Senin, 31 Juli 2017

Sunan Kalijogo


Kisah Sunan Kalijaga Mengislamkan Penduduk Pinggir Sungai  Utara Pulau  Jawa

Ajarannya Terkesan Sinkretis Dalam Mengenalkan Islam

Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang berpenampilan lain. Tidak menggunakan sorban. Begitupula  cara dan lokasi dakwahnya juga berbeda  dengan Walisongo pada umumnya. Lebih suka berdakwah di masyarakat yang berada dipinggir sungai. Berikut ini kisahnya.

Sunan Kalijogo adalah putra Tumenggung Tuban Wilatikta yang hidup  zaman kerajaan Majapahit. Masa kecilnya dihabiskan hidup di dalam kadipaten. Ia merupakan anak pertama dan merupakan laki-laki satu-satunya. Kedua orang tuanya sangat menyayangi. Karena dianggap sebagai putra mahkota. Panggilan aslinya Raden Sahid.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten. Bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Awal mula pertama Sunan Kalijaga melakukan dakwah adalah di daerah Kudus. Yaitu di pinggir Sungai Gelis dan Sungai Rah Tawu Muria. Di sini Sunan Kalijaga memang melakukan dakwah karena di wilayah pinggiran sungai itu banyak masyarakat yang tinggal dan masih memeluk agama lain. Ia berhasil mengislamkan masyarakat di daerah tersebut dengan media pagelaran Wayang Kulit. Karena waktu itu tontonan yang paling disukai masyarakat adalah Wayang Kulit.
Kemudian dari Sungai Rah Tawu Muria melanjutkan  dakwahnya   menuju Sungai Kecapi Jepara dengan menggunakan perahu. Disini Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat setempat. Dakwahnya cukup menarik. Tidak membuat gesekan dengan masyarakat setempat.

Gundul Pacul
Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Lagu tersebut sangat mengena dihati masyarakat luas.
Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.HUSNU MUFID

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat