Rabu, 26 November 2014

Sunan Geseng


Sunan Geseng            


Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa.
Walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari-hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa. Tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo. Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun.
Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang- alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya,
setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya.
Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia.
Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak).
mbangan Islam di Tanah Jawa.
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat Jawa.Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian.
Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.
Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.
Makam Sunan Geseng terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Selain di dekat Pantai Parangtritis, Jogjakarta, makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong-dekat Gungung Telomoyo-secara administratif di bawah Kecamaan Grabag, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng ... Jaalan jalan ke surabaya ....fact}}
Pada Bulan Ramadhan, pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar makam untuk bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa Tirto) juga terdapat sebuah Pondo Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng



Silsilah

Prabu Brawijaya V + Dewi Rengganis
Pangeran Sumono / Ki Ageng Pakotesan
Pangeran Kartosuro
Tumenggung Wirantoko
Tumenggung Wono Joyo
Raden Mas Cokro Joyo atau Sunan Geseng

Kamis, 23 Oktober 2014

Makam Syarifah Khodijah di Bangil




Kekeramatan Makam Cucu Sunan Gunung Jati di Bangil, Pasuruan, Jatim
Cikal Bakal Para Ulama Besar

Semasa hidup, Syarifah Khodijah kondang disebut Mbah Ratu Ayu dikenal sebagai sosok yang memiliki karomah besar. Beliau juga penyebar agama Islam yang militan di Kabupaten Pasuruan sekaligus sebagai cikal bakal sejumlah ulama besar di kabupaten tersebut. Tak pelak, setiap digelar haulnya yang jatuh pada bulan Rajab hari Ahad, Minggu kedua atau ketiga, makamnya selalu dibanjiri para peziarah yang sengaja datang dari berbagai daerah di tanah air. Mbah Ratu Ayu, siapa sejatinya beliau?

Data sejarah menyebut, beliau adalah cucu Maulana Sultan Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati yang makamnya berada di Cirebon, Jabar. Tak sama dengan sang bapak yang dikebumikan di Cirebon, Mbah Ratu Ayu, saat ajal menjemput jasadnya justru dikebumikan di Jatim. Persisnya di kawasan rest area Swadesi Kersikan, Bangil, Pasuruan.
Pastinya bukan tanpa alasan kalau sosok yang selama hidupnya dikenal sebagai cikal bakal dari sejumlah ulama besar di Kabupaten Pasuruan itu sampai dimakamkan di daerah itu. Posmo mendapat konfirmasi dari Kholik, juru kunci makamnya.
Pria ini berkisah, dimakamkannya Mbah Ratu Ayu di Bangil ini bermula ketika beliau dirundung rasa kangen yang teramat sangat kepada kedua putranya, Sayid Arifuddin atau Arif Segoropura dan Sayid Sulaiman Mojoagung. Kedua putranya itu tengah belajar ilmu agama di pondok pesantren milik Mbah Soleh Semendi di daerah Winongan, yang juga sebagai famili atau adiknya.
“Kemudian berangkatlah beliau ke sana. Tetapi dalam perjalanan pulang saat masih sampai di Bangil, beliau mendadak jatuh sakit dan akhirnya ajal menjemput. Dan jasadnya lalu dimakamkan di pemakaman di daerah yang sekarang disebut dengan Wetan Alun, karena memang letaknya di wetan (Bahasa Jawa yang artinya timur) dari alun-alun Bangil ini,” katanya.
Lama tak ada orang yang mengenali makamnya, hingga pada suatu saat, kata Kholik, ada seorang Habib bernama Ba’bud dari daearah Lawang, Malang, Jatim. Ya seperti telah mendapat firasat, sang habib mengunjungi makam Syarifah Khadijah. Setelah melihat sendiri keberadaan makam itu, sang habib yakin bahwa makam itu bukanlah pekuburan orang sembarangan, bahkan menurutnya itu makam seorang wali. Oleh sebab itu, untuk membedakan dengan makam-makam lain yang ada di sekitarnya, dibangunlah sebuah gedung untuk tetenger.

 

Miliki Karomah

Masih satu area dengan makam Syarifah Khadijah, adalah pekuburan Abdullah bin Abdurrahman, yang disinyalir dulu merupakan pembantunya saat beliau masih hidup. Selain itu, ada juga makam KH. Qosyim Muzammil dan satu makam yang terpisah dari bangunan persisnya di sebelah timur, ada makam Habib Qosim Basyaiban, yang berada dalam gedung tersendiri.
Menurut H. Nur, penduduk setempat, makam tersebut sudah ratusan tahun umurnya. Lantaran jasanya yang cukup besar semasa hidupnya, setelah wafat pun kebesaran karomah almarhum pun masih terus diburu oleh para peziarah. Ini terbukti saat datang haulnya yang digelar di bulan Rajab, hari Ahad, Minggu kedua atau ketiga, selalu dibanjiri oleh peziarah. Mereka datang dari berbagai daerah.
Dalam sejarah tutur yang diyakini akan kebenarannya oleh warga setempat, Syarifah Khodijah dikenal sebagai sosok waliyullah perempuan yang cukup mumpuni dengan karomahnya. Ada kisah menarik terkait dengan karomah almarhum. Suatu saat ada seorang pedagang yang kerap berziarah di makamnya. Imbas dari seringnya berziarah, dagangannya semakin hari tambah laris, rezekinya mengalir deras. Cerita lain, ada anak umur 12 tahun yang bisu sejak lahir, saat hadir pada perayaan haul Mbah Ratu Ayu, tiba-tiba mendapat mukjizat luar biasa, anak itu langsung bisa bicara. Cahya
// Boks Tersendiri //

// Silsilah Syarifah Khodijah dari Jalur Sunan Gunung Jati
1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW
2. Sayyidatina Fatimah Az Zahroh, RA
3. Sayyidina Husein bin Ali
4. Sayyidina Ali Zainal Abidin
5. Sayyidina Muhammad Baqir
6. Sayyidina Ja’far Shodiq
7. Sayyidina Ali Al Uraidhi
8. Sayyidina Muhammad Naqib
9. Sayyidina Isa
10. Sayyidina Ahmad Muhajir
11. Sayyidina Ubaidillah
12. Sayyidina Alwi
13. Sayyidina Muhammad
14. Sayyidina Alwi
15. Sayyidina Ali Kholi’ Qosam
16. Sayyidina Muhammad Shahib Mirbath
17. Sayyidina Alwi
18. Sayyidina Abdul Malik
19. Sayyidina Abdulloh Adzmat Khan
20. Sayyidina Ahmad Syah Jalal
21. Maulana Jamaluddin Akbar
22. Maulana Ali Nuruddin
23. Maulana Amiduddin Abdulloh
24. Syarif Hidayatulloh, sunan Gunung Jati Cirebon
25. Maulana Sultan Hasanuddin
26. Syarifah Khodijah (Ibu Sayyid Sulaiman Basyaiban) .Cahya

Kamis, 16 Oktober 2014

perang Diponegoro 4

Jejak Perang Jawa Pangeran Diponegoro (4)

Siasat Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo
Tak jauh dari Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu dan Surakarta di Magelang, Jawa Tengah, terdapat sebuah cungkup makam keramat yang dipercaya sebagai petilasan Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo. Berikut ini kisahnya.


Makam Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo berada di dekat Kali Progo yang mengalir di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro alias Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu Surakarta. Raden Ali Basah Sentot adalah salah satu Manggala Yudha Pangeran Diponegoro yang dikenal sakti mandraguna.
Selama ini, Makam Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo dipercaya berada di Bengkulu. Kisahnya berawal ketika Raden Basah itu bersiasat dan memilih menjadi tentara bayaran kompeni Belanda. Karena Pangeran Diponegoro telah ditangkap Belanda. Guna meneruskan perjuangan yang belum selesai.
Jika tetap melawan, maka sudah barang tentu akan ditangkap tentara Belanda. Oleh karena itu, ia pura-pura bersedia menjadi tentara bayaran Belanda guna mendapatkan senjata. Raden Ali Basah lalu dikirim ke Sumatra Barat dengan tugas melawan pemberontakan Padri. Tetapi pada kenyataannya Raden Ali Basah Sentot mendukung perjuangan kaum Padri. Hingga akhir hayatnya pada 17 April 1855, dimakamkan di Bengkulu.
Jauh sebelum terkena bujuk rayu kompeni Belanda, Raden Ali Basah Sentot merupakan salah satu senopati perang Pangeran Diponegoro yang sakti dan setia. Pada perundingan licik di Karisidenan Kedu, Raden Basah Sentot juga turut serta dalam rombongan. Menjadi lumrah, manakala kemudian tak jauh dari Karisidenen Kedu Surakarta tersebut terdapat makam yang dipercaya sebagai petilasan Raden Basah Sentot yang terkenal dengan sebutan Makom Mbah Basah.
Kendati hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari Karisidenan Kedu Surakarta, Makom Mbah Basah sulit ditemukan. Letaknya berada di sudut selatan timur Pedukuhan Kayuares, di bantaran Sungai Progo yang tersembunyi di balik hamparan luas persawahan desa setempat. Makom Mbah Basah terasa wingit, lantaran berada sendiri di tengah pojok desa yang sangat sepi. Sementara itu, pohon kamboja di belakangnya menghiasi cungkup makom yang berpagar keliling setinggi satu meter.
Petilasan Ali Basah Sentot dibuatkan nisan dan bertuliskan namanya dalam huruf aksara Jawa. Sementara itu di pagar bagian depan cungkup makam bertuliskan nama sang juru kunci makam, Mbah Narko Bilowo. Memandang keluasan kompleks Makam Mbah Basah di pekarangan kosong yang rimbun oleh semak dan pepohonan liar, membuat suasana pengepungan Belanda ketika terjadi proses perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Jenderal De Kock bisa terasakan. Sangat mungkin, jika kemudian di tempat itu ada petilasan Raden Ali Basah Sentot yang ketika dalam perundingan memang turut serta mengiringi keberangkatan Pangeran Diponegoro.
Masih jarang orang mengetahui keberadaan Makom Mbah Basah. Warga setempat menyebutnya makom, yang berarti petilasan dan bukan makam yang berarti kuburan. Menurut Mbah Narko, Makom Mbah Basah ditemukan secara tidak sengaja. Ketika itu tahun 1968, ada seorang warga setempat bernama Mbah Wiryo yang tak berani pulang ke rumah lantaran kalah berjudi.
Karena takut pulang, Mbah Wiryo memilih tidur di bawah pohon beringin besar di pinggir desa. Saking lelahnya, di tempat yang sebenarnya cukup membuat bulu kuduk merinding itu Mbah Wiryo terlelap tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, Mbah Wiryo seperti mendengar suara yang menyuruhnya pulang dan bertobat.

Batu Pasujudan
Pada lain waktu, kejadian aneh kembali terjadi. Salah seorang warga kesurupan dan meminta diantarkan ke lokasi Makom Mbah Basah. Akibat kejadian itu, Mbah Wiryo lalu meyakini tempatnya bermalam ketika kalah berjudi memang merupakan petilasan tokoh sakti. Lalu dari kontak batin diketahui tempat itu merupakan petilasan Raden Basah Sentot Prawiryodirjo.
Mbah Wiryo kemudian memberinya tanda dengan membangunkan cungkup kecil dan dikeramatkan. Sejak itu, banyak orang berdatangan untuk bertirakat menyampaikan ujub. Dari sekian pelaku tirakat yang kabul ujubnya, dibangunlah petilasan Mbah Basah seperti yang terlihat sekarang.
Mbah Narko mengatakan, tak ada pantangan untuk bertirakat di Makom Mbah Basah. Namun permintaan jelek seperti meminta nomor togel atau berjudi bisa mendatangkan walat. Menurutnya, sudah banyak pelaku tirakat yang meminta ujub perjudian berakhir dengan malapetaka.
Kendati sampai kini masih banyak orang laku tirakat di Makom Mbah Basah, namun jarang warga di desa itu yang mengetahui keberadaan makom. Warga setempat lebih mengetahui tentang keberadaan watu pasujudan, yang berada di tengah aliran Kali Progo di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro.
Watu Pasujudan itu dianggap aneh lantaran ketika banjir besar batu tersebut tidak tenggelam. Namun warga kini sudah mengetahui, tidak tenggelamnya watu pasujudan itu karena memang batu itu merupakan dataran kecil di tengah aliran Sungai Progo. Batu itulah petilasan Pangeran Diponegoro, yang ketika menjelang perundingan dibangun gubuk untuk bersembahyang. Batu itu sampai kini juga masih ada, dan hanya sejumlah orang tertentu yang berani laku tirakat di atas batu tersebut. KOKO T.



Perang Diponegoro 3

Jejak Perang Jawa Pangeran Diponegoro (3)
“Museum Karisidenan
Kedu Diyakini Keramat”

Karisidenan Kedu tempat berlangsungnya perundiungan licik antara Belanda dan Pangeran Diponegoro, kini menjadi museum. Meja kursi perundingan masih utuh, juga bale-bale tempat Diponegoro menjalankan sholat. Juga jubah kuning dan kain putih surban Diponegoro masih dijaga kekeramatannya. Setiap pengunjung yang hendak masuk ke dalam ruang bekas perundingan itu diharuskan melepas alas kaki. Jika tidak, dipastikan pengunjung bisa mendapat petaka.

SESUDAH menjadi museum, Karisidenan Kedu diberi nama Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro. Berada di sebelah Kantor Bakorwil II yang meliputi daerah Kedu dan Surakarta Jawa Tengah. Staf Bakorwil Kedu dan Surakarta, Subiyanto, kepada posmo menjelaskan, Badan Koordinasi Wilayah Kedu dan Surakarta fungsinya adalah membantu kerja Gubernur Jawa Tengah di wilayah Kedu dan Surakarta. Namun karena museum Diponegoro juga berada satu komplek, Bakorwil juga turut menangani kepengurusannya.
Subiyanto mengakui, Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro memang masih dipercaya keramat. Di dalamnya terdapat jubah kuning dari kain santung yang dikenakan Pangeran Diponegoro ketika mengikuti perundingan. Juga kain putih bekas surban Pangeran Diponegoro masih ada. Keduanya dilindungi dengan dibuatkan almari kaca. Demikian pula dengan sejumlah cangkir dan teko serta dua buah kitab tharib. Sementara itu, meja kecil perundingan juga masih dibiarkan apa adanya. “Masih bisa dilihat di pojok kanan kiri meja itu, ada bekas goresan jari Pangeran Diponegoro ketika menahan amarah dalam proses perundingan itu”, katanya.
Kecuali itu, juga masih tersimpan bale.bale tempat Pangeran Diponegoro menjalankan ibadah sholat dan lukisan foto proses penangkapan Pangeran Diponegoro dan lukisan Pangeran Diponegoro menunggang kuda. Selama ini, kata Subiyanto, tidak ada satu pun pengunjung yang berani masuk tanpa melepas alas kaki. Bagaimana un, katanya, kamar itu masih keramat.
Seperti diketahui, perundingan yang berlangsung curang itu terjadi pada tanggal 28 Maret 1830. Pawit, petugas jaga museum kepada posmo menjelaskan, pada akhir bulan Februari 1830, sebenarnya Jendral de Kock sudah tiba di Magelang. Tetapi karena pada bulan itu masih bulan Ramadhan, Pangeran Diponegoro tak bersedia datang. Lalu diputuskan pada tanggal 25 Maret. Pangeran Diponegoro berangkat ke Magelang menaiki kuda Kiai Gentayu, diiring oleh istri selirnya yang setia, RAy Ratnaningsih dan putranya RM Raab, dan seorang penasejatnya bernama Kiai Baddarudin. Keberangkatan Pangeran Diponegoro itu disertai 100 pasukan.

Akhir Perang Jawa
Pawit mengatakan lagi, ruang yang digunakan untuk perundingan itu adalah ruang kerja Jendral de Kock. Dan, dalam perundingan itu putra Pangeran Diponegoro diperkenankan mengikuti jalannya perundingan. Sementara itu di pihak Belanda, ada Residen Kedu bernama Mayor Ajudan de Strure, Letkol Roest dan Kapten Roest. Sebenarnya, kata Pawit, sebelum perundingan itu berlangsung Belanda sudah sepakat berjanji untuk membiarkan Kanjeng Pangeran Diponegoro pulang dengan aman jika tidak ditemukan kata sepakat. Beberapa kesepakatan di antara Jendral de Kock sebelum perundingan itu berlangsung adalah, selama perundingan di Magelang Pangeran Diponegoro tetap dalam keadaan bebas dan merdeka, jika dalam perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, Pangeran Diponegoro bebas kembali ke tempat yang dikehendaki untuk melanjutkan peperangan, dan selama perundingan Pangeran Diponegoro tidak akan menambah jumlah pasukannya, begitu pula sebaliknya.
Namun seperti diketahui bersama, kata Pawit, Belanda ingkar janji. Ketika Pangeran Diponegoro tak mau menyudahi perang dan menuntut kemerdekaan murni, Jenderal de Cock memberi kode agar pasukan Belanda merangsek masuk ke dalam ruang perundingan dan menangkap Pangeran Diponegoro. Maka, tertangkaplah Pangeran Diponegoro yang kemudian langsung dibawa ke Ungaran. Lalu, pada hari yang sama itu pula Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Gedung Karesidenan Semarang.
Pawit mengatakan, pada tanggal 5 April 1830 Pangeran Diponegoro dipindahkan lagi ke Benteng Batavia dengan menggunakan Kapal Pollux. Setibanya di Batavia pada tanggal 11 April 1830, Pangeran Diponegoro ditahan di Stadhuis yang sekarang ini menjadi Museum Fatahillah. Pada tanggal 30 April 1830, sambung Pawit lagi, Gubernur Jenderal Van Den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan dan Pangeran Diponegoro pun diasingkan ke Sulawesi sampai wafatnya. “Bangunan Residen Kedu ini sengaja dipertahankan untuk melestarikan nilai sejarahnya. Memang, sejumlah bangunan sudah banyak yang dipugar, seperti mushola yang kini sudah dibangun masjid besar di utara museum. Namun semua koleksi yang ada di museum tersebut semuanya adalah merupakan barang peninggalan Pangeran Diponegoro semasa berada di Karesidenan Kedu”, pungkasnya.

Petilasan Raden Basah Sentot Dikenal Gawat
Tak jauh dari Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu dan Surakarta di Magelang, Jawa Tengah, terdapat sebuah cungkup makam keramat yang dipercaya sebagai petilasan Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo. Makam itu berada di dekat Kali Progo yang mengalir di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro alias Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu Surakarta. Raden Ali Basah Sentot adalah salah satu manggala yudha Pangeran Diponegoro yang dikenal sakti mandraguna.
Selama ini, Makam Raden Ali Basah Sentot Prawirodirjo dipercaya berada di Bengkulu. Kisahnya berawal ketika Raden Basah itu membelot dari Pangeran Diponegoro, dan memilih menjadi tentara bayaran kompeni Belanda. Raden Ali Basah lalu dikirim ke Sumatera Barat dengan tugas melawan pemberontakan Padri. Permintaan Raden Basah untuk kembali ke Jawa sesudah selesai Perang Padri tak dikabulkan oleh Belanda. Lalu ketika wafat pada 17 April 1855, Raden Basah dimakamkan di Bengkulu.
          Jauh sebelum terkena bujuk rayu kompeni Belanda, Raden Ali Basah Sentot merupakan salah satu senopati perang Pangeran Diponegoro yang sakti dan setia. Pada perundingan licik di Karisidenan Kedu, Raden Basah Sentot juga turut serta dalam rombongan. Menjadi lumrah, manakala kemudian tak jauh dari Karisidenen Kedu Surakarta tersebut terdapat makam yang dipercaya sebagai petilasan Raden Basah Sentot yang terkenal dengan sebutan Makom Mbah Basah.
          Kendati hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari Karisidenan Kedu Surakarta, Makom Mbah Basah sulit ditemukan. Letaknya berada di sudut selatan timur pedukuhan Kayuares, di bantaran Sungai Progo yang tersembunyi di balik hamparan luas persawahan desa setempat. Makom Mbah Basah terasa wingit, lantaran berada sendiri di tengah pojok desa yang sangat sepi. Sementara itu, pohon kamboja di belakangnya menghiasi cungkup makom yang berpagar keliling setinggi satu meter.
          Petilasan Ali Basah Sentot dibuatkan nisan dan bertuliskan namanya dalam huruf aksara Jawa. Sementara itu di pagar bagian depan cungkup makam bertuliskan nama sang juru kunci makam, Mbah Narko Bilowo. Memandang keluasan komplek Makam Mbah Basah di pekarangan kosong yang rimbun oleh semak dan pepohonan liar, membuat suasana pengepungan Belanda ketika terjadi proses perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Jendral De Kock bisa terasakan. Sangat mungkin, jika kemudian di tempat itu ada petilasan Raden Ali Basah Sentot yang ketika dalam perundingan memang turut serta mengiringi keberangkatan Pangeran Diponegoro.

Dikenal Angker
          Masih jarang orang mengetahui keberadaan Makom Mbah Basah. Warga setempat menyebutnya makom, yang berarti petilasan dan bukan makam yang berarti kuburan. Menurut Mbah Narko, Makom Mbah Basah ditemukan secara tidak sengaja. Ketika itu tahun 1968, ada seorang warga setempat bernama Mbah Wiryo yang tak berani pulang ke rumah lantaran kalah berjudi. Karena takut pulang itu, Mbah Wiryo memilih tidur di bawah pohon beringin besar di pinggir desa. Saking lelahnya, di tempat yang sebenarnya cukup membuat bulu kuduk merinding itu Mbah Wiryo terlelap tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, Mbah Wiryo seperti mendengar suara yang menyuruhnya pulang dan bertobat.
Pada lain waktu, kejadian aneh kembali terjadi. Salah seorang warga kesurupan dan meminta diantarkan ke lokasi Makom Mbah Basah. Akibat kejadian itu, Mbah Wiryo lalu meyakini tempatnya bermalam ketika kalah berjudi memang merupakan petilasan tokoh sakti. Lalu dari kontak batin diketahui tempat itu merupakan petilasan Raden Basah Sentot Prawirodirjo. Mbah Wiryo kemudian memberinya tanda dengan membangunkan cungkup kecil dan dikeramatkan. Sejak itu, banyak orang berdatangan untuk bertirakat menyampaikan ujub. Dari sekian pelaku tirakat yang kabul ujubnya, dibangunlah petilasan Mbah Basah seperti yang terlihat sekarang.
          Mbah Narko mengatakan, tak ada pantangan untuk bertirakat di Makom Mbah Basah. Namun permintaan jelek seperti meminta nomor togel atau berjudi bisa mendatangkan walat. Menurutnya, sudah banyak pelaku tirakat yang meminta ujub perjudian berakhir dengan malapetaka. Kendati sampai kini masih banyak orang laku tirakat di Makom Mbah Basah, namun jarang warga di desa itu yang mengetahui keberadaan makom. Warga setempat lebih mengetahui tentang keberadaan watu pasujudan, yang berada di tengah aliran Kali Progo di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro.
Watu Pasujudan itu dianggap aneh, lantaran ketika banjir besar batu tersbut tidak tenggelam. Namun warga kini sudah mengetahui, tidak tenggelamnya watu pasujudan itu karena memang batu itu merupakan dataran kecil di tengah aliran Sungai Progo. Batu itulah petilasan Pangeran Diponegoro, yang ketika menjelang perundingan dibangun gubuk untuk bersembahyang. Batu itu sampai kini juga masih ada, dan hanya sejumlah orang tertentu saja yang berani laku tirakat di atas batu tersebut. KOKO T.