Senin, 13 November 2017

Sayyidah Al Hababah Hodijah di Bangil


Kisah Syarifah Al Hababah Khadijah Putri Sunan Gunung Jati

Tugas Dakwah Gantikan Sunan Ampel di Bangil

Bangil merupakan salah satu kota tua di Jawa Timur. Zaman dahulu  banyak penyebar agama Islam  berdatangan.  Di antaranya  adalah Syarifah Al Hababah Khadijah. Yang mendapat tugas berdakwah dari ayahnya, Sultan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia mendapat sebutan wanita penyebar agama Islam. Berikut ini kisahnya.

Syarifah Al Hababah adalah salah seorang putri Sunan Gunung Jati, Sultan Kerajaan Cirebon. Sejak kecil telah mendapat didikan agama Islam  dari ayahnya. Karena itulah, ia tumbuh sebagai seorang putri yang alim dan berpengetahuan agama yang luas, bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya.   
Setiap hari, Syarifah Al Hababah lebih suka berdiam diri di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Baik siang maupun malam, untuk melakukan ibadah. Guna mempraktikkan ilmu yang diajarkan ayahnya setiap usai salat Subuh.  
Menginjak usia dewasa, ia membalut tubuhnya dengan kain panjang dan rambutnya ditutup dengan jilbab. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslimah. Selain itu, memberikan contoh kepada wanita-wanita muda untuk berkerudung. Karena pada waktu itu jarang sekali wanita muda yang berkerudung.
Kemudian tiap bulan, ia selalu mengadakan pengajian-pengajian keliling desa. Jamaahnya adalah kaum wanita tua dan muda. Dalam dakwahnya menggunakan pendekatan bil hikmah. Artinya, dengan menggunakan dalil Alquran dan Hadist yang tidak terlalu keras. Sebagaimana yang dilakukan para sufi di Timur Tengah. Karena yang didakwahi wanita-wanita yang masih awam terhadap ajaran Islam.
Setelah sekian lama berdakwah di Cirebon, maka sang ayah Sultan Syarif Hidayatullah menyarankan agar pergi ke kota Bangil untuk menyebarkan agama Islam. Sebagai pengganti  Sunan Ampel yang telah lama meninggalkan kota tersebut menuju Surabaya. Dengan harapan, nantinya penduduknya tetap memeluk agama Islam.
Saran itu dilaksanakan, maka pergilah Syarifah Al Hababah Khadijah menuju ke Bangil bersama putranya. Yaitu Syarif Sulaiman. Di tempat yang baru inilah ia melakukan dakwah Islam. Tidak ada hambatan dalam dakwahnya. Karena masyarakat telah mengenal ajaran Islam sejak datangnya Sunan Ampel.
Pada waktu senggang, saat tidak melakukan aktivitas dakwah, Syarifah Al Hababah Khadijah melakukan mujahadah di dalam rumahnya yang berada di samping alun-alun kota Bangil. Waktunya lebih banyak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bila tiba bulan Ramadan, ia selalu menyempatkan diri berdakwah keliling kampung Bangil dan mengadakan pengajian di rumahnya. Kaum wanita banyak yang berdatangan untuk mendengarkan siraman rohani dan menanyakan berbagai macam problema.
Bagi kaum wanita waktu itu, keberadaan putri Sunan Gunung Jati ini sangat dibutuhkan. Karena waktu itu tidak ada dai wanita. Yang ada hanya kaum laki-laki. Oleh karena itu, mereka menyebut dengan sebutan wanita penyebar agama Islam.
Ia melakukan dakwah Islam menggantikan Sunan Ampel yang  telah pindah di Surabaya. Dalam dakwahnya tidak banyak mengalami kesulitan. Karena  sudah banyak yang masuk Islam masyarakatnya. 
Hingga akhir hayatnya, ia tinggal di Bangil. Lokasinya  tidak jauh dari Masjid  Jamik Bangil. Persisnya di depan alun-alun.
Makam Syarifah  Al Hababah Khadijah berada dalam komplek makam islam yang jumlahnya cukup banyak. Namun dalam perkembangannya makam yang cukup banyak itu dihilangkan  dengan berdirinya  Gedung Kesenian Lekra Anderbou PKI. Kemudian  tahun 70 an  beruvah menjadi pasar. Kini  hanya tinggal beberapa makam saja yang masih ada. Makam tersebut berada dibelakang pasar. 
Sepeninggal Syarifah  Al Hababah Khadijah, dilanjutkan perjuangan dakwahnya oleh putranya Syarif Sulaiman.
Kemudian setelah  Bangil  masyarakatnya telah masuk Islam semua, Sayyit Sulaiman  pergi berdakwah di Probolinggo. Karena, pada waktu itu masyarakatnya masih belum memeluk agama Islam. Beberapa tahun kemudian mendirikan pondok pesantren, yang kini terenal dengan nama Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Setelah itu melanjutkan perjalanan  menuju ke Surabaya dan mendirikan  Pondok Pesantren Sidosermo. Beberapa tahun kemudian menuju ke Mojoagung hingga akhir hayatnya. HUSNU MUFID.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat