Kamis, 03 April 2014

Silat Gomber Betawi





Menyibak Perguruan Silat Gombel Betawi (1)
Didirikan Jawara Ciracas Betawi 
Perguruan Silat Mutiara Betawi pada awalnya adalah silat yang hanya diperuntukkan bagi keluarga besar Bapak Tua Konsen sebagai salah seorang pencetusnya, sebelum akhirnya di tahun 1978 dibuka bagi umum hingga kini. Namun uniknya, dalam dunia persilatan Betawi, Silat Mutiara Betawi lebih dikenal dengan nama Silat Gombel. Berikut laporannya.

Perguruan Silat Mutiara Betawi atau Silat Gombel ini jika ditarik dari garis guru besar utama, memang tidak akan mendapatkan sebuah ujung. Artinya tidak ada data yang jelas, siapa sosok yang pertama kali menciptakan atau memainkan silat ini. Namun berdasarkan kabar dari mulut kemulut para jawara Betawi, silat ini pertama kali diketahui dimainkan oleh seorang Jawara Betawi asal Ciracas, Jakarta Timur, yakni Baba Tua Koncan.
Akan tetapi itu bukanlah satu-satunya hipotesis awal tentang asal usul silat ini. Karena ada beberapa pihak juga yang menyebutkan bahwa Silat Mutiara Betawi atau Silat Gombel ini diciptakan oleh seorang Jawara Betawi yang pertama kali melakukan babat alas di wilayah Ciracas, yang bernama Baba Tua Kotong Kopi. 
Dari kedua jawara ini, lantas Silat Gombel diturunkan kepada para muridnya, mulai kepada Bapak Tua Dengkrong. Kemudian ke Bapak Tua Bongkok atau yang lebih dikenal dengan nama Mbah Bongkok, selanjutnya ke Mandor Jiung atau yang dikenal dengan nama Kong Jiung di tahun 1822 sebelum akhirnya dia menjadi centeng saat pembangunan Gudang Air di Jakarta Timur.
Kong Jiun kemudian menurunkan Silat Gombel ini kepada Bapak Tua Ali, hal tersebut terus di lakukan turun temurun, mulai dari Baba Takrim, Baba Nasir, hingga terakhir saat diturunkan kepada Usna, selaku Guru Besar di Perguruan Silat Mutiara Betawi atau Silat Gombel saat ini.
Bapak Tua Ali sendiri merupakan buyut dari Usna, sedangkan Bapak Tua Kotong Kopi adalah buyut dari Bapak Tua Ali.
Saat itu keberadaan Silat Gombel ini hanyalah diperuntuhkan bagi keluarga besar sang guru sendiri, tidak untuk diajarkan kepada publik secara umum. Barulah pada tahun 1978, di bawah naungan Guru Besar (Gubes) Baba Nasir, Silat Gombel membuka Perguruan Silat Mutiara Betawi ini, yang keberadaannya diperuntukkan untuk umum, dan hal tersebut berkembang hingga saat ini.
Namun hal tersebut tidak lantas membuat semua pihak setuju untuk mengajarkan Silat Gombel kepada siapa saja yang ingin mendalaminya, seperti saat Baba Nasir menurunkan Silat Gombel kepada anaknya, Baba Hasan. Sosok Baba Hasan ini masih memegang teguh anggapan yang mengatakan bahwa silat Gombel hanya boleh diturunkan kepada pihak keluarga, bukan kepada pihak lain. Sehingga saat ini, di Perguruan Silat Mutiara Betawi atau Silat Gombel memiliki dua aliran.

Dua Aliran
Yakni Silat Gombel Tali di bawah pimpinan Guru Besar (Gubes) Usna dari guru Baba Tua Ali yang berpusat di Jl. Raya Poncol, Gang Percetakan, Ciracas, Jakarta Timur, dan Gombel Akal Jati di bawah pimpinan Baba Hasan dari guru Baba Nasir.
Keberadaan Silat Gombel diketahui terus mengalami perkembangan sejak pertama kali diturunkan oleh guru besar masing-masing aliran Silat Gombel, baik itu oleh Baba Tua Koncan maupun oleh Baba Tua Kotong Kopi. 
Sebelum tahun 1978, Silat Gombel diketahui hanya dimainkan dengan langkah serta Kotek, yang artinya mengandalkan kecepatan tangan, berupa sambut tangan. Silat Gombel saat itu tidak mengandalkan keberadaan jurus, karena Silat Gombel memang hanya diperuntukan untuk bela diri jarak dekat.
Hal ini kemudian berubah setelah tahun 1978, tepatnya sejak Baba Tua Ali menurunkan Silat Gombel kepada murid-muridnya, khususnya kepada Guru Besar Perguruan Silat Mutiara Betawi, Usna. Uniknya, hal tersebut tidak didapat oleh para murid lainnya. Sehingga saat ini terjadi sebuah perdebatan di antara dua golongan murid ini, terkait mana Silat Gombel yang benar.
“Kalau yang saya ajarkan di Mutiara Betawi ini, memang Silat Gombelnya memiliki jurus, dan itu hanya saya sendiri yang diajarkan oleh Baba Tua Ali, untuk yang lain tidak. Jadi sampai sekarang juga masing sering selisih faham, antara mana Silat Gombel yang benar. Tetapi buat saya, intinya jangan sampai Silat Gombel ini punah saja,” ungkap Usna, Gubes Perguruan Silat Mutiara Betawi.
Untuk membuka Perguruan Silat Mutiara Betawi atau Silat Gombel yang diperuntukkan untuk umum ini, Usna mengaku telah mendapat banyak tekanan dari orang-orang yang masih beranggapan bahwa Silat Gombel ini adalah silat keluarga. (Bersambung) ALFAN


Menyibak Perguruan Silat Gombel Betawi (2-Habis)

Melakukan Ritual Mulang Syarat Bawa Ayam Jago

Usna sebagai Guru Besar (Gubes) Perguruan Silat Mutiara Betawi mendalami seni bela diri Silat Gombel ini sejak usia 10 tahun, dari Gubes Baba Tua Ali dan Baba Nasir. Di usia 17 tahun, dirinya sudah medapatkan kepercayaan oleh sang guru untuk mengajar para murid yang ingin mendalami Silat Gombel ini.

Pada Silat Gombel di bawah naungan Gubes Usna ini memiliki 9 jurus awal, 6 langka, yakni langka 3, langka 4, langka 5, langka 7, langka 9, dan terakhir langka 12. Untuk menguasai 9 jurus awal dan 6 langka ini, tidak ada batasan waktu untuk melanjutkan satu tingkat jurus atau langka, ke tingkat yang lebih tinggi.
“Kalau satu jurus dia bisa langsung getap dalam waktu satu bulan, ya akan langsung naik ke jurus di atasnya. Tetapi kalau di satu jurus itu dia tidak dapat melakukan dengan getap, ya kita tidak akan kita naikan ke tingkat selanjutnya. Kita tunggu sampai dia benar-benar getap di setiap jurus dan langkah, ada yang sampai 10 tahun juga,” ungkap Usna.
Setelah murid lulus 2 tahap tersebut, tahap jurus dan langkah, para murid yang mendalami Silat Gombel akan diberikan pemahaman tentang penggunaan senjata tajam berupa golok. Kemudian selanjutnya untuk yang terakhir adalah pendalaman tingkat pengembangan setiap jurus, yang ditaksir berjumlah 150 kembangan. 
Oleh karena itu, di Perguruan Silat Mutiara Betawi, hal pokok yang paling diutamakan pada diri setiap murid, adalah niat, sikap jujur, dan konsekuen pada setiap apa yang diajarkan. Bagi Usna sendiri memiliki pemahaman tentang jurus yang sebenarnya bukanlah terletak pada jurus 9 maupun yang lainnya, namun jurus adalah pribadi manusia yang jujur dan lurus, sedangkan silat dipahami sebagai ajang untuk silaturahmi.
“Jadi di sini itu selain untuk mengenal maenan Betawi, tujuan akhirnya yakni persaudaraan, selanjutnya kita arahin pada jurus, yang berarti jujur pada perkataan, dan lurus pada perbuatan,” tambah Usna.
Perguruan Silat Mutiara Betawi ini, selain pembentukan mental sebagai seorang warga Betawi yang ingin melestarikan seni budaya bela diri Betawi, juga ingin membentuk mental para murid yang didasarkan pada ahklak, dan sikap sabar. Sama halnya perguruan silat lainnya, Perguruan Silat Mutiara Betawi juga memiliki ritual dalam setiap kenaikan tingkat, atau berbatas waktu.
Di Perguruan Silat Mutiara Betawi, ada beberapa ritual yang harus dijalankan oleh para murid, seperti ritual Mulang Syarat, yang dilakukan setelah murid tersebut telah mengikuti latihan sebanyak 3 kali. Ritual Mulang Syarat ini mewajibkan para murid untuk membawa beras ketan, ikan lele, dan ayam jago.

Mencontoh Ikan Lele
Barang-barang yang dibawa ini selanjutnya dimasak di tempat latihan, dan dinikmati secara bersama-sama dengan para murid yang lain. Masing-masing barang tersebut memiliki filosofi masing-masing, seperti ketan yang memiliki berat lebih dibandingkan beras, mengandung arti bahwa para murid di Perguruan Silat Mutiara Betawi, bisa melakukan lebih jika dibandingkan dengan murid dari perguruan lainnya.
Sedangkan ikan lele yang memiliki tubuh licin dan patil yang tajam, memiliki arti Perguruan Silat Mutiara Betawi tidak akan mengganggu orang lain jika tidak terlebih dahulu diganggu. Walaupun begitu, para murid di Perguruan Silat Mutiara Betawi juga diwajibkan berperilaku sabar, seperti ikan lele.
Sementara pada ayam jago, memiliki filosofi bahwa orang yang memiliki kemampuan untuk memainkan senjatanya, tidak harus menjadi jagoan, sehingga para murid Perguruan Silat Mutiara Betawi dianjurkan untuk menyimpan semua ilmu yang telah didapatkan di Perguruan Silat Mutiara Betawi, terkecuali dalam kondisi yang terjepit.
Hingga saat ini, Perguruan Silat Mutiara Betawi telah membuka beberapa cabang. Cabang-cabang tersebut berada di wilayah Bekasi, Jakarta, dan Tanggerang. Pastinya berpusat di Jl. Raya Poncol, Gang Percetakan, Ciracas, Jakarta Timur, dan memiliki cabang di Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur, cabang ketiga berada di Kelurahan Jombang, Ciputat, Tanggerang Selatan, dan yang terakhir di Pondok Gede, Bekasi. “Bagi yang mau ikut belajar di Perguruan Silat Mutiara Betawi, bisa langsung datang ke alamat-alamat tadi,” tutupnya. ALFAN


 

Sejarah Mbah Karimah Mertua Sunan Ampel




Sejarah Mbah Karimah Mertua Sunan Ampel Surabaya

Menyebut nama Mbah Karimah tidak bisa dilepaskan dengan kisah Sunan Ampel. Sang sunan yang bernama Raden Rahmatullah alias Raden Rahmad ini muncul ketika Majapahit, kerajaan Hindu terakhir di Nusantara nyaris runtuh.

Musala yang berada di makam tempat Mbah Karimah bersemayam, dipercaya merupakan mushala pertama yang dibangun Sunan Ampel, penyebar Islam di Surabaya dan sekitarnya. Makam Mbah Karimah terletak di kawasan Kembang kuning, Surabaya. Untuk menuju makam mertua Sunan Ampel ini, bisa diawali berangkat dari masjid Rahmad terlebih dahulu yang letaknya juga tidak begitu jauh dari makam Mbah Karimah.

Setelah itu langkahkan kaki atau kendaraan anda mnyusuri perkampungan padat penduduk dengan jalan jalan sedikit menanjak, sekitar 500 meter dari masjid. Di depan Gapura akan terlihat tulisan makam Mbah Karimah. Setelah masuk kedalam gapura akan nampak pohon beringin besar yang diyakini berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Halaman disekitar makam juga terasa sejuk, padahal jarang angina berhembus. Tidak jauh dari pohon Asem, terdapat tempat seperti aula dengan dua makam yang satu bertuliskan Mbah Soleh dimana dulunya murid atau cantriknya Mbah karimah dan yang satu lagi bertuliskan Mbah Karimah yang tertulis wafat 1377.

Seperti yang terlihat saat itu, tempat tersebut sepertinya tidak pernah sepi peziarah. Karena ada saja orang yang datang, mulai dari yang hanya sekedar menyempatkan diri sholat di musholla yang letaknya berdekatan dengan makam. Terkadang juga sekedar membaca ayat suci Alquran, bahkan ada juga yang sekedar duduk santai dibawah rindangnya pohon asem setelah berziarah.

Tak jarang mereka datang kembali membawa nasi tumpeng untuk selamatan. Dimakan bersama dengan siapa saja yang saat itu ada di tempat tersebut.” Ungkap Suripto selaku juru kunci makam. Selain itu Juru kunci yang telah berumur 65 tahun ini juga sering diminta membacakan doanya.

Adapun kisah, bertemunya Mbah Karimah dengan Raden Rahmad (Sunan Ampel). awal abad 15 di tempat ini Sunan Ampel mendirikan tempat ibadah. Selain dipakai untuk sujud menyembah Allah SWT, juga wujud ucapan terimakasihnya kepada Wiroseroyo (pemeluk Hindu dari Majapahit) yang dikenal dengan sapaan Mbah Karimah.

Diceritakan oleh Juru kunci,saat itu Surabaya bagian Selatan masih berupa hutan belantara, seperti Wonokromo, wonosari, Wonokititri (wono=Hutan). Disana ada seseorang yang bernama Wiroseroyo, Dialah yang membabat alas di daerah kembang kuning. Tiap pagi bekerja, berjalan keluar masuk hutan. Setiap kali melewati daerah kembang kuning, selalu terdengar suara orang yang berbicara. Namun setelah dicari selalu saja tidak pernah ketemu.
Karena merasa penasaran dengan suara yang selalu didengarnya, Wiroseroyo pun mengajak serta anak gadisnya yang bernama karimah untuk turut serta mencari asal suara tersebut. Tidak disangka, rupanya yang sering terdengar berbicara sendiri adalah sosok pemuda tampan yang menghadap ke arah Barat dengan menengadahkan kedua tangannya ke atas. Berkali-kali disapa oleh Wiroseroyo, namun tidak dihiraukan. Karena Agama yang dianut Wiroseroyo saat itu adalah Hindu, maka dikiranya pemuda tadi sedang bertapa.
Melihat pemuda ganteng yang sedang tafakhur tersebut, Wiroseroyo punya niatan untuk membuatkan sebuah pondok secara diam-diam. Namun setelah menggali tanah untuk dijadikan pondasi, pemuda yang lama tidak bergerak nampak menoleh kepada Wiroseroyo. Dari sinilah kemudian keduanya saling berkenalan.
Tingkah laku Raden Rahmad benar-benar simpatik serta menarik. Sehingga Wiroseroyo merasa senang dengannya. Raden Rahmad pun kemudian memberitahukan jika Agama yang dianutnya adalah Islam. Wiroseroyo pun hanya bisa melongo karena kata Islam benar-benar baru terdengar di telinganya. Raden Rahmad pun kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai Islam.
Melihat kekusukan Pemuda Tampan tersebut, Wiroseroyo beserta anaknya memutuskan untuk masuk dan memeluk agama yang dianut oleh Raden Rahmad. Karena takut kehilangan pemuda berakhlak mulia tersebut Wiroseroyo lalu menjodohkan Raden Rahmad dengan karimah.
Seiring berjalannya waktu, Wiroseroyo kemudian menjadi mertua Rahmatullah. Setelah mempersunting Karimah, Rahmatullah pamit meninggalkan hutan untuk melanjutkan dakwah. Sebelum ditinggalkan, di hutan tersebut telah berdiri musala kecil dari bilik. Kemudian, ia dan istrinya berjalan ke arah utara dan akhirnya menetap dan meninggal di kawasan Ampel, Surabaya Utara.

Setelah ditinggal Rahmatullah, Wiroseroyo hidup sendiri. Melanjutkan ajaran menantunya hingga kemudian lokasi itu ramai didatangi banyak orang dari berbagai penjuru negeri. Mereka ingin belajar bersama Wiroseroyo dan menjadi orang terkenal setelah kembali ke daerahnya. Wiroseroyo lambat laun dikenal sebagai Mbah Karimah. Dan seiring berjalannya waktu, Wiroseroyo atau Mbah Karimah kemudian menjadi mertua Rahmatullah (Sunan Ampel).

Mbah Karimah telah tiada, tercatat ia meninggal pada 1377. Namun, hingga kini pusaranya tidak pernah sepi dikunjungi. "Penguasa" hutan asal Majapahit itu ikut mengukir sejarah, mewarnai perjalanan seorang pemuda yang kini tersohor dengan nama Sunan Ampel (1401-1481). Cahya

Seminar Sarinah Ibu Asuh Bung Karno 3



Dari Seminar Sarinah dan Dialog Interaktif di Perpustakaan Tulungagung
Ibu Asuh dan Inspirator Bung Karno

Paguyuban Situs Bung Karno menggelar Seminar Sarinah dan Dialog Interaktif dengan Tema: Siapa Anti Pancasila Akan Hancur. Minggu, 30 Maret 2014 di Gedung Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Jl Oerip Sumohardjo No 4 Tulungagung kemarin. Berikut ini laporan posmo.

Sebelum acara Seminar Sarinah dan Dialog Interaktif ini digelar seluruh panitia di bawah ketua Agus Hadi dan Sungkono dan Raden Hari Sunaryanto selaku sekretaris melakukan ziarah makam Sarinah dan sekaligus membersihkan makam. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas ditemukan makam tersebut di Kompleks Pemakaman Kepatihan Tulungung.
Acara Seminar Sarinah dan Dialog Interaktif ini dibuka oleh Drs. Ali Murtadi, Kepala Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Tulungagung mewakili bupati tepat pukul 09.00 wib. Kemudian dilakukan pembacaan macapat oleh Ki Purwadianto bersama dua wanita yang mengisahkan tentang Sarina sebagai wanita utama.
Seluruh peserta seminar merasa terharu. Ibu-ibu menitikkan air mata saat mendengarkan macapat yang mengisahkan Sarinah. Kursi kosong sebanyak 8 kursi yang diperuntukkan panitia bagi roh leluhur nampak bergoyang. Seperti Ratu Roro Amis, Pragolopati, Supriyadi, Bung Karno, Pakubuwono 10, Patih Gringsing, Ratu Kilisuci, dan Gayatri. Bau kemenyan pun semerbak memenuhi ruang.
Tidak lama kemudian seminar dan dialog interaktif dimulai, sebagai narasumber utama adalah Mayjen (Pur) Saurip Kadi dari Jakarta dan KRT. Drs. Husnu Mufid, MPdI, sejarawan Surabaya dengan moderator Nomo, MZ dari Kediri. Sebagian besar peserta juga ingin menyampaikan pendapat dan sumbangan informasi.
Mayjend (Pur) Saurip Kadi selaku pembicara pertama menyatakan, pengungkapan sejarah Sarina yang selama ini gelap perlu diungkap. Sehingga dapat memberikan pencerahan kepada bangsa Indonesia. Mengingat kondisi bangsa membutuhkan orang-orang seperti Sarinah yang mampu melahirkan Satrio Piningit semacam Bung karno.
Sedangkan KRT. Drs. Husnu Mufid, MPdI menyatakan, sejarah Sarinah mulai terkuak sejak ditemukan makamnya di Kompleks Kepatihan Tulungagung. Sehingga bukan lagi sebagai tokoh fiktif. Tetapi sudah menjadi fakta sejarah yang tidak diragukan lagi oleh siapa pun.
Sarinah namanya telah diabadikan sebagai pusat perbelanjaan di Jakarta, nama kursus, majalah, dan judul buku oleh Bung Karno. Ini menunjukkan Sarinah memiliki andil besar dalam pertumbuhan jiwa dan cita-cita Bung Karno untuk menjadi orang besar dan presiden pertama di Indonesia. Boleh dikata sebagai inspirator Bung Karno membela wong cilik dan mengusir penjajah Belanda.

Ditemukan Makamnya
Sedangkan Ali Murtadi Kepala Perpustakaan mengatakan, baru bulan ini mengetahui makam Sarinah yang pernah mengasuh Bung Karno setelah anak buahnya mengajak bersih-bersih makam. Mengingat selama ini makamnya tidak diketahui orang umum. Dikiranya nama Sarinah itu hanya fiktif belaka.
Keberadaan makam Sarinah sangat penting di Tulungagung. Karena nantinya akan dijadikan sebagai pusat wisata pendidikan. Oleh karena itu, seminar ini sangat penting. Jika nantinya ada yang membukukan, maka otmatis banyak anak-anak sekolah yang tahu akan akan sejarah Sarinah di Perpustakaan Tulungagung.
Pendapat kepala perpustakaan itu mendapat dukungan Ketua DPRD Tulungagung Supriyono. Dalam sambutannya menyatakan, jika bicara tentang sarinah dalam seminar ini memang tidak mengada-ada. Makam Sarinah telah ditemukan di Tulungagung. Karena sudah lama sekali dan bikin penasaran ingin lebih jauh mengetahui tentang sejarah Sarinah itu sendiri.
Sarinah adalah seorang wanita yang mampu menghasilkan pemimpim Indonesia besar seperti Bung Karno.
Oleh karena itu, perlu didukung upaya pelastarian makam Sarinah yang semasa hidupnya pernah mengasuh Bung Karno saat ikut neneknya di Tulungagung. Mendengar pendapat ketua DPR Tulungagung suasana semakin hidup. Karena seluruh peserta ingin mengetahui sejarah Sarinah itu sendiri. Mengingat selama ini sejarahnya masih misteri.
Kemudian sambutan dilanjutkan oleh Drs. Hariyadi dari Dinas Purbakala Orwil Museum Trowulan, Mojokerto. Dalam sambutannya Hariyadi menyambut baik adanya seminar Sarinah dan Dialog Interaktif karena nantinya akan memperkaya sejarah pengasuh Bung Karno itu. Mengingat ada keterkaitan dengan penulisan sejarah dan mendapat dukungan dari pemerintah daerah Tulungagung.
Sementara Raden Hari Sunaryanto selaku pendiri Peguyupan Situs Bung Karno Tulungagung mengatakan, dijadikan wisata spiritual Bung Karno dan jalan menuju Makam Kompleks Kepatihan itu diberi nama Jalan Sarinah sehingga anak-anak sekolah dan masyarakat mengetahui kalau di jalan tersebut ada makam Sarinah, ibu susu Bung Karno. HUSNU MUFID.