Minggu, 26 Mei 2013

Konferwil PWNU Jatim 2013


Kontroverso Ahlul Halli Wal Aqdi di Konferwil PWNU Jatim

Secara harfiyah, ahlul halli wal aqdi berarti orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Para ulama fiqih mendefinisikannya sebagai “orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga Negara)”. Dengan kata lain, ahlul halli wal aqdi adalah :”Orang-orang yang berwenang merumuskan dan menetapkan suatu kebijaksanaan dalam pemerintahan yang didasarkan pada prinsip musyawarah”.
Para ulama fiqih menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis ini, antara lain :Pertama, Rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang. Kedua, Rakyat secara perorangan (individual) tidak mungkin dikumpulkan dalam satu tempat untuk melakukan musyawarah, apalagi secara kodrati kemampuan mereka pasti berbeda-bedaKetiga, Musyawarah hanya dapat dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas, sehingga jika seluruh rakyat dikumpulkan akan sulit melakukannyaKeempat, Amar makruf nahi munkar akan dapat dilaksanakan apabila ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat.
Kelima, kewajiban taat kepada ulil amri baru mengikat apabila telah ditetapkan oleh lembaga musyawarah. Keenam, agama Islam menetapkan bahwa segala urusan kemasyarakatan dan kenegaraan harus di tegakkan berdasarkan prinsip musyawarah
Pada masa modern sekarang ini, lembaga ahlul halli wal aqdi juga ikut berkembangan selaras dengan perkembangan zaman. Para ulama berpendapat pentingnya membentuk lembaga Perwakilan Rakyat melalui proses Pemilihan Umum.
Adapun syarat-syarat menjadi  anggota  ahlul halli wal aqdi terdiri dari anggota masyarakat yang memiliki  antara lain : Pertama, Memiliki kepribadian yang jujur, adil dan penuh tanggung jawab. Kedua, Memiliki ilmu pengetahuan yang luas sesuai dengan bidang keahliannya dan bertakwa kepada Allah SWT. Ketiga, Memiliki keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta teguh dalam pendirian meskipun resikonya besar. Keempat, Merakyat, sehingga senantiasa peka dan peduli terhadap kepentingan mereka. Kelima, Berjiwa ikhlas, dinamis dan kreatif. Keenam, Dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan yang jujur dan adil
Adapun hak dan kewajiban Majelis Syura sebagai lembaga tertinggi Negara yaitu : Pertama, Memililih, mengangkat dan memberhentikan khalifah. Kedua, Mewakili rakyat dalam bermusyawarah dengan khalifah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dan berbagai kepentingan rakyat. Ketiga, Membuat undang-undang bersama khalifah demi memantapkan pelaksanaan syariat Islam. Keempat, Menetapkan garis-garis program Negara yang akan dilaksanakan  khalifah. Kelima, Menetapkan anggaran belanja Negara. Keenam, Merumuskan gagasan dan strategi untuk mempercepat tercapainya tujuan Negara. Ketujuh, Menghadiri sidang majelis setiap saat persidangan
Sementara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta konsep Ahlul Halli wal Aqdi jangan dulu dipakai dalam Konferensi Wilayah (Konferwil) NU Jawa Timur yang akan digelar akhir Mei nanti. AD/ART NU yang telah disepakati dalam Muktamar Makassar 2010 lalu sebagai forum permusyawaratan tertinggi di lingkungan NU belum mengesahkan konsep itu.
“Jika ada yang menghendaki Ahlul Halli wal Aqdi diterapkan dalam Konferwil NU Jatim, PBNU meminta ditunda dulu pelaksanaannya sampai ada pembahasannya dalam Muktamar mendatang,” kata Wakil Sekjen PBNU H. Sulthon Fathani kepada NU Online di kantor PBNU Jakarta, Rabu (15/5).
Keputusan itu diambil dalam Rapat  Harian Syuriyah dan Tanfidziyah awal Mei lalu dan ditegaskan kembali dalam Rapat Harian tanfidziyah, Selasa (14/5) tadi malam.
Menurut Sulthon, di kalangan PBNU sendiri para pengurus mempunyai pandangan yang berbeda mengenai Ahlul Halli wal Aqdi atau pemilihan rais syuriyah dan ketua tanfidziyah oleh semacam dewan khusus yang dibentuk.
Ketua PBNU H Slamet Effendi Yusuf misalnya, menyatakan, konsep tersebut sudah tidak pas jika diterapkan sekarang. Ia adalah salah seorang yang terlibat aktif dalam Muktamar NU di Situbondo 1984 yang menerapkan konsep ini dan menetapkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU.
“Waktu itu kita membutuhkan konsep itu, tapi sekarang tidak pas lagi diterapkan sekarang. Alasan Pak Slamet, saat ini kita kesulitan menentukan siapa-siapa tokoh yang bisa jadi referensi untuk menunjuk ketua umum,” kata Sulthon.
Namun terkait dinamika yang terjadi di daerah-daerah, PBNU sendiri telah menyiapkan rumusan Ahlul Halli wal Aqdi untuk dibahas dalam Munas atau Muktamar mendatang. Rapat juga telah menunjuk Rais Syuriyah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi dan Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali untuk mematangkan konsep itu.
“Jadi ahlul Halli wal Aqdi belum bisa diterapkan sampai dibahas dan disetujui dalam Muktamar. Namun PBNU tetap merekomendasikan konsep Ahlul Halli wal Aqdi ini diterapkan secara kultural, misalnya PCNU atau PWNU (pemegang suara: red) menemui beberapa kiai-kiai atau tokoh di beberapa daerah jika memungkinkan untuk dimintai pertimbangan mengenai siapa yang pantas memimpin NU,” pungkas Sulthon.

HUSNU MUFID

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat