam..HUSNU MUFID.



Kisah Sunan Dalem Diserang   Tentara Kerajaan Sengguruh

Dibantu  Ribuan  Pasukan Lebah

Syekh Maulana Zainal Abidin atau lebih dikenal Sunan Dalem merupakan putra Syekh Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Syekh Maulana Ishaq. Beliau merupakan sultan kedua dari kesultanan Giri Kedaton (1428 Saka). Berikut ini kisah hidupnya.

Syekh Maulana Zainal Abidin atau lebih dikenal Sunan Dalem  merupakan sultan kedua dari kesultanan Giri Kedaton (1428 Saka). Ia  yang mendapatkan amanah menggantikan Sunan Giri atau  lebih dikenal  bernama Raden Samudro atau Raden Paku. yang wafat.
Sunan Dalem mulai memegang peranan di Giri Kedaton sejak tahun 1506 M, atau sezaman dengan Sultan Trenggana di kesultanan Demak Bintoro. Pada masa itu pula terjadi peristiwa pendudukan kota kerajaan Majapahit oleh pasukan Islam pada tahun 1527 M. Waktu itu lokasi kerajaan Majapahit berada di  Kediri yang dipimpin  Raja Girindawardhana.
Selain itu, pada masa pemerintahan Sunan Dalem ada penyerangan dari kerajaan Sengguruh  terjadi pada tahun 1535 M. Penyerangan tersebut menjadikan ia  mengungsi ke  Desa Gumeno Kecamatan Manyar Gresik. Pada masa itu diperintah Ki Dang Palih, atas persetujuan Syekh Manganti, paman Sunan Dalem.
Dipengungsian itu  Sunan Dalem ke Desa Gumeno dalam kondisi sakit.  makannya   hanya dengan bubur dan ikannya ayam yang telah disuwir-suwir. Makanan tersebut dikemudian hari menjadi makanan tradisi lokal di Desa Gumeno Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik hingga sampai saat ini. Selanjutnya  dinisbahkan kepada Sunan Dalem, yakni buka puasa dengan “Kolak Ayam” yang dilaksanakan setiap tanggal 23 Ramadhan atau yang lebih dikenal dengan istilah “Sanggring”.
Disaat Sunan Dalem mengungsi di Desa Gumeno, Raja kerajaan  Sengguruh yang berdiri di Pasuruan. Dimana kerajaan tersebut  merupakan sisa-sisa tentara kerajaan yang mencoba ingin mendirikan kembali Majapahit yang telah runtuh.
Alasan kerajaan tersebut ingin menguasai kerajaan  Giri Kedaton. Karena  dianggap sebagai  pintu masik   Kesultanan Demak Bintoro. Mengingat  kesultanan yang  dipimpin Sultan Trenggono dibawah kekuasaan Kedaton Giri.
Saat Istana Kedaton Giri ditinggalkan  Sunan Dalem, maka tentara  dari kerajaan  Senguruh  berusaha membuka dan merusak makam Sunan Giri yang dikenal dengan nama Raden Paku. Juru kunci makam Syekh Grigis mencoba menghalang-halangi. Tapi tidak berdaya dan dibunuh secara  keji. Hingga meninggal dunia.
Kemudian muncul kekuatan baru yaitu  tawon tiba-tiba muncul di  dalam makam. Kawanan lebah yang jumlahnya cukup banyak keluar dari dalam makam. Sehingga membikit  tentara  kerajaan Sengguruh kewalahan  menghadapi tawon tersebut. Pedang dan tombak tidak mampu  mengalahkan tawon. malahan banyak yang tersengat. Kemudian meninggal dunia. Sisanya  melarikan diri dan pulang ke Pasuruan. 

Peninggalannya
Setelah kembali ke Giri, Sunan Dalem meminta agar dibuatkan makam untuk Syekh Grigis disebelah timur makam Sunan Giri, juru kunci yang terbunuh oleh pasukan kerajaan Sengguruh.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat Gumeno, Sunan Dalem mendirikan pembangunan masjid dengan atap bertingkat tiga, oleh masyarakat sekitar disebut Masjid Tiban. Sayangnya  masjid tersebut kini sudah tidak ada lagi bentuk wujudnya. karena telah dirumah  oleh  pengurus masjid yang tidak mengerti akan nilai-nilai sejarah Islam.
Dalam catatan sejarah disebutkan Sunan Dalem wafat pada tahun 1545 M dan dimakamkan disebelah barat makam Sunan Giri, selanjutnya kekuasaan kesultanan Giri Kedaton diamanahkan kepada Sunan Sedomargi untuk menjadi Sultan Giri ke-III.
Sunan Dalem hanya meninggalkan warisan yang hingga kini masih dilestarikan masyarakat  Desa Gumeno, yaitu kolak dengan suwir ayam dan kulah samping masjid yang digunakan untuk wudhu. Sedangkan bentuk masjidnya sudah dibongkar dengan bangunan baru. HUSNU MUFID

Sunan NYamlungan Jepara

Kisah Sunan Nyamplungan Menginjakkan Kaki di Pulau  Karimunjawa

Raja Ular Menolak Kedatangannya


Raden Amir Hasan merupakan putra dari Sunan Muria. Mendapat tugas untuk tinggal di Pulau Karimunjawa. Bagaimanakah kisahnya ketika berada di sana. Berikut ini.
Nama  asli Sunan Nyamplung adalah  Raden Amir Hasan. Putra Sunan Muria dari istri Dewi Sujinah. Merupakan anak kesayangan ketika masih  kecil hingga remaja. Menginjak usia remaja  dititipkan kepada pamannya, Sunan Kudus yang merupakan pamannya sendiri.  Harapan nanti akan menjadi  seorang  pemuda yang memiliki ilmu agama  yang tinggi dan pandai  ilmu silat.  Harapan tersebut  menjadi kenyataan. Karena di kemudian hari  menjadi sosok pemuda yang sangat taat dalam menjalankan ibadah dan menjadi pendekar pilih tanding.
Melihat perkembangan putranya, maka Sunan Muria yang sangat bangga. Kemudian memerintahkannya untuk merantau guna menyebarkan agama Islam di sebuah pulau yang kini dikenal dengan nama Pulau Karimunjawa.
Sunan Muria melihat  sebuah pulau dari Gunung Muria. Dimana pulau tersebut  kadang muncul  dipermukaan laut dan kadang tenggelam. Hal tersebut yang membuat tertarik  dan menyuruh putranya untuk datang ke  pulau tersebut.
Sunan Nyamplungan  tidak menolak atas perintah ayahnya untuk mendatangi Pulau Karimunjawa. Kemudian beserta  dua pengawalnya  berangkat menuju pulau tersebut dengan  menunggang kuda. mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh.
Keberangkatannya diberi sangu bahan makanan, uang, mustoko untuk atap masjid,  dan senjata. Tidak lupa pula dengan  dua buah biji Nyamplung agar nantinya ditanam di pulau tersebut. Mustaka Masjid sampai saat ini masih berada di kompleks pemakaman Sunan Nyamplung.
Kepergian Amir Hasan ke pulau Karimunjawa  tidak  sepengetahuan ibunya. Istilahnya tidak pamit. Karena khawatir tidak diperbolehkan.  Mengetahui anaknya tidak berada di rumah, Sang Ibu terkejut dan segera bergegas menyusulnya ke pantai. Maksudnya hanya ingin memberi tambahan bekal. Sesuai kesukaan anaknya, Nyai Sunan Muria membawakan pecel lele dan siput yang telah dimasak.
Namun, ketika ia sampai di pantai, sang anak telah berangkat bersama dua pengiringnya. Dengan rasa kecewa akhirnya bungkusan pecel lele dan bungkusan siput dibuang ke laut. Hingga akhirnya pulang ke rumah.
Ketika Amir Hasan sampai di daratan Karimunjawa, ia mulai mencari tempat yang cocok untuk menyebarluaskan agama Islam. Tiba-tiba seekor raja ular menghadangnya. Ular itu bertubuh pendek, berwarna hitam dan sangat berbisa. Ular itu berusaha menggigit Amir Hamzah tetapi tidak mempan. Namun Amir Hamzah sangat marah dan mengutuk ular tersebut menjadi buta. Sampai sekarang jenis ular yang dikenal dengan nama 'Ular Edor' ini, matanya buta dan umumnya tidak mampu untuk bergerak di siang hari.
Konon, kayu yang digunakan Amir Hamzah mengutuk Ular Edor itu ialah Kayu Setigi. Maka tak heran jika Kayu Setigi ini kemudian dipercaya masyarakat Karimunjawa dapat menyerap bisa dari semua binatang, termasuk ular.
Pulau yang terlihat kremun-kremun dari daratan Jawa itu akhirnya menjadi tempat tinggal Amir Hasan dan pohon Nyamplung yang ditanamnya tumbuh subur berkembang biak hingga mengitari pulau. Sampai sekarang masyarakat menyebut Amir Hasan sebagai "Sunan Nyamplungan".Hingga akhir hayatnya  Amis Hasan meninggal dunia di Pulau Karimunjawa.

Makamnya Diatas Bukit
Makam Sunan Nyamplungan terletak di Puncak Gunung Karimunjawa sebelah utara. Di pintu gerbang pemakaman itu terdapat dua buah pohon besar, Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "Kayu Dewa".
Menurut kepercayaan masyarakat di sana sampai sekarang, kayu Dewadaru ini mempunyai khasiat dan bahkan dikeramatkan. Konon, barang siapa menyimpan kayu tersebut di rumah, akan terhindar dari niat orang mencuri dan orang bermaksud jahat lainnya.
Berat jenis Kayu Dewadaru dan Kayu Segiti lebih besar dari air, sehingga jika diletakkan di air kayu tersebut akan tenggelam. Sedangkan Kayu Kalimosodo, konon dapat digunakan untuk menghalau lelembut atau roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Biasanya, kayu ini diisi mantra-mantra oleh "orang-orang pintar" di sana sesuai keinginan pemilik kayu. HUSNU MUFID


Kisah Sunan Andong


Kisah  Sunan Andong Wilis di Tuban

Dari  Madura Nyebarkan Islam di Jawa

Sunan Andong Wilis merupakan salah satu wali yang tidak memiliki nama besar seperti Walisongo. Tapi perannya cukup besar dalam penyebaran agama Islam di  Tuban. Seperti apakah dia sebenarnya. Berikut ini.

Pada zaman dahulu  Tuban merupakan daerah yang sangat terkenal. Oleh karena  itu banyak yang singgahi untuk menyerbakan agama maupun berdagang. Dalam perkembangan selanjutnya banyak yang  tinggal untuk bermukim atau sekadar lewat saja. Salah satunya adalah Sunan Andong Wilis.
Sunan Andong Wilis  merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh yang menyertai perjalanan Wali Songo. Meskipun namanya tidak setenar Walisongo. Tapi memiliki peran yang besar dalam  menyebarkan ajaran idlam ditenah-tengah masyarakat Majapahit yang sedang mengalami kekacauan.
Jatidiri Sunan .Andong Wilis bukan orang Jawa, tetapi berasal dari Madura. Dalam perjalanan ke barat untuk mendatangi putranya yang belajar agama di Bonang. Mengingat dirinya seorang yang  memiliki ilmu pengetahuan agama yang  cukup tinggi.
Ketika berada di Jawa Sunan Andong Wilis  juga menyebarkan ajaran Islam. Dimana waktu itu  tidak banyak orang yang  memeluk agama Islam. Cara berdakwahnya pun  tidak mencaci atau mengkafirkan  orang yang belum masuk Islam, melainkan menyebarkan agama  dengan santun tanpa menyinggung  dan menghilangkan tradisi yang ada di masyarakat yang ada.
Pendekatan tersebut rupanya mendapat simpati masyarakat. Sehingga  jalan dakwahnya tidak  banyak mengalami gangguan. Masyarakat menerima dengan tangan terbuka.
Kemudian ketika terjadi huru hara adanya penyerangan tentara Majapahit di Grersik dan  terjadi pertempuran antara tentara Demak melawan tentara Prabu Girindrawardana. Beliau membela tentara Demak dan terbunuh, dan layon-nya mengambang sampai di Desa Panyuran. Oleh masyarakat, kemudian dimakamkan di pantai Panyuran tersebut.
"Pangeran Andong Wilis berasal dari Pacangan Madura. Menilik nama ini ada kemungkinan yang dimakamkan di situ adalah salah seorang Bangsawan dari Madura," ungkap  R. Soeparmo dalam Catatan Sejarah 700 tahun Tuban.
Warga masyarakat sekitar menyakini sebagai salah satu pejuang yang menyertai para wali menyebarkan Islam di Jawa, khususnya di Tuban. Hingga akhir hayatnya Sunan Andong Wilis  meninggal dunia di  dukuh Kepoh, Desa Panyuran, Kecamatan Palang. Berada di wilayah pantai utara Desa Panyuran.

Makamnya Masih Asli
Kesederhanaan makam tersebut  masih sangat terasa. Masih dalam keadaan aslinya Atap aslinya terbuat dari welit (daun kelapa yang dikeringkan dan ditata rapi) masih ditempatkan di tempat asalnya, meskipun di atasnya sudah diatapi genteng.
Bangunan utama makam juga masih tetap, terdiri dari dua buah makam membujur ke utara, maesan di bagian kepala ditutup kain putih, dan lantai dari pasir laut serta kijing dari bangunan permanen yang sudah lapuk.Untuk memasuki kompleks makam, orang harus melewati pintu di sebelah tenggara yang berukuran kecil, sehingga orang harus membungkuk.
Pendeknya ukuran pintu masuk, dimaksudkan agar orang yang akan masuk berposisi menghormat. Di sebelah selatan makam Andong Wilis dibangun sebuah Masjid, yang diberi nama Masjid Astana Andongwilis.
Tidak seperti makam Sunan Bonang yang mashur,  makam Sunan Andong Wilis sedikit berbeda. Masih memiliki nuansa kekeramatan. Peziarahnya pun masih sedikit.
"Makam ini digolongkan sebagai makam tua atau diperkirakan pada awal Islamisasi di Jawa, yakni di sekitar pemerintahan,"ungkap  Muhyidin sejarawan Tuban. HUSNU MUFID


Sunan Prapen dan Santrinya


Kisah Sunan Prapen Bersama Santrinya

Jalankan Shalat Dikira Ritual Tenung

Sunan Prapen memiliki cukup banyak santri  yang pandai dan sakti. Tapi ada beberapa yang dipercaya menjalankan tugas dengan baik. Siapakah dia. Berikut ini. 
Santri Sunan Prapen yang paling pandai dalam ilmu agama Islam adalah Abdullah anak muda yang berasal dari Cirebon. Karena  kepandaiannya dalam menguasai ilmu agama Islam, menguasai  beberapa kitab dan memiliki keahlian dalam berpidato hendak dijadikan menentu.
Kemudian Abdullah berpamitan kepada Sunan Prapen untuk pulang ke Cirebon menemui  orang tuanya. Guna menyampaikan pesan Sunan Prapen pada ayah dan ibunya agar segera meminang putri Sunan Prapen untuk dirinya.
Dari  Gresik  saat menuju Cirebon singgah dulu ke Dusun Kelating Lamongan untuk melakukan istirahan. Mengingat waktu malam telah tiba. Dusun yang disinggahi itu  masih banyak orang yang belum memeluk agama Islam. Mayoritas masih menyembah  batu, pohon dan beragama Hindu serta Budha. Warganya merupakan sisa-sisa dari  pelarian kerajaan Majapait
Kemudian saat tengah malam melakukan shalat bersama sepupunya dicurigai masyarakat setempat. Karena dianggap sebagai orang asing yang melakukan ritual memanggil roh jahad.  Bahkan dianggap melakukan kegiatan ritual tenung dan menyebarkan ilmu hitam.
Apalagi saat shalat sedang melakukan sujud dianggap menjalankan ritual tenung. Maklum warga Dusun Kelating  tidak tahu kalau gerakan sujud itu merupakan gerakan shalat. Maklum belum beragama Islam. 
Bagi warga Dusun Kelating  Lamongan, gerakan sholat merupakan hal yang aneh bagi masyarakat desa Kelating dianggap sebagai ritual ilmu hitam, bahkan gerakan sujud dianggap seperti celeng (babi Ngempet). Hal ini disebabkan ajaran Islam belum sampai merambah di desa ini, sehingga lihat orang sholat disamakan denga orang sedang melakukan “teloh’ atau santet.
Akhirnya warga setempat semakin yakin kalau Abdullah  sebagai pelaku teluh/ tenung yang dapat meresahkan warga Desa Kelating.  Warga yang sejak lama mencurigai langsung saja melakukan penggerebegan dan pembunuhan. Abdullah terbunuh. Beruntung Sahid bisa meloloskan diri.
Kemudian berita terbunuhnya Abdullah oleh petinggi Desa Kelating telah disampaikan pada Sunan Prapen oleh Sahid yang lolos dari maut akibat keberingasan warga Desa Kelating. Mendengar peristiwa itu Sunan Prapen menyesalkan dan marah kepada petinggi Dusun Kelating. Dan beliau mengutuk warga Kelating sebagai manusia yang gemar “Makan  Daging Celeng”.
Kutukan Makan Babi
Mendengar kutukan dari Sunan Prapen, maka Bagaskarto putra  dari tokoh  dusun tersebut ketakutan. Guna menghindari kutukan, ia berguru kepada Sunan Prapen di Gresik. Selanjutnya Bangaskarto  putra Kyai Kening dari Dusun Kelating, Lamongan itu  tidak mau lagi tinggal di desanya.
Di pondok pesantren  Sunan Praapen Bangaskarto tinggal sekamar dengan Imam Sujono beliau adalah putra Kyai kadim dari Desa Perning Mojokerto. Di pondok ini mereka belajar memperdalam ilmu agama dan kanoragan.
Sebelum Sunan Prapen wafat pada tahun 1605, Bangaskarto dan Imam Sujono diutus untuk membantu Sunan Amangkurat dalam menyelesaikan kemelut dengan Tumenggung Banyumas yang dianggap tidak patuh dengan kebijakan sunan Amangkurat. Ditengah perjalanan menghadap Sunan Amangkurat mereka bertemu dengan kakak beradik yang beranama Salam dan Salim. Hingga akhirnya mereka berempat diberi tugas untuk menangkap tumenggung Banyumas yang sakti mandra guna.
Keberhasilan mereka menangkap Tumenggung Banyumas disambut gembira oleh Sunan Amangkurat, bahkan mereka diberi hadiah begitu banyak, tapi Bangaskarto menolak semua hadiah itu. Dari ratusan kerbau yang diberikan Amangkurat hanya satu kerbau bule kurus sebagai pilihannya untuk dijadikan sampan di atas arus bengawan Solo.
Kerbau kerbau hadiah itu harus diberikan pada rakyat yang membutuhkannya. Karena lelakon yang aneh ini, Sunan Amangkurat memberi julukan pada mereka berempat. Bangaskarto diberi gelar Sindujoyo, imam Sujono mendapat gelar Surogarjiyo, Salam dan Salim masing masing bergelar Tirto Asmoro dan Ening Asmoro HUSNU MUFID


Kisah Sunan Prawoto Raja Demak

Kisah Sunan Prawoto  Menjadi Sultan  Demak Bintoro

Lebih Suka Hidup sebagai Seorang Ulama

Sunan Prawono adalah cucu Raden Patah. Ia menggantikan  ayahnya Sultan Trenggono. Kemudian memindahkan pusat pemerintahannya di Sukolilo Pati. Bagaimanakah  kisahnya. Berikut ini.

Sunan Prawoto memiliki nama kecil Raden Mukmin, atau dalam ejaan China disebut Muk Ming. Ia lahir ketika Sultan Trenggono masih sangat muda dan belum menjadi raja Demak.
Sepeninggal Sultan Trenggono yang wafat, Sunan Prawoto kemudian diangkat menjadi raja Demak menggantikan ayahandanya. Karena sebagai  putra sulung.
Kemudian  memerintah Kerajaan Demak mulai tahun 1546 - 1549. .Raden Mukmin juga memiliki ambisi untuk melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menguasai Pulau Jawa. Namun sayang Raden Mukmin tidak memiliki kemampuan di bidang politik yang mumpuni. "Raden Mukmin lebih suka hidup sebagai seorang ulama dan lebih sering mendekatkan diri pada Allah dalam kehidupannya. Ia raja terakhir atau raja keempat Kerajaan Demak,"ungkap Hamid  Akasa  sejarawan asal Demak.
Kehidupan politik Kerajaan Demak masa Sunan Prawoto ini banyak terjadi pertikaian karena mulai muncul perselisihan untuk memperebutkan tampuk kekuasaan sebagai Raja Demak.
Sunan Prawoto sendiri juga tidak terlalu lama memimpin Kerajaan Demak sebagai raja. Bahkan pernah suatu ketika beliau ingin mengundurkan diri sebagai raja Demak.
Pada masa kekuasaannya, daerah kekuasaan Demak seperti Banten, Cirebon dan Gresik berkembang begitu pesatnya dan seakan diberikan kebebasan tanpa ada pengaturan manajerial sama sekali.
Kehidupan di beberapa wilayah kekuasaan Demak pun satu per satu semakin berkembang menjadi lebih besar dan Demak tak mampu mengontrol daerah kekuasaannya tersebut.
Daerah seperti seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang begitu bebas tanpa kontrol dari Demak, dan sebenarnya ini sangat berbahaya untuk keberlangsungan sebuah Kerajaan.
Pada masa kekuasaannya, Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Demak yang semula di Bintoro lalu dipindah ke Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Cita-cita Sunan Prawroto dalam menguasai Jawa pada akhirnya tidak pernah menjadi kenyataan. Sunan Prawoto lebih sering menjadi seorang ahli agama dari pada menjadi raja untuk melaksanakan cita-citanya.
Selama menjalankan pemerintahan ada Adipati yang   menjadi oposisi secara terselubung.  Yaitu Aryo Penangsang Adipati Jipang Panolan yang berada di  Cepu Blora.
Aryo Penangsang  adalah anak dari Pangeran Sekar Sedo Lepen atau Raden Kikin, kakak dari Sultan Trenggono. Tapi beda ibu. Mengingat Raden Patah istrinya lebih dari satu. 
Aryo Penangsang berani menjadi oposisi  kerajaan Demak saat  diperintah Sunan Prawoto. Karena merasa dendam atas ayahnya yang mati dibunuh utusan Sunan Prawoto.
Kemudian Aryo Penangsang merencanakan pembunuhan  dengan mengirim mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto. Rangkud pun berhasil masuk di kamar Sunan Prawoto pada malam.hari. Namun sebelum Rangkud membunuh, Sunan Prawoto mengakui atas kesalahan yang ia lakukan kepada Raden Kikin ayah  Aryo  Penangsang dan rela dihukum mati.
Raja Terakhir
Dalam dialog itu Sunan Prawoto rela dihukum mati asal keluarganya diampuni. Rangkud pun menyetujuinya dan kemudian menikam dada Sunan Prawoto sampai tembus ke belakang. Dan celaka, ternyata istri Sunan Prawoto berlindung di belakang Sunan Prawoto yang pada akhirnya juga turut meninggal karena ikut tertusuk tikaman dari Rangkud tersebut. Sunan Prawoto pun marah atas kematian istrinya, dengan sisa tenaganya Sunan Prawoto berhasil membunuh Rangkud.
Meninggalnya Sunan Prawono menjadikan kondisi kerajaan Demak Bintoro semakin kacau balau. Bahkan bisa dikatakan sebagai akhir dari masa kejataannya. lambat laun hilang dari muka bumi setelah Ratu Kalinyamat  memberikan Kesultanan Demak kepada Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir atas jasa-jasanya  membunuh secara tidak langsung  Aryo Penangsang di medan perang.
Kemudian Sultan Hadiwijaya   memindahkan Kesultanan Demak Bintoro  menuju Kartasura  dan mengganti nama  menjadi Kesultanan Pajang.  Saat itulah secara  defakto maupun dejure Kesultanan Demak Bintoro berakhir sirno ilang kertaning bumi.  HUSNU MUFID.

Kisah Sunan Giri Menikah

Kisah Sunan Giri  Menikahi Dua  Wanita Sehari

Pagi Nikahi Dewi Karimah, Sore dengani Dewi Wardah

Sunan Giri semasa mudanya  termasuk  orang yang memiliki  akhlak mulia,  tampan dan pintar. Oleh karena itu banyak  para orang tua  yang ingin anaknya dinikahi. Berikut ini kisah pernikahannya.

Keberadaan Joko Samudro atau Sunan Giri di Pondok Pesantren Ampel Denta merupakan i pemuda yang santun  dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Juga  dan kewibawaan bila berada di tengah-tengah masyarakat.  Oleh sang Maha Guru, Sunan Ampel, dia pun diberi gelar Raden Ainul Yaqin.
Kelebihan yang dimiliki Joko Samudro atau Raden Paku menjadikan banyak  wanita yang menyukainya. Ingin menjadi istrinya. salah satunya adalah  Dewi Murtasiyah, putri sulung Sunan Ampel dari istri  terpikat akan kecerdasan yang dimiliki Sunan Giri. Dewi Murtasiyah adalah anak pertama Sunan Ampel dari istri kedua Sunan Ampel, yaitu Dewi Karimah binti Kembang Kuning.
Gayung bersambutpun Sunan Ampel menyetujui  jika Dewi Karimah menikah dengan Joko Samudro cucu menak Sembuyu Raja Blambangan. Maka disiapkan pernikahan keduanya. Easa bahagiapun muncuk diantara   calon kedua mempelai itu.
Tapi  sebelum akad nikah dilaksanakan, mendengar  berita kalau Sunan Giri akan dinikahkan pula dengan  Dewi Wardah, putri Ki Ageng Bungkul atau Sunan Bungkul.
Alasan Joko Samudro  akan dinikahkan dengan Dewi Wardah. Karena  Sunan Giri beberapa hari yang lalu  menemukan buah delima di sungai Kali Mas milik Sunan Bungkul.
Saat itu Sunan Bungkul menazar bahwa kalau ada yang  menemukan buah  Delima yang hanyut disungai, maka akan dijadikan sebagai menantunya. Dimana buah delima tersebut kesukaan Dewi Wardah.
"Oleh karena itu, Sunan Bungkul yang pernah bernazar, jika ada seorang pemuda yang menemukan, akan menjodohkan dengan putri kesayangannya, Dewi Wardah," Drs. Mustofa, Huda, MA dosen UINSA Surabaya.
Mendengar nazar Ki Ageng Bungkul itu, Joko Samudro sempat bimbang melihat situasi dan kondisi  menjelang pernikahannya dengan Dewi Karimah  putri sulung Sunan Ampel. Hari itu  banyak mengucapkan astagfirullah.  Sebab dia akan melangsungkan akad nikah dengan putri gurunya dan tak mungkin dikhianati.
Di tengah kekhawatiran akan gagalnya pernikahannya itu, joko Samudro meminta  nasehat kepada  Sunan Ampel  sebagai calon mertuanya.
Sunan Ampel menasehati agar menerima nazar Sunan Bungkul itu. Dirinya tidak mempermasalahkan  jika nantinya  dalam sehari itu menikahi dua orang gadis. Karena sudah menjadi  takdiri. mengingat jodoh itu berada ditangah Allah SWT.
Nasehat Sunan Ampel
Saat gurunya berkata demikian, Joko Samudro  hatinya merasa tentram. Langsung menyatakan bersedia menikahi dua gadis putri tokoh terkenal di Surabaya. 
Bagi Sunan Ampel selaku  tokoh agama  di Surabaya, menyatakan "Dijawab lagi oleh Sunan Ampel, tidak mempermasalahkan. Sehari dua kali menikah. tetap sesuai syariat islam. Karena  bukan kehendak Joko Samudro  sendiri. Bukan karena nafsu, Itu sudah menjadi takdir Gusti Allah.
Juga kedua gadis yang akan dinikahi  Joko Samudro  tidak mempermasalahkan. malahan merasa senang. Karena zaman dahulu menjadi istri  kedua atau ketiga merupakan sebuah kebanggan tersendiri. bahkan mendapat pahala surga.  Masyarakatpun tidak mempermasalahkan jika Sunan Giri menikah dengan dua orang gadis dalam sehari. Bukan aib, melainkan sebuah kehormatan.
Dan akhirnya, dalam sehari Sunan Giri menikah dengan dua gadis jelita sekaligus. Pagi hari menikah dengan Dewi Murtasiyah Karimah, setelah Azar dengan Dewi Wardah. HUSNU MUFID

Sayyidah Al Hababah Hodijah di Bangil


Kisah Syarifah Al Hababah Khadijah Putri Sunan Gunung Jati

Tugas Dakwah Gantikan Sunan Ampel di Bangil

Bangil merupakan salah satu kota tua di Jawa Timur. Zaman dahulu  banyak penyebar agama Islam  berdatangan.  Di antaranya  adalah Syarifah Al Hababah Khadijah. Yang mendapat tugas berdakwah dari ayahnya, Sultan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia mendapat sebutan wanita penyebar agama Islam. Berikut ini kisahnya.

Syarifah Al Hababah adalah salah seorang putri Sunan Gunung Jati, Sultan Kerajaan Cirebon. Sejak kecil telah mendapat didikan agama Islam  dari ayahnya. Karena itulah, ia tumbuh sebagai seorang putri yang alim dan berpengetahuan agama yang luas, bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya.   
Setiap hari, Syarifah Al Hababah lebih suka berdiam diri di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Baik siang maupun malam, untuk melakukan ibadah. Guna mempraktikkan ilmu yang diajarkan ayahnya setiap usai salat Subuh.  
Menginjak usia dewasa, ia membalut tubuhnya dengan kain panjang dan rambutnya ditutup dengan jilbab. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslimah. Selain itu, memberikan contoh kepada wanita-wanita muda untuk berkerudung. Karena pada waktu itu jarang sekali wanita muda yang berkerudung.
Kemudian tiap bulan, ia selalu mengadakan pengajian-pengajian keliling desa. Jamaahnya adalah kaum wanita tua dan muda. Dalam dakwahnya menggunakan pendekatan bil hikmah. Artinya, dengan menggunakan dalil Alquran dan Hadist yang tidak terlalu keras. Sebagaimana yang dilakukan para sufi di Timur Tengah. Karena yang didakwahi wanita-wanita yang masih awam terhadap ajaran Islam.
Setelah sekian lama berdakwah di Cirebon, maka sang ayah Sultan Syarif Hidayatullah menyarankan agar pergi ke kota Bangil untuk menyebarkan agama Islam. Sebagai pengganti  Sunan Ampel yang telah lama meninggalkan kota tersebut menuju Surabaya. Dengan harapan, nantinya penduduknya tetap memeluk agama Islam.
Saran itu dilaksanakan, maka pergilah Syarifah Al Hababah Khadijah menuju ke Bangil bersama putranya. Yaitu Syarif Sulaiman. Di tempat yang baru inilah ia melakukan dakwah Islam. Tidak ada hambatan dalam dakwahnya. Karena masyarakat telah mengenal ajaran Islam sejak datangnya Sunan Ampel.
Pada waktu senggang, saat tidak melakukan aktivitas dakwah, Syarifah Al Hababah Khadijah melakukan mujahadah di dalam rumahnya yang berada di samping alun-alun kota Bangil. Waktunya lebih banyak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bila tiba bulan Ramadan, ia selalu menyempatkan diri berdakwah keliling kampung Bangil dan mengadakan pengajian di rumahnya. Kaum wanita banyak yang berdatangan untuk mendengarkan siraman rohani dan menanyakan berbagai macam problema.
Bagi kaum wanita waktu itu, keberadaan putri Sunan Gunung Jati ini sangat dibutuhkan. Karena waktu itu tidak ada dai wanita. Yang ada hanya kaum laki-laki. Oleh karena itu, mereka menyebut dengan sebutan wanita penyebar agama Islam.
Ia melakukan dakwah Islam menggantikan Sunan Ampel yang  telah pindah di Surabaya. Dalam dakwahnya tidak banyak mengalami kesulitan. Karena  sudah banyak yang masuk Islam masyarakatnya. 
Hingga akhir hayatnya, ia tinggal di Bangil. Lokasinya  tidak jauh dari Masjid  Jamik Bangil. Persisnya di depan alun-alun.
Makam Syarifah  Al Hababah Khadijah berada dalam komplek makam islam yang jumlahnya cukup banyak. Namun dalam perkembangannya makam yang cukup banyak itu dihilangkan  dengan berdirinya  Gedung Kesenian Lekra Anderbou PKI. Kemudian  tahun 70 an  beruvah menjadi pasar. Kini  hanya tinggal beberapa makam saja yang masih ada. Makam tersebut berada dibelakang pasar. 
Sepeninggal Syarifah  Al Hababah Khadijah, dilanjutkan perjuangan dakwahnya oleh putranya Syarif Sulaiman.
Kemudian setelah  Bangil  masyarakatnya telah masuk Islam semua, Sayyit Sulaiman  pergi berdakwah di Probolinggo. Karena, pada waktu itu masyarakatnya masih belum memeluk agama Islam. Beberapa tahun kemudian mendirikan pondok pesantren, yang kini terenal dengan nama Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Setelah itu melanjutkan perjalanan  menuju ke Surabaya dan mendirikan  Pondok Pesantren Sidosermo. Beberapa tahun kemudian menuju ke Mojoagung hingga akhir hayatnya. HUSNU MUFID.

Minggu, 17 September 2017

Kisah Sunan Purwo


Kisah Sunan Purwo dari Kerajaan Galuh Sunda
Menyebarkan Islam sebelum Datangnya Walisongo

Sunan Purwo merupakan  seorang pangeran  yang kemudian menjadi seorang raja. bahkan sebagai orang yang pertama menyebarkan ajaran Islam sebelum datangnya Syekh datul Kahfi dan Sunan Gunung Jati. bagaimana kisahnya. Berikut ini. 

Nama Sunan Purwo adalah Pangeran Bratalegawa adalah pemeluk agama islam yang pertama di  kerajaan Galuh Jawa Barat.  Ia merupakan putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371) di Sunda.
Sejak kecil memang suka  berhitung dan melakukan perjalanan jauh. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu perdagangan. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang  suka belajar ilmu kanoragan.
Oleh karena itu, ia sering turun  ke desa-desa  untuk berdagang. Bahkan ikut berlayar bersama  punggawa kerajaan Galuh. Ia melihat banyak orang-orang Arab yang berdagang di pinggir pantai. Kemudian ia  belajar dan mempraktekkan ilmu perdagangannya. bahkan  menjadi seorang saudagar yang kaya raya.  
Dengan demikian, Pangeran Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar daripada menjadi seorang ahli pemerintahan.
Kemudian  ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Hal ini karena  Sunda dan Cirebon menjadi pusat pelabuhan internasional. Dimana seluruh bangsa asing singgah di pelabuhan tersebut guna melakukan kegiatan berdagang. 
Perjalanan  yang disukai pageran  Galuh  adalah ketika berlayar di negeri Arab.  Karena waktu itu Arab telah menguasai perdagangan dunia. Khususnya diwilayah laut.
Diantara kesibukannya  i a menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam.
Perkawinan inilah yang menjadika ia  menunaikan Ibadah Haji. Sejak itulah menjadi muslim yang taat dan menyebarkan agama Islam dimanapun berada, baik dalam lingkungan istana kerajaan maupun  lingkungan masyarakat.
Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Sunan  Purwa. Orang-orang lingkungan keraton menyebutkan demikian itu. Istilahnya orang yang terhormat didalam bidang agama Islam.
Setelah menunaikan ibadah haji, Sunan Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi untuk melakukan dakwah.
Orang yang didakwahi pertama kali adalah  nemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.
Baginya tidak mempermasalahkan kalau  kakaknya tidak mau memeluk agama Islam. Masih ada jalan lain untuk melakukan penyebaran  agama Islam diwilayah Sunda. Sebab strategi dakwah 1000 macam.
Ditengah-tengah menjalankan dakwah yang begitu sulit, Ia mendapat tugas  menduduki jabatan sebagai seorang raja menggantikan kakaknya. yaitu  Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.

Memberi Tanah Wali
Baginya menjadi raja merupakan kesempatan untuk melaksanakan  penyebaran Islam di tanah Sunda lebih intensif lagi. Oleh karena itu, setelah ia menjadi raja di kerajaan Sunda mebuka lebar-lebar  kedatangan  ulama-ulama dari  Persia setelah tinggal cukup lama di kerajaan Malaka.
Sejak  Sunan Purwa menjadi raja banyak saudagar-saudagar dan ulama muslim  tinggal di  kerajaan Galuh dan Cirebon. Mereka tidak dilarang menyebarkan ajaran Islam secara terang-terangan. Bahkan diberi tanah perdikan sebagai pusat  penyebaran agama Islam.
Dari  pemberian dan kelonggaran  penyiaran agama Islam di kerajaan Galuh inilah, makin lama kelamaan banyak keluarga. Diantaranya Raden Walangsungsang, Rarasantang dan masyarakat Cirebon. HUSNU MUFID  

.

Sunan Kuning Tulungagung



Kisah Sunan Kuning Menyebarkan Islam di Tulungagung
Mengislamkan Penyembah Batu dan Pohon
Zaenal Abidin merupakan tokoh penyebar agama Islam  di kawasan barat dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Masyarakat luas menyebutnya dengan sebutan Sunan Kuning. Siapakah dia sebenarnya. Berikut ini kisahnya. 

Nama asli Sunan Kuning adalah  Zainal Abidin berasal dari Jawa Tengah. Ketika usia muda    nyantri di Pondok  Pesantren yang dipimpin Kiai Mohammad  Besari, tokoh ulama yang cukup ternama dan disegani asal Jetis, Ponorogo. Waktu itu iam mendapat  tanah perdikan dari Sunan Pakubuwono II dari Keraton Surakarta.
Selama menjadi santri, termasuk santri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Karena mampu menguasai ilmu agama Islam secara  menyeluruh mulai tafsir, hadis, al qur'an dan kitab-kitab kuning.
Usai menuntut ilmu di Kota Reog, itu Sunan Kuning diberikan tugas atau amanat untuk menyebarkan agama Islam di daerah timur. Yakni, Tulungagung dan sekitarnya, termasuk Blitar dan Kediri. Karena 3 daerah tersebut masih banyak  yang belum memeluk agama Islam. mengingat dulunya merupakan wilayah kekuasaa kerajaan Kediri dan Majapahit.
Zainal Abidin diyakini menginjakkan kaki di Tulungagung sekitar tahun 1727 silam. Kedatangannya beliau dikuatkan oleh sumber  dari  buku Sejarah dan Babat Tulungagung yang diterbitkan di oleh Pemkab Tulungagung,
Perlu diketahui bahwa, sebelum Desa Macanbang seperti sekarang ini, dulunya merupakan kawasan hutan belantara yang sangat angker. Selain dihuni banyak binatang buas, juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus yang amat menyeramkan. Saking angkernya, tidak setiap manusia berani merambahnya. Ibaratnya, jalma mara, jalma mati. Artinya, siapa yang berani merambah hutan ini, hampir bisa dipastikan akan pulang tinggal nama
"Di daerah Tulungagung pada waktu tersebut, masih hutan belantara. pohon-pohon besar masih banyak.Sehingga memungkinkan untuk warga mengkeramatkan hingga melakukan penyembahan. Hal itulah yang memicu hati Sunan Kuning untuk meluruskan,"ungkap Kiai Suud salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Fatah Tulungagung..
Kedatangannya di Tulungagung  Zaenal Abidin diikuti santri-santrinya mengajarkan kepada warga Tulungagung dan sekitar, untuk memeluk agama Islam secara utuh. Tetapi ada saja halangan. Termasuk hinaan atau dipandang miring dari masyarakat yang belum memeluk agama Islam. Bahkan ada penentangan secara halus.
Halangan dan hinaan tidak membuat Sunan Kuning menyerah begitu saja. ia tetap terus menyebarkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat yang masih menyembah batu dan pohon.
Model dakwahnya dengan cara-cara yang santun. Lebih banyak  memberikan contoh daripada berbicara. kalau berbicara hanya dengan santri-santrinya yang belajar kepadanya. Tidak ada  cacian maupun hujatan kepada pemeluk agama dan keparcayaan lain. Hingga akhirnya banyak umat Islam yang memeluk agama Islam.
Setelah banyak pengukutnya, Sunan Kuning mendirikan sebuah masjid untuk kegiatan belajar agama Islam dan shalat berjamaah. Saat itupula  kondisi umat Islam mulai tertata dan tidak ada yang menghalangi di daerah Bonorowo waktu itu.   Masjid Macanbang sendiri dibangun tanpa kubah, juga tanpa menara. Atapnya seperti kebanyakan bangunan joglo. Hanya saja bersusun tiga. Sepintas, seperti masjid zaman kerajaan Demak.
Dulu, di depan masjid terdapat kubahan batu besar yang menyerupai kolam. Bahkan, tembok-tembok pagar batu bata mirip batu candi yang berukuran besar. Tembok pagar tersebut hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Sementara kubangan kini telah tiada.
Di masjid, juga terdapat bebera  benda kuno yang diperkirakan peninggalan Sunan Kuning. Benda-benda yang dimaksud, antara lain berupa mimbar tempat berkhotbah, dampar un­tuk tadarusan, kentongan serta bedhug. Benda-benda ini, hingga sekarang masih bisa didapati. Hanya saja, un­tuk mimbar tempat ber­khotbah dan dampar untuk tadarusan, warnanya sudah tidak asli lagi. Kesannya, baru dicat dengan warna hijau.
Selama sekian tahun berdakwah di  Tulungagung akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di belakang masjid. di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang. Tulungagung.
Makamnya
Makam Sunan Kuning dalam perkembangannya menjadi salah satu tempat yang ramai diziarahi. Terutama di malam Jumat Legi. Tak hanya dari Tulungagung dan sekitarnya, tetapi juga dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maklum, Zainal Abidin konon berasal dari Jawa Tengah
Makam Sunan Kuning nyaris tak pernah sepi dari peziarah. Menurut Dulgani, hampir setiap hari peziarah itu selalu ada. Hanya saja, jumlahnya tidak pasti. Di hari-hari tertentu, memang terjadi lonjakan peziarah. Ledakan pengunjung ini, biasa terjadi pada malam Jumat Legi atau pada tanggal 1 Suro. Para pe­ziarah itu datang dari berbagai pen- juru daerah untuk ngalab berkah.
Makam Sunan Kuning dan para pengikutnya sendiri berada dalam sebuah bangunan cungkup. Untuk menziarahinya, seseorang harus melalui sebuah pintu khusus. Di- katakan pintu khusus, karena tinggi pintu cungkup tersebut tidak lazim. Saking tidak lazimnya, peziarah ha­rus membungkuk untuk bisa melewati pintu tersebut. HUSNU MUFID

Senin, 04 September 2017

Sunan Mageling Sakti


Kisah Sunan  Arifin Syam Mencari Guru Sejati

Diperintah  Nabi Khidir Berguru ke  Jawa .

Sunan Arifin Syam adalah seorang pemuda ingin mencari guru. Tapi tidak ada  yang bersedia menjadi gurunya. Hingga akhirnya menemukan seorang guru di Pulau Jawa. Berikut ini kisahnya.

Arifin Syam adalah putra dari kepala bagian pembesar istana dibawah kekuasaan Raja Hut Mesir. Beliau sejak bayi telah ditinggalkan oleh ayah bundanya kehadirat Allah SWT. Nama Arifin Syam sendiri diambil dari kota dimana beliau dibesarkan kala itu yaitu Negara Syam.
Dalam keumuman manusia seusianya, Arifin Syam dikenal sangat pendiam namun pintar dalam segi bahasa bahkan saking pintarnya beliau sudah terkenal sejak usia 7 tahun dengan panggilan sufistik kecil dikalangan guru dan pendidik lainnya. Karena pintar inilah beliau banyak diperebutkan kalangan guru besar diseluruh negara bagian Timur Tengah, dan sejak usia 11 tahun beliau telah menempatkan posisinya sebagai pengajar termuda diberbagai tempat ternama seperti  Madinah, Mekkah, Istana Raja Mesir, Masjidil Aqso Palestina dan berbagai tempat ternama lainnya.
Di usia 30 tahun beliau diambil oleh Istana Mesir dan menjadi panglima perang dalam mengalahkan pasukan Romawi dan Tartar.
dengan menggunakan rambutnya. yang seperti kawat baja.
Kisah kesaktian rambutnya mulai mashur di usia 32 tahun dan pada usia 34 tahun beliau bertemu secara yakodho / lahir dengan Nabiyullah Hidir AS yang mengharuskan beliau mencari guru mursyid sebagai pembimbingnya menuju maqom kewalian kamil. Kisah pertemuan dengan Nabiyullah  Hidir AS membuat beliau meninggalkan istana Raja Mesir. 
Dengan perbekalan makanan dan ratusan kitab yang dibawanya, Arifin  Syam  mulai mengarungi belahan dunia dengan membawa perahu jukung (Perahu getek) seorang diri, beliau mulai mendatangi beberapa ulama terkenal dan singgah untuk mengangkatnya menjadikan muridnya. Namun walau begitu banyaknya para Waliyullah yang beliau datangi, tidak satu pun dari mereka yang menerimanya, mereka malah berbalik berkata "Sesungguhnya akulah yang meminta agar menjadi muridmu wahai sang Waliyullah"
Dengan kekecewaan yang mendalam, Arifin Syami mulai meninggalkan mereka untuk terus mencari Mursyid yang diinginkannya hingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang pertapa sakti bangsa Sanghiyang bernama Resi Purba Sanghiyang Dursasana Prabu Kala Sengkala di perbatasan sungai selat Malaka.
Dengan perkataan sang Resi barusan, Arifin  Syam sangat senang mendengarnya dan setelah pamit beliaupun langsung meneruskan perjalanannya menuju pulau Jawa.
Setelah sampai dilaut pulau Jawa, beliau akhirnya singgah disalah satu pedesaan sambil tiada hentinya bertafakkur memohon kepada Allah SWT, untuk cepat ditemukan dengan Mursyid yang diinginkannya, tepatnya pada malam jum’at kliwon ditengah heningnya malam yang sunyi tiba-tiba beliau dikejutkan oleh suara uluk salam dari seseorang "Assalamu’alaikum Ya Akhi min Ahli Wilyah" lalu beliau pun dengan gugup menjawabnya " Wa’alaikum salam Ya Nabiyulloh Hidir AS yang telah membawaku ke pintu Rohmatallil’alamiin.
Lima tahun sudah Ananda mencari riddhoku dan kini ananda telah mencapainya, datanglah ke kota Cirebon dan temuilah Syarif Hidayatulloh, sesungguhnya dialah yang mempunyai derajat raja sebagai Maqom Quthbul Mutkhlak, terang Nabiyulloh Hidir AS, sambil menghilang dari pandangannya. Dengan semangat yang menggebu beliau langsung mengayuh jukungnya menuju kota Cirebon yang dimaksud, sedangkan ditempat lain Syarif Hidayatulloh / Sunan Gunung Jati yang sudah mengetahui kedatangan Moh. Syam Magelung Sakti lewat Maqomnya saat itu beliau langsung mengutus uwaknya sekaligus mertuanya Mbah Kuwu Cakra Buana untuk menjemputnya di pelabuhan laut Cirebon.
Sesampainya ditempat dimana Sunan Gunung Jati memerintahkannya. Mbah Kuwu tidak langsung menghadapkannya kepada Kanjeng Sunan, melainkan mengujinya terlebih dahulu, hal semacam ini bagi pemahaman ilmu tauhid disebut "Tahkikul ‘Ubudiyyah Fissifatir Robbaniah / meyakinkan seorang Waliyulloh pada tingkat ke Walian diantara hak dan Nur Robbani yang dipegangnya.
Setelah Moh. Syam sudah berada dihadapan Mbah Kuwu Cakra Buana, beliau langsung uluk salam menyapanya " wahai kisanak, taukah anda dimana saya harus bertemu dengan Sunan Gunung Jati? namun yang ditanya malah mengindahkan pertanyaannya dan balik bertanya.. " sudahkah kisanak sholat dhuhur, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh? terang Mbah Kuwu.
Ditanya seperti itu Moh. Syam langsung mengangguk mengiyakan bahwa memang dirinya belum melaksanakan sholat dhuhur, lalu Mbah Kuwu mengambil satu bumbung kecil yang terbuat dari bambu "Masuklah dan sholat berjamaah denganku" Sambil terheran-heran Moh. Syam mengikuti langkah manusia aneh dihadapannya yang tak lain adalah Mabh Kuwu Cakra Buana, masuk kedalam bumbung bambu yang ternyata dalamnya sangat luas dan bertengger Musholla besar yang sangat anggun, setelah usai sholat Mbah Kuwu mengajaknya  menuju kota Cirebon, namun sebelum sampai ketempat tujuan atas hawatif yang diterimanya dari sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu memotong rambutnya dan langsung menghilang dari hadapan Arifin Syam. HUSNU MUFID


Sunan Kalijogo Naik Haji



Kisah Sunan Kalijaga Gagal Naik Haji‎

Ditengah Perjalanan Dihentikan Nabi Khidir

Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang merakyat. Setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng. Kemudian berkeinginan  menunaikan ibdah haji ke Makkah. Namun tidak jadi karena nabi Khidir melarangnya sebelum memiliki ilmu agama islam  secara sempurna. Berikut ini 

Suatu hari  Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan Mekkah yang sejati ada dalam diri sendiri.
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke kiblat  yang ada di dalam diri. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga.
Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat Akulah sejati. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, Jagad Walikan Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai kebaikan dan kebenaran  masihlah pemahaman  yang dangkal. Apa yang kita anggapter baik didunia ternyata tidak ada apa-apanya dan sangat rendah nilainya.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat.
Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah bertawaf berkeliling ke rumah Allah, berkeliling bahkan masuk ke Aku Sejati dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di Kakinya Yang Mulia. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai Insan Kamil yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Selanjutnya  Nabi Khidir. Kanjeng Nabi Khidir berkata kepada Sunan kalijaga,  Matahari berbeda dengan Bulan. Perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat ( melihat dengan mata telanjang ) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata.
Maka dari itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, asli dari  Allah. Sesungguhnya Allah itu, allah yang hidup. Segala afalnya (perbuatanya) adalah bersal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati. Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairat (mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuked ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.

Menerima Ilmu Hakekat
Sunan Kalijaga berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT. Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa meserangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuat’ Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir. HUSNU MUFID

























Sunan Kalijogo dan Ki Ageng Pemanahan

Kisah Sunan Kalijaga Diawal Berdirinya Kerajaan Mataram

Sarankan Hutan Mentaok Diberikan  Ki  Pemanahan

Sunan Kalijaga merupakan  seorang wali yang memiliki usia cukup panjang. Hingga akhirnya ikut andil dalam mendirikan  kerajaan Mataram di hutan mentaok  hadiah dari Sultan Hadiwijaya  dari Kesultanan Pajang. Bagaimanakah kisahnya.
Setelah perang berakhir dan kerajaan Pajang berdiri, bukannya Ki Pamanahan resah bercampur kecewa. Bumi Mentaok sebagai hadiah sayembara dalam mengalahkan Aryo Penangsang belum juga diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya,
Sultan Pajang. Sultan terkesan mengulur, menunda-nunda atas pemberian hadiah tersebut. Padahal, tanah Pati yang menjadi satu paket dalam hadiah sayembara tersebut sudah diserahkan ke Ki Penjawi, sepupu Ki Pamanahan.
Ki Pamanahan benar-benar sangat kecewa, karena kesetiaan, pengabdian yang selama ini ia lakukan seolah-olah diabaikan begitu saja oleh Sultan Hadiwijaya. Pengorbanan demi kewibawaan Kasultanan Pajang yang ia lakukan tatkala tidak satupun orang Pajang yang berani melawan Aryo Penangsang, Adipati Jipang yang sakti mandraguna.
Meskipun sangat kecewa, Pamanahan tidak mau melakukan pemberontakan pada Hadiwijaya. Dia lebih memilih bertapa di dusun Kembang Lampir guna mendekatkan diri pada Tuhan demi meminta keadilan atas nasibnya.
Sunan Kalijaga seorang waliyullah anggota Dewan Wali Songo mengetahui kesedihan Pamanahan tersebut. Sang Sunan yang menjadi panutan masyarakat Jawa tersebut kemudian menjadi mediator mempertemukan Pamanahan dengan Hadiwijaya. Hadiwijaya akhirnya menyerahkan bumi Mentaok pada Pamanahan dengan syarat Pamanahan mengucapkan sumpah-setia pada Pajang.
Setelah mendapatkan hutan Mentaok berkat campur tangan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan mengajak 150 orang Selo migrasi ke hutan Mentaok. Sebelum menuju Mataram, mereka ijin dulu ke Pajang. Dalam perjalanan, mereka mampir di Dusun Taji. Oleh sesepuh desa Taji, Ki Ageng Karang Lo, rombongan Selo itu mendapatkan jamuan makan yang memuaskan. Sebagai bukti kesetiaan, Ki Ageng Karang Lo mengantar rombongan Selo hingga hutan Mentaok. Di tengah perjalanan, mereka bertemu Sunan Kalijaga yang sedang mandi di sungai.
Ki Pamanahan dan Ki Ageng Karang Lo segera mendekat dan mencuci kaki Guru Agung Tanah Jawa tersebut. Karena kebaikan keduanya, maka Sunan Kalijaga berkata, “Anak keturunan Karang Lo kelak akan hidup mulia bersama anak turunan Pamanahan, tapi tak boleh menyandang gelar “Raden” atau “Mas”, dan tidak boleh menaiki tandu.”
Sampailah rombongan Selo itu di hutan Mentaok. Dengan kerja keras tiada henti, hutan lebat itu diubah menjadi pemukiman yang ramai, Mataram namanya. Sebuah dusun yang kaya akan hasil beras dan kayunya. Ki Pamanahan diangkat sebagai sesepuh Mataram dengan gelar Ki Ageng Mataram.
Kemudian Ki Pamanahan memberikan wasiat kepada sanak-kerabatnya, diantaranya: jika anak-cucunya berkuasa, agar menempatkan posisi secara mulia kepada kerabat Mataram (Selo) yang telah mbabat alas hutan Mentaok menjadi Mataram. Kedua, kalau suatu saat Mataram akan ekspansi ke Bang Wetan (daerah pesisir Jawa Timur) hendaknya dilakukan pada hari Jum’at Pahing bulan Muharram, sama dengan hari penghadapan Sunan Giri di Japanan. Ketiga, dalam penaklukan Bang Wetan hendaknya tidak melewati Gunung Kendeng.
Tidak lama kemudian Ki Ageng Mataram jatuh sakit. Dia akhirnya wafat tahun 1584. Sebelum meninggalnya, Ki Ageng Mataram kembali memberikan wasiat; menitipkan anak-anaknya ke Ki Juru Martani, sepupu sekaligus iparnya. Kedua, menunjuk Sutawijaya, Raden Ngabehi Loring Pasar untuk menggantikan keududukannya. Ketiga, agar Sutawijaya tetap mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Mataram. Keempat, agar anak-anaknya yang lain (Raden Jambu, Raden Santri, Raden Tompe, dan Raden Kedawung) patuh dan taat pada Ki Juru Martani

Topo Ngeli
Sepeninggal Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pamanahan), Sutawijaya memimpin Kademangan Mataram. Kemudian melakukan  melakukan tapa ngeli dengan mengikat tubuhnya pada sebilah papan dari kayu jati tua (Tunggul Wulung), dia membiarkan tubuhnya terhanyut di Kali Opak  Kemudian naik di atas ikan Olor yang dulu pernah diselamatkannya dari seorang nelayan. Begitu sampai di Laut Kidul, Senopati berdiri tegak di tepian ombak lautan kidul itu.
Datanglah ombak besar, angin menderu membuat gelombang badai. Selama tujuh hari tujuh malam badai itu berlangsung. Senopati tetap tegar berdiri melanjutkan tapanya. Melihat hal tersebut, datanglah Sunan Kalijaga, Wali Agung Tanah Jawa.
Wali anggota Dewan Wali Songo tersebut menasehati Senopati agar tidak sombong dengan memamerkan kesaktiannya seperti itu karena Allah bisa tidak suka. Senopati mengajak Sunan Kalijaga karena sang Sunan ingin melihat kemajuan Mataram. Sesampai di Mataram, Sunan Kalijaga menasehati agar Senopati membangun pagar rumah sebagai bentuk ketawakalan kepada Allah. Sang Sunan juga menyarankan agar Senopati  membuat pagar bumi jika akan mendirikan rumah. Juga Sunan menyarankan agar rakyat Mataram membuat batu bata sebagai bahan membangun kota raja.
Sunan Kalijaga kemudian mengambil tempurung berisi air. Dituangkanlah air itu seraya berkeliling dan berdzikir. Sang Sunan berpesan, “ Kelak jika engkau membangun kota, maka ikutilah tuangan airku ini”. Sang Sunan kemudian berpamitan  HUSNU MUFID