Selasa, 24 Desember 2013

Prabu Tawang Alun

Kisah Sunan Tawang Alun I di  Lamongan

Sembunyikan Identitas Raja Dalam Berdakwah

Tak banyak yang tahu siapa sosok Mbah Alun. Di era tahun 1960an makam ini lebih terkesan angker lantaran dikelilingi pohon besar. Namun setelah beberapa tahun kemudian kesan tersebut hilang. Sejak direnovasi banyak pengunjung dari berbagai daerah yang mengunjungi makam ini hanya sekedar ngalap berkah. Berikut ini laporan posmo.

Makam Mbah Alun terletak di desa Balun Kecamatan Turi, Lamongan.  Di kampung ini berdiri tiga rumah ibadah dari tiga agama berbeda yang saling berdekatan. Tak heran jika Balun dikenal sebagai “Kampung Pancasila” atau desa tri kerukunan, lantaran harmoninya hubungan dan toleransi tinggi ketiga pemeluk agama.
Menurut Hadi, juru kunci nama desa Balun diambil dari nama makam sesepuh yang ada di desa mereka yakni Mbah Alun. Meski begitu tak banyak warga yang tahu bagaimana cerita sosok Mbah Alun ini. Warga hanya tahu kalau makam yang terletak ditengah-tengah pemakaman umum tersebut dikeramatkan.
Semasa kecil Raden Alun dibesarkan di Lamajang dan Kedhawung mengikuti orang tuanya sebagai Tumenggung yakni Menak Lumpat yang bergelar Sunan Rebut Payung. Tahun 1589, Raden Alun dititipkan oleh ayahnya untuk mengaji ke Sunan Giri.
Menak Lumpat adalah anak dari Menak Lampor Adipati Wredati masih keturunan Lembu Miruda dari Majapahit bergelar Lembu Anisraya yaitu panembahan Gunung Bromo yang masih menguasai watu putih dan Blambangan.
Tahun1591-1596 Sunan Rebut Payung berhasil mengalahkan Blambangan. Kemudian ia mengangkat adiknya Minak Luput menjadi senopati dan Minak Sumendhe menjadi penguasa Kerenon. Tahun 1596 Blambangan diserang oleh pasukan dari Pasuruan hingga terjadi peperangan hebat. Raden Alun saat itu yang sudah menjadi santri Sunan Giri juga ikut membantu melawan Pasuruan.
Tahun 1624 Raden Alun dilantik menjadi raja Lamajang Kedhawung bergelar Sunan Tawangalun. Raden Alun memiliki 4 orang anak yakni Gedhe Buyut yang merupakan Syahbandar pelabuhan Sidayu Lama Kecamatan Brondong. Kini makamnya bisa dijumpai di Buyut Setana Brondong.
Yang kedua adalah Mas Wdarba yang dinikahi Adipati pesisir utara Jawa. Kemudian Lanang Dhagiran yang dikenal dengan sebutan Kyai Brondong yang kemudian pindah menjadi Syahbandar di Bataputih yang kemudian disebut sebagai Sunan Bataputih yang makamnya kini terlenak berseberangan dengan Sunan Ampel. Terakhir adalah Mas Kembar, yaitu raja Blambangan dengan gelar Sunan Tawangalun II (1645-1691).

Kuasai Ilmu Laduni

Saat dikejar-kejar Belanda, Sunan Tawangalun ditolong oleh anaknya Lanang Dhangiran. Saat itu Sunan Tawangalun memilih melarikan diri ke wilayah Lamongan. Lanang Dhangiran kemudian menyembunyikan ayahnya ke tempat yang aman yaitu di desa Candipari (kini Balun). Dalam persembunyiannya ini, Raden Alun mengajarkan serta berdakwah Islam secara mandiri.
Disinilah Sunan Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja, maka beliau dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuatif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain. Mus Purmadani



0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat