Kamis, 21 April 2016

Sunan Pandanaran


Kisah Sunan Pandanaran Berguru Kepada Sunan Kalijogo

Rela Tanggalkan Jabatan Bupati Semarang

Diakui atau tidak nama Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran merupakan salah satu sosok penyebar agama Islam yang terkenal di eranya. Kebulatan tekadnya untuk menyebarkan agama Islam memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Harta, kedudukan sebagai Bupati Semarang   ditinggalkan demi berguru kepada Sunan Kalijogo. Berikut kisah hidupnya.

Dari sekian banyak wali diluar Wali Songo, Sunan Bayat atau yang juga sering disebut dengan Sunan Pandanaran adalah salah satunya. Sebelum terbuka mata hatinya Sunan Pandanaran sempat terbutakan mata hatinya oleh harta dan tahta yang dimilikinya. Tugas sebagai pemimpin yang semestinya mengayomi rakyat tidak sepenuh hati dijalankannya.
Ia lebih senang bermewah-mewah dan menikmati kekayaannya ketimbang memikirkan nasib rakyatnya. Kala itu sifat-sifat kebaikannya yang dulu pernah ada telah hilang karena tertutup oleh gemerlap keduniawian. Melihat adanya perubahan sikap yang dimiliki oleh bupati kedua Semarang ini membuat Sunan Kalijaga miris.
Sunan Kalijagapun memiliki keinginan untuk menyadarkan sosok yang sebenarnya baik ini. Di suatu hari dengan menyamar sebagai seorang penjual rumput. Sunan Kalijaga berniat untuk menyadarkan sang bupati. Cara menyamar sebagai penjual rumput ini sengaja di tempuh oleh Sunan Kalijaga dengan tujuan agar sang bupati ingat bahwa untuk menilai seorang manusia janganlah dilihat dari segi luarnya saja. Melainkan harus dilihat dari tutur kata yang keluar dari mulutnya. Apa yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga ini merupakan pengejawantahan dari falsafah Jawa ajining diri saka lathi atau yang berati harga diri seseorang berasal dari perkataan yang keluar dari mulutnya.
Suatu dengan penyamarannya yang sebagai penjual rumput Sunan Kalijaga menemui Ki Ageng Pandanaran. Dalam kesempatan itu Sunan Kalijaga mengucapkan, “Maaf, Tuan! Sebaiknya Tuan segera kembali ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT!” ujar Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual rumput..
“Hai, tukang rumput! Apa maksudmu menyuruhku kembali ke jalan yang benar? Memang kamu siapa, sudah berani menceramahiku?” tanya Ki Ageng Pandanaran dengan nada menggertak.
“Maaf, Tuan! Saya hanyalah penjual rumput yang miskin. Hamba melihat Tuan sudah terlalu jauh terlena dalam kebahagiaan dunia. Saya hanya ingin memperingatkan Tuan agar tidak melupakan kebahagiaan akhirat. Sebab, kebahagiaan yang abadi adalah kebahagiaan akhirat,” ujar si penjual rumput.
Mendengar nasehat itu, Ki Ageng Pandanaran bukannya sadar, melainkan marah dan mengusir si penjual rumput itu. Meski demikian, si penjual rumput tidak bosan-bosannya selalu datang menasehatinya. Namun, setiap kali dinasehati, Ki Ageng Pandanaran tetap saja tidak menghiraukan nasehat itu. Khawatir perilaku penguasa daerah Semarang itu semakin menjadi-jadi, Sunan Kalijaga menunjukkan karohmahnya.
“Wahai Bupati yang angkuh dan sombong! Ketahuilah, harta yang kamu miliki tidak ada artinya dibandingkan dengan harta yang aku miliki,” kata penjual rumput itu. Mendengar hal ini semakin marahlah Ki Ageng Pandanaran. “Hai, tukang rumput! Kamu jangan mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng Pandanaran.
Kemudian, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul sebidang tanah. Setiap bongkahan tanah yang dicangkulnya berubah menjadi emas. Ki Ageng Pandanaran sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual rumput itu. Dalam hatinya berkata bahwa penjual rumput itu bukanlah orang sembarangan. ”Hai, penjual rumput! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran penasaran bercampur rasa cemas.
Akhirnya, penjual rumput itu menghapus penyamarannya. Betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran ketika mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah Sunan Kalijaga. Ia pun segera bersujud seraya bertaubat.
“Maafkan, saya Sunan! Saya sangat menyesal atas semua kekhilafan saya selama ini. Jika Sunan tidak keberatan, izinkanlah saya berguru kepada Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran. “Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu benar-benar mau bertaubat, saya bersedia menerimamu menjadi murdiku. Besok pagi-pagi, datanglah ke Gunung Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi ingat, jangan sekali-kali membawa harta benda sedikit pun!” ujar Sunan Kalijaga mengingatkan.
Dengan tekad kuat ingin belajar agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya menyerahkan jabatannya sebagai Bupati Semarang kepada adiknya. Setelah itu, ia bersama istrinya meninggalkan Semarang menuju Gunung Jabalkat.

Di Gunung Jabalkat
Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di Gunung Jabalkat. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga. Sejak itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga.  Ki Ageng Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin.
Berkat kecerdesannya, ia ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan. Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Selain pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran juga mengajarkan cara bercocok tanam dan cara bergaul dengan baik kepada penduduk sekitarnya. Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga akhir hayatnya. Daerah Jabalkat dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat. Itulah sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat. Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
Sama halnya dengan Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam Sunan Pandanaran juga menyisipkan nilai-nilai islam dalam budaya masyarakat setempat. Dengan demikian masyarakat setempat dapat menerima agama Islam dengan baik. Di samping itu karena adanya nilai Islam yang disematkan dalam budaya masyarakat setempat, perkembangan Islam di tempat yang ditugaskan oleh Sunan Pandanaran ini semakin cepat berkembang. Tentang hal ini bisa dilihat dari makamnya yang berada di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten.
Di makamnya ada sebuah gapura yang memiliki desain arsitektur seperti halnya pintu gerbang gapura Majapahit. Makam ini menjadi salah satu primadona tempat wisata ziarah para wali di luar wali sanga. Dalam bulan-bulan ruwah atau menjelang datangnya bulan puasa di kompleks pemakaman ini akan dihelat beragam acara tradhisi budaya Jawa.
Orang yang berziarah di sini selain nyekar juga berharap mendapat berkah. Dalam sebulan mereka yang berziarah disini bisa mencapai ratusan jumlahnya. Dan hal inilah yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada anggapan bahwa wali tidaklah hanya wali sanga semata. ZUL



0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat