Kamis, 16 Oktober 2014

Makam Mbah Sambu Lasem



Jejak Sejarah Mbah Sambu di Kota Lasem

Putra Pangeran Benowo yang Berjasa Menumpas Perampok
Menyusuri pusat kota Lasem, Jawa Tengah, ada sebuah bangunan masjid yang cukup besar, indah, dan megah. Banyak yang berkunjung ke masjid tersebut untuk beribadah dan beristirahat sejenak. Ada juga yang memiliki tujuan khusus dengan berziarah ke makam salah satu tokoh legendaris di daerah yang terkenal dengan keindahan batik lasemnya. Berikut ini kisahnya.


Dengan penelusuran data, Mbah Sambu memiliki nama asli Sayyid Abdurrahman Basayaiban dan wafat 1671. Beliau adalah putra Pangeran Benawa, putra dari Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya, raja dari Kerajaan Pajang, menantu Sultan Trenggono Raja Kerajaan Islam Demak.
Mbah Sambu dikenal berjasa dalam meredam aksi perompak yang menimbulkan kekacauan yang berlarut-larut di pusat kota Lasem. Wilayah Lasem saat itu meliputi Sedayu, Gresik, Tuban, Rembang, Pati sampai Jepara. Atas jasanya itu Mbah Sambu yang juga menantu Adipati Lasem diberi tanah perdikan meliputi lokasi Masjid Jami’ Lasem sekarang di Kec. Lasem sampai ke selatan di Kec. Pancur.
Mbah Sambu juga berhasil mengusir Kompeni VOC dari Rumah Gedong yang bermarkas di Kauman, Desa Karang Turi. Setelah kosong dikuasai Mbah Sambu memberi kesempatan menempati sementara kepada warga termasuk yang berstatus Boro (mencari kerja) selama tidak mampu membeli rumah atau kontrak. Sampai sekarang Rumah Gedong tua peninggalan abad 17 itu masih berdiri megah, masih ditempati beberapa kepala keluarga
Hingga akhir hayatnya dimakamkan di Lasem. Makamnya cukup dikeramatkan. Makam tersebut berada di dalam sebuah bangunan yang unik, indah, dan penuh karya artistik. Nuansanya juga cukup nyleneh, namun sungguh apik, arsitekturnya menyerupai bangunan ala tionghoa yang dipadu dengan budaya Jawa dengan begitu dinamis. Di dalam bangunan unik tersebut terdapat sebuah bangunan lagi berbentuk kubah dengan warna keemasan dan tembaga. Pada bagian pintunya terdapat sebuah papan nama bertuliskan, “Makam Mbah Sambu-Sayyid Abdurrohman”. Jika dirunut silsilahnya menyambung kepada Gus Dur, mantan Presiden RI.
Setelah memasuki ruang yang tidak begitu besar tersebut, terlihat taburan bunga-bunga pemakaman dan lembaran kain putih menyelubungi sebuah makam yang membuat suasana di dalam nampak kesakralannya. Di samping makam Mbah Sambu terdapat satu makam lagi yang berselubung kain putih, yakni makam istrinya Mbah Sambu. Nuansa sejuk terasa di dalam ruang makam ini karena digunakannya keramik yang berwarna hijau pada dinding dan lantainya.
Pemerintah seharusnya tanggap menetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Berbeda dengan makam yang disakralkan lainnya, makam ini cukup terbuka karena siapa pun bisa berkunjung dan memasuki ruang makam asalkan sopan dan bisa menjaga sikap. Tetapi yang jelas, ada aturan untuk mengucapkan salam sebelum memasuki ruangan makam.
Tak jauh dari makam Sambu juga ada beberapa makam kuno lainnya yang juga dinaungi bangunan. Makam-makam itu juga sering menjadi tujuan wisata religi. Sayang, keaslian situs makam-makam kuno pudar karena bangunan makam yang sudah disemen dan dikeramik. Mungkin hal itu dilakukan karena demi faktor kebersihan dan kenyamanan bagi para peziarah.

Tradisi Tahunan
Ada sebuah tradisi tahunan di makam ini yaitu Haul Mbah Sambu untuk mengenang sejarah dan perjuangan Mbah Sambu. Kegiatan itu dipusatkan di kompleks Makam Mbah Sambu dan Masjid Agung Kota Lasem. Bebergai kegiatan diadakan untuk menyemarakkannya seperti karnaval budaya, Batik Lasem Festival, khitanan massal, istighotsah, napak tilas sejarah, pentas kesenian dan sebagainya.
Kegiatan berupa tahlil dan doa bersama untuk peringatan Haul Mbah Sambu pada tanggal 19 Oktober. Dalam catatan Cerita Sejarah Lasem gubahan R.P. Kamzah (1858 Masehi) dan ditulis ulang oleh R.P. Karsono (1920 Masehi), nama beliau adalah Syekh Maulana Sham Bwa Smarakandhi dan masyarakat sekitar akhirnya menyebut beliau dengan nama Mbah Sambu. Tetapi, dalam prasasti marmer berukuran kecil bertuliskan huruf Arab menyatakan bahwa nama asli beliau adalah Sayyid Abdurrahman bin Hasyim bin Sayyid Abdurrahma Basyaiban.
Beliau berasal dari Tuban dan menetap di Lasem untuk kemudian berdakwah dan menjadi guru agama bagi masyarakat Lasem pada abad ke-15 Masehi. Karisma beliau begitu dikenal terutama bagi kalangan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa. Dari beliau jugalah Ulama-Ulama di Lasem lahir, sehingga sampai sekarang banyak sekali pondok-pondok pesantren di daerah Lasem. Sehingga Lasem juga dikenal dengan sebutan Kota Santri. Cahya

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat