Kisah
Sunan Pandanaran Berguru Kepada Sunan Kalijogo
Rela Tanggalkan
Jabatan Bupati Semarang
Diakui
atau tidak nama Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran merupakan salah satu sosok
penyebar agama Islam yang terkenal di eranya. Kebulatan tekadnya untuk
menyebarkan agama Islam memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Harta,
kedudukan sebagai Bupati Semarang ditinggalkan demi berguru kepada Sunan
Kalijogo. Berikut kisah hidupnya.
Dari
sekian banyak wali diluar Wali Songo, Sunan Bayat atau yang juga sering disebut
dengan Sunan Pandanaran adalah salah satunya. Sebelum terbuka mata hatinya
Sunan Pandanaran sempat terbutakan mata hatinya oleh harta dan tahta yang
dimilikinya. Tugas sebagai pemimpin yang semestinya mengayomi rakyat tidak
sepenuh hati dijalankannya.
Ia
lebih senang bermewah-mewah dan menikmati kekayaannya ketimbang memikirkan
nasib rakyatnya. Kala itu sifat-sifat kebaikannya yang dulu pernah ada telah
hilang karena tertutup oleh gemerlap keduniawian. Melihat adanya perubahan
sikap yang dimiliki oleh bupati kedua Semarang ini membuat Sunan Kalijaga
miris.
Sunan
Kalijagapun memiliki keinginan untuk menyadarkan sosok yang sebenarnya baik
ini. Di suatu hari dengan menyamar sebagai seorang penjual rumput. Sunan
Kalijaga berniat untuk menyadarkan sang bupati. Cara menyamar sebagai penjual
rumput ini sengaja di tempuh oleh Sunan Kalijaga dengan tujuan agar sang bupati
ingat bahwa untuk menilai seorang manusia janganlah dilihat dari segi luarnya
saja. Melainkan harus dilihat dari tutur kata yang keluar dari mulutnya. Apa
yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga ini merupakan pengejawantahan dari falsafah
Jawa ajining diri saka lathi atau
yang berati harga diri seseorang berasal dari perkataan yang keluar dari
mulutnya.
Suatu
dengan penyamarannya yang sebagai penjual rumput Sunan Kalijaga menemui Ki
Ageng Pandanaran. Dalam kesempatan itu Sunan Kalijaga mengucapkan, “Maaf, Tuan! Sebaiknya Tuan
segera kembali ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT!” ujar Sunan Kalijaga
yang menyamar sebagai penjual rumput..
“Hai, tukang rumput! Apa maksudmu
menyuruhku kembali ke jalan yang benar? Memang kamu siapa, sudah berani
menceramahiku?” tanya Ki Ageng Pandanaran dengan nada menggertak.
“Maaf, Tuan! Saya hanyalah
penjual rumput yang miskin. Hamba melihat Tuan sudah terlalu jauh terlena dalam
kebahagiaan dunia. Saya hanya ingin memperingatkan Tuan agar tidak melupakan
kebahagiaan akhirat. Sebab, kebahagiaan yang abadi adalah kebahagiaan akhirat,”
ujar si penjual rumput.
Mendengar nasehat itu, Ki Ageng
Pandanaran bukannya sadar, melainkan marah dan mengusir si penjual rumput itu.
Meski demikian, si penjual rumput tidak bosan-bosannya selalu datang
menasehatinya. Namun, setiap kali dinasehati, Ki Ageng Pandanaran tetap saja
tidak menghiraukan nasehat itu. Khawatir perilaku penguasa daerah Semarang itu
semakin menjadi-jadi, Sunan Kalijaga menunjukkan karohmahnya.
“Wahai Bupati yang angkuh dan
sombong! Ketahuilah, harta yang kamu miliki tidak ada artinya dibandingkan
dengan harta yang aku miliki,” kata penjual rumput itu. Mendengar hal ini semakin marahlah Ki Ageng
Pandanaran. “Hai, tukang rumput! Kamu jangan
mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng
Pandanaran.
Kemudian, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul sebidang tanah.
Setiap bongkahan tanah yang dicangkulnya berubah menjadi emas. Ki Ageng
Pandanaran sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual rumput itu. Dalam
hatinya berkata bahwa penjual rumput itu bukanlah orang sembarangan. ”Hai, penjual rumput! Siapa kamu
sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran penasaran bercampur rasa cemas.
Akhirnya, penjual rumput itu
menghapus penyamarannya. Betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran ketika
mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah Sunan Kalijaga. Ia pun segera
bersujud seraya bertaubat.
“Maafkan, saya Sunan! Saya sangat
menyesal atas semua kekhilafan saya selama ini. Jika Sunan tidak keberatan,
izinkanlah saya berguru kepada Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran. “Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu
benar-benar mau bertaubat, saya bersedia menerimamu menjadi murdiku. Besok
pagi-pagi, datanglah ke Gunung Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi
ingat, jangan sekali-kali membawa harta benda sedikit pun!” ujar Sunan Kalijaga
mengingatkan.
Dengan tekad kuat ingin belajar
agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya menyerahkan jabatannya sebagai Bupati
Semarang kepada adiknya. Setelah itu, ia bersama istrinya meninggalkan Semarang
menuju Gunung Jabalkat.
Di Gunung Jabalkat
Tak beberapa lama kemudian,
tibalah mereka di Gunung Jabalkat. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan
Kalijaga. Sejak itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga. Ki Ageng Pandanaran seorang murid
yang cerdas dan rajin.
Berkat kecerdesannya, ia
ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun
mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang
paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan
kegotongroyongan. Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus
mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga
berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Selain pengetahuan agama, Ki
Ageng Pandanaran juga mengajarkan cara bercocok tanam dan cara bergaul dengan
baik kepada penduduk sekitarnya. Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga
akhir hayatnya. Daerah Jabalkat dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama
Tembayat atau Bayat. Itulah sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan
Bayat. Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit
Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten.
Sama
halnya dengan Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam Sunan Pandanaran juga
menyisipkan nilai-nilai islam dalam budaya masyarakat setempat. Dengan demikian
masyarakat setempat dapat menerima agama Islam dengan baik. Di samping itu
karena adanya nilai Islam yang disematkan dalam budaya masyarakat setempat,
perkembangan Islam di tempat yang ditugaskan oleh Sunan Pandanaran ini semakin
cepat berkembang. Tentang hal ini bisa dilihat dari makamnya yang berada di Kecamatan Bayat,
Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten.
Di makamnya ada sebuah gapura yang memiliki desain
arsitektur seperti halnya pintu gerbang gapura Majapahit. Makam
ini menjadi salah satu primadona tempat wisata ziarah para wali di luar wali sanga. Dalam bulan-bulan ruwah
atau menjelang datangnya bulan puasa di kompleks pemakaman ini akan dihelat
beragam acara tradhisi budaya Jawa.
Orang yang berziarah di sini selain nyekar juga berharap mendapat berkah.
Dalam sebulan mereka yang berziarah disini bisa mencapai ratusan jumlahnya. Dan
hal inilah yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada anggapan bahwa wali
tidaklah hanya wali sanga semata. ZUL
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat