Senin, 11 Desember 2017

Sunan Muria dab Rakyat Jelata



Kisah Sunan Muria Berdakwah di Masyarakat Nelayan

Mantra dan Sesaji Diganti  Tahlil

Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said. Dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung. Berikut ini kisahnya. 

Nama Sunan Muria sendiri diambil dari nama Gunung Muria, yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah. Ia sendiri tinggal di gunung tersebut bersama istri dan murid-muridnya. Dari atas gunung, Sunan Muria hampir setiap hari harus naik-turun jalan kaki guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk yang berada  dibawah Gunung Muria. Karena   tidak menggunakan kuda.
Kemudian Sunan Muria  berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang sebagai sasaran utama. Selama berdakwah  kondisi tubuhnya cukup prima dan sehat. Karena dari atas gunung menuju pantai dan pasar yang banyak dihuni masyarakat.
Metode dakwahnya menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Cara tersebut  tidak sampai menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat yang masih menganut agama leluhurnya.
Adapun sarana yang digunakan adalah dengan menggunakan  kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Sebab waktu itu  merupakan alat komunikasi yang sangat strategis untuk menyampaikan dakwahnya. Oleh karena itu, beliau menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Selain itu, ada tiga macam kesenian digunakan Sunan Muria  untuk menyiarkan Islam itu sendiri. Kesenian yang dimaksud adalah Tembang, Gending dan Wayang Kulit. Seperti lakon carangan atau karangan sendiri yang tidak bersumber kepada buku Mahabrata. Lakon-lakon itu adalah : Dewa Ruci, Jimat Kalisada, Petruk Dadi Raja, Pandu Pragola, semar Ambarang Jantur, Mustaka Weni, Sekutrem Yasa Pustaka, Begawan Ciptaning, Obong Bale Sigala-gala, Wahyu Widayat, Kresna Gugah dan sebagainya.
"Oleh karena itu, Sunan Muria termasuk wali  yang paling keras mempertahankan kesenian Jawa agar tetap berlangsung dan bahkan bisa diunakan sebagai media da’wah," ungkap Solihin Salam sejarawan asal Kudus. Ketika  Sunan Muria  menghadapi adat istiadat masyarakat setempat Seperti selamatan. Misalnya bila salah seorang anggota keluarga ada yang meninggal dunia, maka mereka akan mengadakan selamatan dan menyediakan sesajen untuk si mati.
Selamatan tersebut sering disebut dengan istilah Kenduri atau Kenduren. Ada upacara selamatan yang dilaksanakan menjelang jenazah si mati iberangkatkan ke kuburan. Ada yang dilaksanakan seudah menguburkan mayat. Jaman dahulu ( Hindu-Biddha, Animisme dan Dinamisme ).

Warna Islam
Kalau saja ada orang mati pihak keluarga di rumah akan menyediakan sesajen di kuburan. Ada istilah selamatan Ngesur Tanah (Kenduren setelah mengubur mayat). Ada istilah Nelung Dinani (Kenduren setelah tiga hari mengubur mayat). Ada istilah Pitung Dinani(Kenduren setelah tiga hari mengubur mayat). Ada istilah Matang Puluh, Nyatus Dino, Mendhak Pisan, Mendhak Pindo, dan istilah NYewu atu seribu harinya si mayat.
Maka Sunan Muria memberinya warna Islam. Dengan demikian tidak terjadi kontradiksi di dalam masyarakat. Warna Islam yang dimaksud adalah upacara yang sekarang disebut Tahlil, yaitu niatnya bersedah untuk si mati dengan cara membacakan kalimat Tayyibah, serta ayat-ayat AlQur’an. Ini dimaksudkan untuk mengganti do’a mantra yang biasa diucapkan para pendeta.
Sedang pahalanya diberikan kepada orang yang mati. Kalau acara selamatan itu lansung dihilangkan atau diberantas rakyat pasti akan marah karena masih belum mengerti dengan dalam syariat dan aqidah islam yang sesungguhnya. Maka selamatan boleh tetap diadakan namun upacara membakar kemenyan dan membuat sesajen dihilangkan. Diganti dengan bacaan dzikir dan ayat-ayat Al-Qur’an serta shalawat Nabi. Demikian pula adat selamatan bila si ibu mengandung maupun melahirkan bayi. Hal itu diberi warna Islam. Biasanya dengan cara membaca shalawat Nabi. HUSNU MUFID



0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat