Selasa, 26 April 2016

Syekh Maulana Ishak


Syekh Maulana Ishak Champa  Menuju  Kerajaan Blambangan

Menjadi Adipati Setelah Sembuhkan Dewi Sekardadu

Syekh Maulana Ishaq adalah anak dari Sayyid Husain Jamaluddin. Yang bergelar Syekh Jumadil Kubro. Maulana Ishaq adalah adik dari Maulana Malik Asmaraqandi. Beliau dari Champa menuju kerajaan Blambangan untuk misi dakwah. Berikut ini kisahnya.

Syekh Maulana Ishaq dilahirkan di Samarkand, Uzbekistan. Dahulu bagian dari wilayah Kerajaan Turki Utsmani. Ia adik kandung Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi. Paman dari Sunan Ampel Surabaya dan Sayyid Ali Murtadha. Kakek paman dari  Sunan Ngudung serta  Buyut paman dari Sunan Kudus.
Dari kerajaan Champa menuju ke Indonesia singgah di Kerajaan Samudra Pasai, sebelum menuju Pulau Jawa. Karena dinegerinya terjadi kekacauan akibat penyerbuan dari tentara kerajaan Vietnam. Sementara saudara-saudara Islam dan anggota kerajaan yang lain menuju ke Pattani dan Kamboja.
Syekh Maulana Ishak menuju kerajaan Samudra Pasai  karena dianggap sebagai tempat yang aman. Karena disitu merupakan kerajaan Islam. Selain memiliki keahlian dalam ilmu agama, juga ahli dalam bidang pengobatan alternatif.  Cukup banyak keluarga istana dan masyarakat yang disembuhkan. Hingga akhirnya  namanya terkenal sebagai ahli pengobatan.
Setelah dirasa cukup  lama tinggal di kerajaan Samudra Pasi. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pulau Jawa. Karena  ada beberapa saudaranya yang lebih dulu menetap. Sesampainya di Jawa singgah diTuban , Gresik dan Surabaya. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju kerajaan Blambangan. Namun terlebih dahulu menetap di Pohjentrek  Pasuruan dan melanjutkan perjalanan lagi menuju Pecaron Situbondo. Ia tinggal di sebuah  gunung kecil pinggil laut selama beberapa bulan sabil berdakwah.
“Setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Desa Cemoro Rogojampi. Kini masuk kecamatan Songgon.Tinggalnya di sebuah Goa yang cukup indah.  Tidak langsung menuju ke kota raja kerajaan Blambangan yang berada di kecamatan Muncar Banyuwangi Selatan,”ungkap KH.Shohibul Faroji Al-Robbani sejarawan Islam.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib untuk mengobatinya tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit dan sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total,
Atas saran permaisuri Prabu Meunak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Tapi tidak ada yang bisa menyembuhkan.
Kemudian  Menak Sembuyu memerintahkan Pati Bajul Segara untuk mencari orang sakti di lerang gunung dan goa. Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu rakyat Rogojampi yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri  Champa.  Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana lshaq yang sedang berdakwah di daerah Blambangan.

Lenyapkan Pageblug
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana lshak yang sedang bertafakkur di sebuah goa Cemoro yang terdapat di kawasan Rogojampi.Setelah terjadi negosiasi, maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan untuk menyembuhkan  putri Dewi Sekardadu dan menghilangkan  Pagebluk yang melanda  wilayah Blambangan.
Sesuai janji Raja maka Sekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan tepatnya di Banyuwangi bagian Utara, yang sekarang menjadi Kota Banyuwangi. Dari daerah sinilah lahir seorang bayi mungil yang elok, namanya Sayyid ’Ainul Yaqin yang kelak setelah dewasa bergelar Sunan Giri. Oleh masyarakat Banyuwangi, daerah kelahiran Sunan Giri, dijadikan nama desa dan kecamatan, yaitu Kecamatan Giri.
Setelah Syekh Maulana Ishak menjadi Adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Hal ini tidak disukai Patih Bajul Sengara.  Bahkan akan membunuh Syekh Maulana Ishak. Melihat  adanya upaya pembunuhan, maka  Syekh Maulana Ishak pamit kepada istrinya Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan untuk meninggalkan kerajaan Blambangan.
Kemudian Syekh Maulana Ishaq pergi menuju Gresik,  seminggu kemudian menuju Ampel Denta menemui keponakannya, yaitu Sunan Ampel dan menitipkan bayinya yang masih ada di Blambangan. Selanjutnya  berlayar menuju Kerajaan Samudera Pasai, dan berdakwah di sana. Kebetulan Kerajaan Samudera Pasai membutuhkan seorang Mufti dan wafat di Singapore yang saat itu merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Samudera Pasai. Dan dimakamkan di sana.HUSNU MUFID

Silsilah

Syekh Maulana Ishaq bin
Husein Jamaluddin [Syaikh Jumadil Kubro] bin
Ahmad Syah Jalaluddin bin
'Abdullah Khan bin
Abdul Malik Azmatkhan bin
'Alwi 'Ammil Faqih bin
Muhammad Shohib Mirbath bin
 'Ali Khali Qasam bin
'Alwi Shohib Baiti Jubair bin
Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin
'Alwi Al-Mubtakir bin
'Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin
'Isa An-Naqib bin
Muhammad An-Naqib bin
'Ali Al-'Uraidhi bin
Imam Ja'far Ash-Shadiq bin
Imam Muhammad Al-Baqir bin
Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin
Imam Husain Asy-Syahid bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah Saw.


 
Pecaron Situbondo Lokasi Tafakkurnya SyekhMaulana Ishak

KH Abdullah Faqih Cemoro Songgon Banyuwangi


KH. Abdullah Faqih Cemoro Songgong  Banyuwangi


Dulu santrinya Mbah Kiai Faqih ini ribuan,” ujar Gus Umar Abdullah, 55, salah satu cucu KH. Abdullah Faqih bin Umar. Kiai Faqih ini santri urutan ke-22 dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Saat belajar, satu angkatan dengan KH. Hasyim Asyari dan KH.Wahab Hasbullah, dua kiai besar asal Jombang yang dikenal sebagai pendiri NU.

Kiai yang juga satu angkatan adalah KH. Munawwir, pendiri pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak, Jogjakarta; KH. Ma’shum, pendiri pondok pesantren Lasem, Rembang; dan KH. Syamsul Arifin, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus Situbondo.

Usai belajar dari maha guru Syaikhona Kholil, Bangkalan, Kiai Faqih diberi mandat menyebarkan Islam di daerah Banyuwangi. Dan pada tahun 1917 dia masuk Dusun Cemoro, Desa Balak. “Ketemu dengan bapak Haji Hambali, juragan tanah, Kiai Faqih diberi tanah dan dibuatkan pondok pesantren,” katanya.
Dalam perkembangannya, pesantren yang didirikan kiai Faqih itu pesat. Santri yang ada saat itu mencapai ribuan. Para santri itu tidak hanya dari daerah Banyuwangi, tapi juga banyak dari Jember, Bondowoso, hingga Banten. “Mbah Kiai (Kiai Faqih) ini keturunan Raden Umar Banten, jadi namanya tersohor hingga Banten,” ungkap Gus Umar.

Dalam perkawinannya dengan al marhumah Suryati, Kiai Faqih memiliki lima putra, yakni KH. Ahmad Muhtarom, KH. Sholeh Abdullah, Siti Maryam, Mohammad Idris, dan Salamah. “Saya cucu dari anak kedua Mbah Kiai,” terangnya. Gus Umar mengaku semasa kecil sering mendapat cerita tentang Kiai Faqih dari ayahnya, KH. Sholeh Abdullah.

Kawasan Cemoro pada tahun 1917 hingga 1970 merupakan pondok pesantren besar dan terkemuka di bumi Blambangan. Diantara santri Pesantren Cemoro adalah KH. Harun, Kelurahan Tukang Kayu, Banyuwangi; KH. AbdulManan, Mberasan, Desa Wringin Putih, Kecamatan Muncar; dan KH. Ahmad Kyusairi.

“Alumni banyak menjadi kiai besar,” cetusnya. Dari cerita yang disampaikan ayahnya, Gus Umar menyebut Kiai Faqih itu dikenal pejuang yang gigih menumpas penjajah di Bumi Blambangan. “Belanda mencari-cari keberadaan Mbah Kiai untuk dibunuh, tapi selalu gagal.
Padahal, Mbah Kiai ngajar ngaji di dalam masjid,” terangnya. Kiai Faqih wafat pada malam Jumat Kliwon tahun 1953 Masehi di usia 83 tahun. Kiai karismatis itu dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat istrinya, almarhumah Suryati, yang meninggal lebih dulu di usia 60 tahun.

“Setiap 8 Syawal rutin dilaksanakan haul Mbah Kiai Abdullah Faqih di halaman Masjid Cemoro ini,” jelasnya. (radar)

Kamis, 21 April 2016

Sunan Pandanaran


Kisah Sunan Pandanaran Berguru Kepada Sunan Kalijogo

Rela Tanggalkan Jabatan Bupati Semarang

Diakui atau tidak nama Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran merupakan salah satu sosok penyebar agama Islam yang terkenal di eranya. Kebulatan tekadnya untuk menyebarkan agama Islam memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Harta, kedudukan sebagai Bupati Semarang   ditinggalkan demi berguru kepada Sunan Kalijogo. Berikut kisah hidupnya.

Dari sekian banyak wali diluar Wali Songo, Sunan Bayat atau yang juga sering disebut dengan Sunan Pandanaran adalah salah satunya. Sebelum terbuka mata hatinya Sunan Pandanaran sempat terbutakan mata hatinya oleh harta dan tahta yang dimilikinya. Tugas sebagai pemimpin yang semestinya mengayomi rakyat tidak sepenuh hati dijalankannya.
Ia lebih senang bermewah-mewah dan menikmati kekayaannya ketimbang memikirkan nasib rakyatnya. Kala itu sifat-sifat kebaikannya yang dulu pernah ada telah hilang karena tertutup oleh gemerlap keduniawian. Melihat adanya perubahan sikap yang dimiliki oleh bupati kedua Semarang ini membuat Sunan Kalijaga miris.
Sunan Kalijagapun memiliki keinginan untuk menyadarkan sosok yang sebenarnya baik ini. Di suatu hari dengan menyamar sebagai seorang penjual rumput. Sunan Kalijaga berniat untuk menyadarkan sang bupati. Cara menyamar sebagai penjual rumput ini sengaja di tempuh oleh Sunan Kalijaga dengan tujuan agar sang bupati ingat bahwa untuk menilai seorang manusia janganlah dilihat dari segi luarnya saja. Melainkan harus dilihat dari tutur kata yang keluar dari mulutnya. Apa yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga ini merupakan pengejawantahan dari falsafah Jawa ajining diri saka lathi atau yang berati harga diri seseorang berasal dari perkataan yang keluar dari mulutnya.
Suatu dengan penyamarannya yang sebagai penjual rumput Sunan Kalijaga menemui Ki Ageng Pandanaran. Dalam kesempatan itu Sunan Kalijaga mengucapkan, “Maaf, Tuan! Sebaiknya Tuan segera kembali ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT!” ujar Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual rumput..
“Hai, tukang rumput! Apa maksudmu menyuruhku kembali ke jalan yang benar? Memang kamu siapa, sudah berani menceramahiku?” tanya Ki Ageng Pandanaran dengan nada menggertak.
“Maaf, Tuan! Saya hanyalah penjual rumput yang miskin. Hamba melihat Tuan sudah terlalu jauh terlena dalam kebahagiaan dunia. Saya hanya ingin memperingatkan Tuan agar tidak melupakan kebahagiaan akhirat. Sebab, kebahagiaan yang abadi adalah kebahagiaan akhirat,” ujar si penjual rumput.
Mendengar nasehat itu, Ki Ageng Pandanaran bukannya sadar, melainkan marah dan mengusir si penjual rumput itu. Meski demikian, si penjual rumput tidak bosan-bosannya selalu datang menasehatinya. Namun, setiap kali dinasehati, Ki Ageng Pandanaran tetap saja tidak menghiraukan nasehat itu. Khawatir perilaku penguasa daerah Semarang itu semakin menjadi-jadi, Sunan Kalijaga menunjukkan karohmahnya.
“Wahai Bupati yang angkuh dan sombong! Ketahuilah, harta yang kamu miliki tidak ada artinya dibandingkan dengan harta yang aku miliki,” kata penjual rumput itu. Mendengar hal ini semakin marahlah Ki Ageng Pandanaran. “Hai, tukang rumput! Kamu jangan mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng Pandanaran.
Kemudian, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul sebidang tanah. Setiap bongkahan tanah yang dicangkulnya berubah menjadi emas. Ki Ageng Pandanaran sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual rumput itu. Dalam hatinya berkata bahwa penjual rumput itu bukanlah orang sembarangan. ”Hai, penjual rumput! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran penasaran bercampur rasa cemas.
Akhirnya, penjual rumput itu menghapus penyamarannya. Betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran ketika mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah Sunan Kalijaga. Ia pun segera bersujud seraya bertaubat.
“Maafkan, saya Sunan! Saya sangat menyesal atas semua kekhilafan saya selama ini. Jika Sunan tidak keberatan, izinkanlah saya berguru kepada Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran. “Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu benar-benar mau bertaubat, saya bersedia menerimamu menjadi murdiku. Besok pagi-pagi, datanglah ke Gunung Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi ingat, jangan sekali-kali membawa harta benda sedikit pun!” ujar Sunan Kalijaga mengingatkan.
Dengan tekad kuat ingin belajar agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya menyerahkan jabatannya sebagai Bupati Semarang kepada adiknya. Setelah itu, ia bersama istrinya meninggalkan Semarang menuju Gunung Jabalkat.

Di Gunung Jabalkat
Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di Gunung Jabalkat. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga. Sejak itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga.  Ki Ageng Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin.
Berkat kecerdesannya, ia ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan. Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Selain pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran juga mengajarkan cara bercocok tanam dan cara bergaul dengan baik kepada penduduk sekitarnya. Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga akhir hayatnya. Daerah Jabalkat dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat. Itulah sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat. Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
Sama halnya dengan Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam Sunan Pandanaran juga menyisipkan nilai-nilai islam dalam budaya masyarakat setempat. Dengan demikian masyarakat setempat dapat menerima agama Islam dengan baik. Di samping itu karena adanya nilai Islam yang disematkan dalam budaya masyarakat setempat, perkembangan Islam di tempat yang ditugaskan oleh Sunan Pandanaran ini semakin cepat berkembang. Tentang hal ini bisa dilihat dari makamnya yang berada di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten.
Di makamnya ada sebuah gapura yang memiliki desain arsitektur seperti halnya pintu gerbang gapura Majapahit. Makam ini menjadi salah satu primadona tempat wisata ziarah para wali di luar wali sanga. Dalam bulan-bulan ruwah atau menjelang datangnya bulan puasa di kompleks pemakaman ini akan dihelat beragam acara tradhisi budaya Jawa.
Orang yang berziarah di sini selain nyekar juga berharap mendapat berkah. Dalam sebulan mereka yang berziarah disini bisa mencapai ratusan jumlahnya. Dan hal inilah yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada anggapan bahwa wali tidaklah hanya wali sanga semata. ZUL



Selasa, 12 April 2016

Syekh Maulana Malik Ibrahim



Syekh  Maulana Malik Ibrahim dari Persi, Champa Hingga Majapahit

Menolong Kasta Sudra dari Kemiskinan

Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang ulama berasal dari negeri Persia melalui Gujarat. Singgah ke Champa. Kemudian menuju Majapahit dan tinggal di Leran Manyar Gresik tahun 1404 M. Hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419 M. Tujuannya dakwah Islamiyah. Berikut ini kisah di tanah Jawa.


Syekh Maulana Malik Ibrahim termasuk Wali yang datang ke tanah Jawa lebih awal dari Walisongo generasi ke dua.  Beliau termasuk Walisongo generasi pertama   yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kedatangannya  disertai beberapa orang muridnya pada awal abad 14 M.
Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Karena zaman dahulu daerah tersebut merupakan pusat pelabuhan yang disinggahi para pedagang dari negeri Timur Tengah, Champa dan Tiongkok sebelum masuk kepedalaman kerajaan Majapahit.   
Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar. Dalam Dakwah  menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qur’an .
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragam Islam, tetapi masih banyak yang beragama Hindu atau bahkan tidak beragama sama sekali
Bagi Syekh Maulana Malik Ibrahim kondisi masyarakat semacam itu bukan asing. Karena pernah berada di Gujarat India  yang mayoritas beragama Siwa  Budha. Sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Siwa Budha di pulau Jawa.
“Untuk itulah, Syekh Maulana Malik Ibrahim di Jawa,  tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW,”ungkap Drs. Sadin Subekti,MDi Pakar Sejarah Dakwah dari alumni Pasca Sarjana UINSA Surabaya.
Dalam keseharian lebih dekat dengan kaum kasta sudra dengan sering memberikan bantuan makan, minum, pakaian, pengobatan dan mengajar bertani. Mengingat waktu itu kondisi rakyat kerajaan Majapahit  terjadi krisis ekonomi. Yaitu panen gagal dan alam tidak bersahabat.  Sehingga hasil pertanian meningkat di Gresik dan banyak kasta Sudra yang tersembuhkan dengan pengobatan herbal. Yaitu memakai daun-daunan disertai doa.
Hal  tersebut sebagaimana disebutkan dalam  huruf-huruf arab yang terdapat pada batu nisan makamnya  sbb : “Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, para Sultan dan para Menteri, penolong para Fakir dan Miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan RahmatNya dan KeridhaanNya, dan dimasukkan ke dalam Surga. Telah Wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 1419 M.
Dikalangan Kasta Sudra ia terkenal dengan sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.

Jadi Syah Bandar
Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia diantara mereka hanyalah yang paling taqwa disisi Allah SWT.
Taqwa itu letaknya dihati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup bahagia di dunia dan di akherat kelak, orang yang bertaqwa sekalipun dia dari kasta sudra bisa jadi lebih mulia daripada mereka yang berkasta ksatria dan brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta sudra dan waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia yang utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan mesjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun mesjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain atau Raja Champa yang berada diantara  Kamboja dan Vietnam.
Bila orang bertanya suatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Setelah berhasil mengislamkan masyarakat Gresik, Syekh Maulana Malik Ibrahim diangkat  raja Majapahit  menjadi penguasa sahbandar pelabuhan. Selama berkuasa, jalur perdagangan aman dan menjadikan pelabuhan didatangi saudagar-saudagar dari Timur Tengah. HUSNU MUFID  


Silsilah

Nabi Muhammad
Husain bin Ali
Ali Zaenal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq,
Ali al-Uraidi,
 Muhammad al-Naqib,
Isa ar-Rumi,
Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah,
Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani,
Ali Khali’ Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath,
Alwi Ammi al-Faqih,
Abdul Malik (Ahmad Khan),
Abdullah (al-Azhamat) Khan,
Ahmad Syah Jalal,
Jamaludin Akbar al-Husain,
Maulana Malik Ibrahim,