Kamis, 16 Oktober 2014

Perang Diponegoro 3

Jejak Perang Jawa Pangeran Diponegoro (3)
“Museum Karisidenan
Kedu Diyakini Keramat”

Karisidenan Kedu tempat berlangsungnya perundiungan licik antara Belanda dan Pangeran Diponegoro, kini menjadi museum. Meja kursi perundingan masih utuh, juga bale-bale tempat Diponegoro menjalankan sholat. Juga jubah kuning dan kain putih surban Diponegoro masih dijaga kekeramatannya. Setiap pengunjung yang hendak masuk ke dalam ruang bekas perundingan itu diharuskan melepas alas kaki. Jika tidak, dipastikan pengunjung bisa mendapat petaka.

SESUDAH menjadi museum, Karisidenan Kedu diberi nama Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro. Berada di sebelah Kantor Bakorwil II yang meliputi daerah Kedu dan Surakarta Jawa Tengah. Staf Bakorwil Kedu dan Surakarta, Subiyanto, kepada posmo menjelaskan, Badan Koordinasi Wilayah Kedu dan Surakarta fungsinya adalah membantu kerja Gubernur Jawa Tengah di wilayah Kedu dan Surakarta. Namun karena museum Diponegoro juga berada satu komplek, Bakorwil juga turut menangani kepengurusannya.
Subiyanto mengakui, Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro memang masih dipercaya keramat. Di dalamnya terdapat jubah kuning dari kain santung yang dikenakan Pangeran Diponegoro ketika mengikuti perundingan. Juga kain putih bekas surban Pangeran Diponegoro masih ada. Keduanya dilindungi dengan dibuatkan almari kaca. Demikian pula dengan sejumlah cangkir dan teko serta dua buah kitab tharib. Sementara itu, meja kecil perundingan juga masih dibiarkan apa adanya. “Masih bisa dilihat di pojok kanan kiri meja itu, ada bekas goresan jari Pangeran Diponegoro ketika menahan amarah dalam proses perundingan itu”, katanya.
Kecuali itu, juga masih tersimpan bale.bale tempat Pangeran Diponegoro menjalankan ibadah sholat dan lukisan foto proses penangkapan Pangeran Diponegoro dan lukisan Pangeran Diponegoro menunggang kuda. Selama ini, kata Subiyanto, tidak ada satu pun pengunjung yang berani masuk tanpa melepas alas kaki. Bagaimana un, katanya, kamar itu masih keramat.
Seperti diketahui, perundingan yang berlangsung curang itu terjadi pada tanggal 28 Maret 1830. Pawit, petugas jaga museum kepada posmo menjelaskan, pada akhir bulan Februari 1830, sebenarnya Jendral de Kock sudah tiba di Magelang. Tetapi karena pada bulan itu masih bulan Ramadhan, Pangeran Diponegoro tak bersedia datang. Lalu diputuskan pada tanggal 25 Maret. Pangeran Diponegoro berangkat ke Magelang menaiki kuda Kiai Gentayu, diiring oleh istri selirnya yang setia, RAy Ratnaningsih dan putranya RM Raab, dan seorang penasejatnya bernama Kiai Baddarudin. Keberangkatan Pangeran Diponegoro itu disertai 100 pasukan.

Akhir Perang Jawa
Pawit mengatakan lagi, ruang yang digunakan untuk perundingan itu adalah ruang kerja Jendral de Kock. Dan, dalam perundingan itu putra Pangeran Diponegoro diperkenankan mengikuti jalannya perundingan. Sementara itu di pihak Belanda, ada Residen Kedu bernama Mayor Ajudan de Strure, Letkol Roest dan Kapten Roest. Sebenarnya, kata Pawit, sebelum perundingan itu berlangsung Belanda sudah sepakat berjanji untuk membiarkan Kanjeng Pangeran Diponegoro pulang dengan aman jika tidak ditemukan kata sepakat. Beberapa kesepakatan di antara Jendral de Kock sebelum perundingan itu berlangsung adalah, selama perundingan di Magelang Pangeran Diponegoro tetap dalam keadaan bebas dan merdeka, jika dalam perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, Pangeran Diponegoro bebas kembali ke tempat yang dikehendaki untuk melanjutkan peperangan, dan selama perundingan Pangeran Diponegoro tidak akan menambah jumlah pasukannya, begitu pula sebaliknya.
Namun seperti diketahui bersama, kata Pawit, Belanda ingkar janji. Ketika Pangeran Diponegoro tak mau menyudahi perang dan menuntut kemerdekaan murni, Jenderal de Cock memberi kode agar pasukan Belanda merangsek masuk ke dalam ruang perundingan dan menangkap Pangeran Diponegoro. Maka, tertangkaplah Pangeran Diponegoro yang kemudian langsung dibawa ke Ungaran. Lalu, pada hari yang sama itu pula Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Gedung Karesidenan Semarang.
Pawit mengatakan, pada tanggal 5 April 1830 Pangeran Diponegoro dipindahkan lagi ke Benteng Batavia dengan menggunakan Kapal Pollux. Setibanya di Batavia pada tanggal 11 April 1830, Pangeran Diponegoro ditahan di Stadhuis yang sekarang ini menjadi Museum Fatahillah. Pada tanggal 30 April 1830, sambung Pawit lagi, Gubernur Jenderal Van Den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan dan Pangeran Diponegoro pun diasingkan ke Sulawesi sampai wafatnya. “Bangunan Residen Kedu ini sengaja dipertahankan untuk melestarikan nilai sejarahnya. Memang, sejumlah bangunan sudah banyak yang dipugar, seperti mushola yang kini sudah dibangun masjid besar di utara museum. Namun semua koleksi yang ada di museum tersebut semuanya adalah merupakan barang peninggalan Pangeran Diponegoro semasa berada di Karesidenan Kedu”, pungkasnya.

Petilasan Raden Basah Sentot Dikenal Gawat
Tak jauh dari Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu dan Surakarta di Magelang, Jawa Tengah, terdapat sebuah cungkup makam keramat yang dipercaya sebagai petilasan Raden Ali Basah Sentot Prawiryodirjo. Makam itu berada di dekat Kali Progo yang mengalir di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro alias Bakorwil II Eks Karisidenan Kedu Surakarta. Raden Ali Basah Sentot adalah salah satu manggala yudha Pangeran Diponegoro yang dikenal sakti mandraguna.
Selama ini, Makam Raden Ali Basah Sentot Prawirodirjo dipercaya berada di Bengkulu. Kisahnya berawal ketika Raden Basah itu membelot dari Pangeran Diponegoro, dan memilih menjadi tentara bayaran kompeni Belanda. Raden Ali Basah lalu dikirim ke Sumatera Barat dengan tugas melawan pemberontakan Padri. Permintaan Raden Basah untuk kembali ke Jawa sesudah selesai Perang Padri tak dikabulkan oleh Belanda. Lalu ketika wafat pada 17 April 1855, Raden Basah dimakamkan di Bengkulu.
          Jauh sebelum terkena bujuk rayu kompeni Belanda, Raden Ali Basah Sentot merupakan salah satu senopati perang Pangeran Diponegoro yang sakti dan setia. Pada perundingan licik di Karisidenan Kedu, Raden Basah Sentot juga turut serta dalam rombongan. Menjadi lumrah, manakala kemudian tak jauh dari Karisidenen Kedu Surakarta tersebut terdapat makam yang dipercaya sebagai petilasan Raden Basah Sentot yang terkenal dengan sebutan Makom Mbah Basah.
          Kendati hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari Karisidenan Kedu Surakarta, Makom Mbah Basah sulit ditemukan. Letaknya berada di sudut selatan timur pedukuhan Kayuares, di bantaran Sungai Progo yang tersembunyi di balik hamparan luas persawahan desa setempat. Makom Mbah Basah terasa wingit, lantaran berada sendiri di tengah pojok desa yang sangat sepi. Sementara itu, pohon kamboja di belakangnya menghiasi cungkup makom yang berpagar keliling setinggi satu meter.
          Petilasan Ali Basah Sentot dibuatkan nisan dan bertuliskan namanya dalam huruf aksara Jawa. Sementara itu di pagar bagian depan cungkup makam bertuliskan nama sang juru kunci makam, Mbah Narko Bilowo. Memandang keluasan komplek Makam Mbah Basah di pekarangan kosong yang rimbun oleh semak dan pepohonan liar, membuat suasana pengepungan Belanda ketika terjadi proses perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Jendral De Kock bisa terasakan. Sangat mungkin, jika kemudian di tempat itu ada petilasan Raden Ali Basah Sentot yang ketika dalam perundingan memang turut serta mengiringi keberangkatan Pangeran Diponegoro.

Dikenal Angker
          Masih jarang orang mengetahui keberadaan Makom Mbah Basah. Warga setempat menyebutnya makom, yang berarti petilasan dan bukan makam yang berarti kuburan. Menurut Mbah Narko, Makom Mbah Basah ditemukan secara tidak sengaja. Ketika itu tahun 1968, ada seorang warga setempat bernama Mbah Wiryo yang tak berani pulang ke rumah lantaran kalah berjudi. Karena takut pulang itu, Mbah Wiryo memilih tidur di bawah pohon beringin besar di pinggir desa. Saking lelahnya, di tempat yang sebenarnya cukup membuat bulu kuduk merinding itu Mbah Wiryo terlelap tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, Mbah Wiryo seperti mendengar suara yang menyuruhnya pulang dan bertobat.
Pada lain waktu, kejadian aneh kembali terjadi. Salah seorang warga kesurupan dan meminta diantarkan ke lokasi Makom Mbah Basah. Akibat kejadian itu, Mbah Wiryo lalu meyakini tempatnya bermalam ketika kalah berjudi memang merupakan petilasan tokoh sakti. Lalu dari kontak batin diketahui tempat itu merupakan petilasan Raden Basah Sentot Prawirodirjo. Mbah Wiryo kemudian memberinya tanda dengan membangunkan cungkup kecil dan dikeramatkan. Sejak itu, banyak orang berdatangan untuk bertirakat menyampaikan ujub. Dari sekian pelaku tirakat yang kabul ujubnya, dibangunlah petilasan Mbah Basah seperti yang terlihat sekarang.
          Mbah Narko mengatakan, tak ada pantangan untuk bertirakat di Makom Mbah Basah. Namun permintaan jelek seperti meminta nomor togel atau berjudi bisa mendatangkan walat. Menurutnya, sudah banyak pelaku tirakat yang meminta ujub perjudian berakhir dengan malapetaka. Kendati sampai kini masih banyak orang laku tirakat di Makom Mbah Basah, namun jarang warga di desa itu yang mengetahui keberadaan makom. Warga setempat lebih mengetahui tentang keberadaan watu pasujudan, yang berada di tengah aliran Kali Progo di barat Museum Kamar Pengabdian Pangeran Diponegoro.
Watu Pasujudan itu dianggap aneh, lantaran ketika banjir besar batu tersbut tidak tenggelam. Namun warga kini sudah mengetahui, tidak tenggelamnya watu pasujudan itu karena memang batu itu merupakan dataran kecil di tengah aliran Sungai Progo. Batu itulah petilasan Pangeran Diponegoro, yang ketika menjelang perundingan dibangun gubuk untuk bersembahyang. Batu itu sampai kini juga masih ada, dan hanya sejumlah orang tertentu saja yang berani laku tirakat di atas batu tersebut. KOKO T.


0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat