Selasa, 23 Mei 2017

Syekh Datul Kahfi dan Syekh Siti Jenar


Kisah Syekh Datul Kahfi Menjadi Maha Guru di Gunungjati Cirebon

Mengajarkan Ilmu dari Dalam Gua

Nama asli Syekh Datul Kahfi adalah Syekh Nurjati. Ia merupakan pelopor penyebar agama Islam di wilayah Jawa Barat. Pusat dakwahnya di Gunung Jati Cirebon. Syekh Datuk Kahfi juga leluhur dari raja-raja Sumedang karena merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat. Berikut ini kisahnya 

Syekh Datuk Kahfi lahir di Semenanjung Malaka yang dikenal juga dengan nama asli Idholfi Mahdi dan Syekh Nuruljati. Putra dari Syekh Datuk Ahmad. ulama ternama di kerajaan Malaka.
Sejak kecil tinggal di kerajaan Malaka dan mendapat didikan agama Islam oleh ayahnya melalui pendidikan di pondok pesantren yang dilimiki ayahnya. Kitab-kita klasih bertuliskan huruf arab pegon khas melayu dipelajari hingga  hatam.
Menginjak usia dewasa  dewasa pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Karena waktu itu  kedatangan  pemuda-pemuda  dari Malaka  bukan hanya berhaji saja, melainkan belajar Ilmu agama. mengingat Masjid Makkah menjadi pusat kajian  dan belajar agama Islam.
Setelah menamatkan pendidikan di  masjid Makkah, kemudian menuntut ilmu ke kota Bagdad Irak. Karenba merupakan pusat ilmu pengetahuan dan banyak ulama yang mengajarkan  agaa islam tingkat tinggi. Dikota tersebut ia  menemukan  jodohnya dengan Syarifah Halimah. Dari perkawinannya  dikaruniai  putra putri yang ganteng dan cantik.
Di Kota Bagdad Syekh Datuk Kahfi  termasuk ulama yang  cukup terkenal. Sehingga Sultan mengenalnya dengan baik. Untuk itulah, ia  diutus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah Jawa. Khususnya daerah Cirebon Jawa Barat. Karena didaerah tersebut  masih belum ada yang memeluk agama Islam.
Kemudian Syekh Datuk Kahfi yang berangkat bersama rombongan dari Bagdad sebanyak sepuluh pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati Cirebon, sebuah pelabuhan yang cukup terkenal hingga di  negeri Arab. . Rombongan ini diterima Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar 1420 M dengan tangan terbuka. Bahkan dianggap sebagai  tamu kehormatan dari negeri asing. 
Kemudian Syekh Datuk Kahfi mendapatkan izin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati. Bukit tersebut dulunya merupakan hutan. rimba yang sangat angker.  Ditumbuhi banyak pepohonan besar dan semak belukar yang lebat
Di Gunungjati tempat baru tersebut, Syekh Datuk Kahfi membangun sebuah padepokan dan mulai berdakwah dilingkungan sekitar. Tujuannya  mengajak masyarakat mengenal dan memeluk agama Islam dengan menggunakan pendekatan ahlak yang mulia. Tanpa menggunakan paksaan dan mengkafirkan orang. 
Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang berdatangan dan menyatakan dirinya masuk Islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Datuk Kahfi. Darisinilah akhirnya banyak masyarakat simpati dan bersedia memeluk agama Islam
Cara mengajarkan  ilmu agama Islam kepada murid-muridnya berada di  dalam gua yang ada di GunungJati. Oleh karena itu, nama Kahfi yang menyertai namanya berasal dari bahasa Arab yang berarti gua.

Punjer Bumi
Pada  hari tertentu  memberikan wejangan kepada murid-muridnya sambil duduk  diatas  puncak Gunung Jati. Dimana disekitar tempat duduk tanahnya  berwarna merah dan tidak ada rumput yang hidup. Tempat duduknya terpancar sinar dari dalam bumi, menghadap permukaan tanah Pulau Jawa. Sinar itu menyoroti tempatnya duduk, dan berpendar ke seantero jagat.
Darisinilah Syekh Datuk Kahfi dikenal dengan sebutan nama  Syekh Nurul Jati atau Syekh Nurjati (Nur Ingkang Sejati). Sedangkan tempatnya duduk, kemudian dikenal sebagai Puser Bumi Gunung Jati.
Adapun para murid Syekh Datuk Kahfi diantaranya Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang; anak-anak dari Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata - Siliwangi III, raja dari Kerajaan Pajajaran. Beberapa mubaligh Wali Songo, seperti Syekh Syarif Hidayatullah dan Sunan Kalijaga serta Syekh Siti Jenar juga murid dari Syekh Datuk Kahfi.
Selain itu, menggunakan  cara  menikah dengan penduduk setempat untuk menyebarkan agama islam. Salah satunya  menikah dengan Hadijah. Dimana Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari Jawa Barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai anak, namun setelah pria itu meninggal dunia.  Hadijah kemudian  pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan
Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya.
Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantern yang bernama Pesambangan Jati.Pernikahan Syekh Datuk Kahfi dengan Hadijah dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki  Gede Krangken.HUSNU MUFID




Sunan Bonang Ditugasi Sunan Ampel


Kisah Sunan Bonang  Diperbatasan Kertosono dan   Kediri 

Menyabda  Desa Patuk  Akan Kesulitan  Air

Setelah berhasil mengislamkan wilayah Pantai Utara Jawa Tengah, maka Sunan Bonang melanjutkan syiar islam ke Kediri. Karena daerah tersebut masih banyak yang belum memeluk agama Islam. Bagaimanakah  kedatangannya di Kediri. Berikut ini.

Kepergian Sunan Bonang  Bonang dikawal   santrinya bernama  Ki Badar. Saat melewati daerah Kertosono menyebrangi sungai. Karena waktu itu masih belum ada jembatan. Setelah menyebrang sungai sebelah Timur ingin mengetahui agama masyarakat setempat.
Ia mengetahui masyarakat daerah tersebut beragama Kalang dan memuliakan Bandung Bondowoso. Sebab dianggap sebagai nabi. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.
Kemudian Sunan Bonang menyebut bahwa masyarakat  tersebut  beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Bahkan memberi  nama  dengan sebutan Kota Gedhah. Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Ketika tiba waksu shalat  dhuhur, Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Sayang sekali air sungai berwarna coklat akibat banjir,  maka Sunan Bonang menyuruh Ki Badar  meminta kepada penduduk setempat.
Di Desa Patukmelihat seorang gadis lagi menenun. Ki Badar berkata dengan nada agak keras saat meminta air. " Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu.
Gadis itu terkejut. Karena dilihatnya seorang laki-lak dan menyangka Ki Badar mau menggoda. Gadis itu kemudian  menjawab dengan nada  kasar juga: " Kamui baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar kata-kata kasar itu, Ki Badar itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Gadis  desa  itu dan Ki Badar rupanya saling salah paham. Setibanya di hadapan  Sunan Bonang, ucapan gadis  itu  disampaikan. Mendengar penuturan itu, maka  Sunan Bonang mengeluarkan kata-kata keras.
“Tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kawin sebelum menjadi jejaka tua,”ujar Sunan Bonang. 
Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Kemudian aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun.  Akibat  arus sungai Brantas yang menyimpang. Sungai-sungai di tempat tinggal gadis tersebut mengering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air. Begitupula dengan perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.
Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi.

Buto Lokacaya
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.
Kemudian Nyai Plencing melapor ke rajanya yaitu  Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.
Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murga. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.
Sunan Bonang pun tidak takut menghadapi  Buto Locaya dan anak buahnya.
Raja Jin tersebut  menyerag dengan membabi buta. Tapi begitu mendekati Sunan Bonang tubuhnya terasa panas. Hingga akhirnya menyerah dan meninggalkan lokasi peperangan dengan merubah wujudnya kembali menjadi raja jin yang bersemayam di Gunung Wilis.
Hal inilah yang menjadikan Sunan Bonang memasuki wilayah Kediri. Karena tidak ada gangguan lagi. Patung-patung yang ada dipenggal kepalanya semua. Hal tersebut untuk memudahkan tentara  Kesultanan Demak menyerang  kerajaan Majapahit yang beribukota di Kediri dengan rajanya bernama Girindra Wardhana.
Masyarakat  akhirnya banyak yang masuk  Islam. Sudah  tidak menyembah patung lagi dan tidak menganut agama kalang yang memuja  Bandung Bpndowoso. Banyaknya  warga Kediri yang beragama Islam menjadikan agama di  Kediri semakin berwarna, selain ada agama Hindu, Budha, kalang. Juga   agama Islam.
Kemudian Sunan Bonang  mendirikan sebuah langgar Tiban. Lokasinya berada di Dhoho sebagai tempat shalat masyarakat yang beraga islam. HUSNU MUFID
 


Sunan Drajad Menuju Gresik


Kisah Sunan Drajad Mendapat Tugas Sunan Ampel

Gagal Syiar Islam ke Gresik, Sukses  di Lamongan

Sunan Drajat merupakan  putra Sunan Ampel. Ia ditugaskan berdakwah ke Gresik, akan tetapi terdampar di pantai Lamongan. Seperti apakah kisahnya di daerah tersebut. Berikut ini.

Raden Qosim lebih dikenal dengan nama Sunan Drajad. Setelah menginjak dewasa dan menguasai ilmu agama dan strategi berdakwah mendapat tugas  ayahnya ke  Gresik untuk melanjutkan perjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim,
Kemudian Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang.
Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang”.
Di Lamongan Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Dalam dakwahnya, Sunan Drajat  kerap menyelipkan betapa pentingnya untuk bersikap adil dan jujur dalam setiap ceramahnya. Entah itu ceramah besar dalam pengajian atau setelah salat atau pula ketika berbincang santai dengan masyarakat.
Suatu hari Sunan Drajat berteduh di bawah teduhnya pepohonan yang rindang. Dia menikmati suasana alam yang masih alami. Angin berhembus perlahan, burung-burung berkicau dengan riang.
"Biasanya Kanjeng Sunan Drajat berdoa meminta pada Allah agar burung-burung menghampirinya. Lantas beberapa burung bertengger di tangannya. Setelah Sunan Bonang memberinya makan, burung itu terbang kembali," ujar juru kunci Makam Sunan Drajat, Yahya saat ditemui di komplek Makam Sunan Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur, Senin (1/6).
Selang beberapa lama, ada seorang warga yang melintas tak jauh dari tempat Sunan Drajat. Lantas Sunan Drajat bertanya kepada seseorang itu mengenai apa yang sedang dia pikul.
Karomahnya
Namun orang tersebut menjawab, "Garam Kanjeng Sunan." Kemudian Sunan Drajat bertanya lagi hal yang sama, apa yang sedang dia bawa. Sunan Drajat bertanya sampai tiga kali. Sampai akhirnya orang tersebut merasa apa yang dibawanya dengan cara dipikul semakin berat.
Akhirnya orang tersebut tak kuasa memikul beban. Dia terjatuh ke tanah. Ternyata dia sudah berbohong kepada Sunan Drajat. Apa yang dibawanya dengan cara dipikul bukanlah garam, melainkan beras. Ketika dia berbohong secara perlahan beras tersebut berubah menjadi garam yang sangat berat.
Seorang pemuda tersebut tak mampu berdiri. Tubuhnya tertimbun benda yang dibawanya. Dengan sangat ketakutan pemuda tersebut meminta maaf pada Sunan Drajat. Dia berjanji tidak akan berbohong di kemudian hari.
Tempat pemuda tersebut terjatuh kini dinamai sebagai Desa Ngasinan. Sampai sekarang sepetak tanah dan air di sekitar situ terasa sangat asin. HUSNU

Walisongo dan Pohon Jati


Kisah Pohon Jati di Bekas Pesantern Syekh Datul Kahfi Cirebon

Ditanam Untuk Tanda Pernah Ada  Pertemuan Walisongo

Pohon Jati yang berada di lingkungan makam dan bekas Pesantren Giri Amparan Jati  memiliki nilai sejarah bagi Walisongo. Hingga saat sekarang  pohonnya masih hidup. Usianya cukup tua dan memberikan keteduhan bagi para peziarah. Berikut ini kisahnya.

Keberadaan pohon Jati yang ada di areal pemakaman Syekh Datul Kahfi di Gunung Sembung usianya sangat tua. Tapi hingga kini masih hidup dan belum mati. Pihak kraton dan masyarakat tidak ada yang berani menebang. Meskipun nilainya kalau dijual harganya cukup mahal. Mereka takut mendapat laknat almarhum Walisongo 
Bagi masyarakat Cirebon Gunung Sembung tempat bersemayamnya Syekh Datul Kahfi sudah tidak asing lagi. Begitu pula dengan para penziarah kebanyakan menyempatkan diri untuk ziarah kemakam tersebut. Karena dianggap sebagai guru Sunan Gunung Jati dan Syekh Siti Jenar. .
Ketika peziarah  akan memasuki makam Syekh Datul Kahfi terdapat pohon jati yang jumlahnya sembilan. Pohon tersebut berada dilingkungan  Punjer Bumi  tempat Syekh Datul Kahfi memberikan pelajaran kepada  Sunan Gunung Jati dan Syekh Siti Jenar.
Konon ceritanya pohon tersebut sengaja ditanam para wali usai mengadakan rapat di lereng Gunung Sembung dekat dengan sumur Jala Tunda buatan Sunan Kalijogo. Hingga kini pohon jati yang usianya sudah berabad-abad lamannya masih tetap hidup dan menjulang tinggi ke langit.
Pohon Jati itu oleh kalangan kraton di kramatkan. Maka dari itu keberadaannya dibiarkan untuk terus tumbuh hidup. Tidak akan ditebang-tebang untuk keperluan membuat pintu kraton atau almari. Begitupula dengan masyarakat setempat tidak ada yang berani menebang. Meskipun harga jualnya cukup tinggi.
Masyarakat membiarkan apa adanya dan tidak berani  mencuri atau memotong rantingnya. Mereka takut kalau nantinya mendapat  marabahaya. Sebab keberadaan pohon Jati itu bukan hasil tanaman orang biasa, melainkan ditanam oleh Walisongo saat mengunjungi makam Syekh Datul Kahfi di Cirebon Jawa Barat.
“Pihak kraton dan masyarakat tidak berani menebang pohon Jati di dekat makam Syekh Datuk Kahfi. Karena takut laknat almarhum Walisongo. Pohon tersebut sebagai tanda jaman dahulu para wali pernag melakukan musyawarah di situ untuk mengatur strategi penyebaran agama Islam di Jawa Barat,”ujar salah satu Samnsudin Juru kunci.
Dengan dibiarkannya pohon tersebut, selama bertahun-tahun cabang rantingnya tidak beraturan dan daun-daunnya besar-besar. Kemudian batang kayu pohon besar sekali, melebihi besarnya kayu Jati yang ditanam di perkebunan-perkebunan pohon Jati di berbagai daerah Jawa Tengah.  
Bila musim hujan daunnya sangat lebat. Warnanya hijau. Bila siang hari memberi kesejukan kepada para peziarah yang berasal dari berbagai kota Indonesia. Tapi bila malam tiba bunyi daun-daunnya sangat menakutkan bagi penziarah yang nyalinya kecil. Karena suara bunyinya berbeda dengan suara bunyi daun biasa jika tertiup angin kencang.

Suara Daun
Namun kalau musim panas hampir tidak ada sama sekali daun-daunnya. Hanya tinggal dahan dan rantingnya yang mengering. Bunyinya tidak ada meskipun ada angin kencang.
Tapi sangat menakutkan bagi orang yang kebetulan berada dibawahnya. Yaitu adanya suara ranting pohon Jati yang berjatuhan. Dikiranya hantu di malam hari dan ternyata batang ranting. Kalau orang yang takut dengan hantu sudah barang tentu akan melarikan diri menuju jalan raya.
Sedangkan penziarah yang tidak takut dengan mahluk gaib tetap saja tidak bergeming dengan suara-suara daun dan ranting yang tertiup angin. Bahkan bayangan putih yang sering berkelebat di sekitar pohon Jati di malam hari tetap dibiarkan menampakkan diri. Karena bayangan putih itu sebenarnya penunggu areal pemakaman Gunung Sembung.
Pada hari-hari tertentu seperti bulan Sura banyak orang yang lelaku dibawahnya. Tepatnya  pada malam hari sambil membaca tahlil dan tahmid. Tujuannya untuk menguatkan batin dirinya. Tidak heran pada saat itu aral makam Gunung Sembung kondisinya tidak menakutkan.
Berbeda dengan hari-hari biasa, jika tengah malam. Suasananya sangat menakutkan. Maklum kalau melihat ke atas nampak pohon Jati yang besar. Tidak menampakkan diri sebagai pohon, melainkan mirip hantu. Bila melihat ke bawah ribuan kuburan kuno tempat bersemayamnya orang-orang sakti.
Tapi sayangnya kondisi dan lingkungan  pohon jati itu di rusak oleh pengemis-pengemis  yang suka memaksa para peziarah. Pihak pemerintah setempat  dan pengurus makam tidak menertibkan  para pengemis  liar tersebut. Cukup banyak peziarah yang merasa resah. CAHYA           
     

Makam Suna Gunung Jati dan Juru Kunci serta Preman Minta Duit Peziarah



Kisah Dakwah Sunan Gunung Jati  dan Wasiatnya
   
Santuni Fakir Miskin dan Hormati Peziarah
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lahir tahun 1450 M di Mesir. Boleh dibilang merupakan salah seorang Walisongo yang menyebarkan ajaran islam di wilayah Jawa barat dan Banten. Berikut ini kisahnya.

Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India dan Hadramaut.  Yaman. Silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Mudaim) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana.
Semasa kecil tinggal di kerajaan Mesir. Tapi setelah ayahnya meninggal mengikuti ibunya kembali ke kerajaan Pajajaran. Sedangkan kerajaannya diserahkan kepada adiknya.
Kemudian di kerajaan Pajajaran oleh ibunya  dingajikan kepada Syekh Datul Kahfi yang posisinya berada di Padepokan Giri Amparan Jati Gunung Jati Cirebon.
Menginjak usia dewasa menunaikan ibadah haji ke Makkah. Guna menunaikan  menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Oleh ibunya  dibekali  uang seratus dirham dan beberapa keping emas. Di tengah perjalanan dihadang sekelompok perampok.
Tanpa basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, dia berikan kepada para penyamun tersebut. Para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa dia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikan. Mereka lalu terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya. Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon.
“Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya berubah menjadi emas. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif Hidayatullah.
Sepulang dari Haji melakukan dakwah ditengah-tengah masyarakat yang belum memeluk agama Islam. Dari Cirebon, kemudian ia menyebarkan Islam ke daerah lain di Jawa Barat seperti, Majalengka, Kuningan, Kawali, Sunda Kelapa, dan Banten.
Tahun 1525 M, Syarif Hidayatullah berhasil menjadikan Banten sebagai kerajaan Islam. Dan ketika ia kembali ke Cirebon, ia menyerahkan Kesultanan Banten kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudan melahirkan raja-raja Banten.
Dalam melakukan dakwah, Sunan Gunung Jati memainkan peran ganda. Disamping sebagai ulama yang bergelar waliyullah, ia juga mendapat gelar Sayidin Panatagama atau dalam tradisi Jawa dianggap sebagai wakil Tuhan di Dunia, juga memerankan tokoh seorang raja.
Dalam kapasitasnya sebagai raja, ia memberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan Kerajaan Sunan Galuh Pakuan Padjajaran. Ia juga mempelopori untuk pembangunan Masjid Agung “Sang Ciptarasa” dan masjid jami’ di wilayah bawahan Cirebon.
Sunan Gunung Jati pun wafat dalam usia 120 tahun (1568 M). Bersama sang ibu, ia dimakamkan di daerah Gunung Jati. Itulah sebabnya, ia hingga kini dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Peminta-Minta
Namun sebelum meninggal dunia , Sunan Gunung Jati berpesan kepada umat Islam dan santri-santrinya agar memberikan perlindungan dan memberikan santunan kepada fakir miskin.
Juga juru kunci makam untuk tidak memaksa menarik uang kepada peziarah yang datang dari jauh maupun sekitar Cirebon.  Karena akan memberatkan peziarah itu sendiri. Juga bersihkan  areal makam dari para peminta-minta yang selalu memaksa para peziarah.
Berilah pelayanan dan hormati sebaik-baiknya. Karena mereka datang untuk mendoakanku.
Pesan atau wasiat Sunan Gunung Jati rupanya saat sekarang telah dikesampingkan. Tiap hari banyak peminta-minya yang memaksa peziarah, baik pada siang maupun malam hari di depan areal makam. Mereka menyamar sebagai orang miskin dan petugas resmi juru kunci.  Cukup banyak peziarah yang  merasa resah terhadap mereka.
Bahkan  juru kunci yang resmipun ikutan memaksa peziarah untuk memberikan uang. Jika tidak dikasih  mengumpat dengan bahasa yang kurang santun. Mereka memberikan pelayanan baik jika diberi uang. 
Untuk menuju makam  Sunan Gunung Jati yang berada berada di puncak Gunung Sembung Cirebon harus mengasih uang  terlebih dahulu.  Hanya saja  memasuki makam utama Sunan Gunung Jati memang tak dapat sembarangan, pengunjung diharuskan memiliki izin dari Sultan Cirebon dalam bentuk surat resmi.
Urus izin dahulu di keraton, baru ke sini bawa surat, nanti ada pemandu yang mengantar ke sini, kemudian kuncen yang akan mengantarkan ke makam Sunan Gunung Jati..
Makam utama Sunan Gunung Jati dibuka hanya saat-saat tertentu. Puncak keramaian tepat satu minggu setelah hari saya Idul Fitri, yakni saat Grebeg Syawalan. HUSNU MUFID