Rabu, 24 Agustus 2016

Syekh Maulana Magribi dan Syekh Jambu Karang



Kisah Syekh Maulana Magribi di Gunung Panungkulan
Menghislamkam Putra Raja Pajajaran Melalui Adu Kesaktian
Syekh Maulana Magribi seorang wali yang berasal dari Timur Tengah datang ke Pulau Jawa setelah mendapat ilham untuk  mendatang Tiga Cahaya Putih. Ia berhasil mengislamkam seorang  pertapa anak Raja Pajajaran yang telah menguasai cahaya tersebut setelah adu kesaktian. Berikut ini kisahnya.       

Syekh Maulana Magribi seorang ulama dari Timur Tengah bukan hanya memiliki ilmu agama yang cukup tinggi. Tapi juga mempunyai ilmu karomah tingkat tinggi. Oleh karena itu, dalam dakwahnya juga menggunakan ilmu karomah yang disertai ilmu silat tenaga dalam. Hal tersebut sesuai dengan zamannya.
Suatu hari  Syekh Maulana Magribi,  sesudah sholat Subuh mendapat Ilham agar menemukan  tiga buah cahaya putih menjulang tinggi diangkasa yang letaknya di Pulau Jawa.  Maka berangkatlah  bersama-sama dengan 298 sahabatnya menuju Pulau Jawa dengan mengarungi samudera yang ombaknya cukup besar.
Kemudian sampailah mereka di pelabuhan  Gresik. Dipandangilah langit-langit yang penuh dengan bintang. Tapi tidak terlihat  ada tanda-tanda tiga cahaya putih yang sesuai dengan ilhamnya.   Setelah sekian lama tinggal di Gresik, terlihatlah cahaya terang yang sedang dicarinya itu disebelah barat. Kemudian mengambil keputusan kembali kearah barat menuju pelabuhan  Pemalang Jawa Tangah. Ditempat tersebut Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk sementara bermukim ditempat itu
Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu dilakukan hingga akhirnya sampailah  di tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka seorang pertapa yang menyandarkan dirinya pada sebatang pohon jambu yang mengeluarkan sinar yang bercahaya menjulang tinggi ke angkasa.
Dari Pemalang menuju ke selatan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya
‘Pertapa itu adalah Raden Mundingwangi putra Raja Pajajaran I.  Ia tidak mau dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Tapi lebih suka menjadi seorang pertapa disejumlah gunung. Bahkan berhasil menemukan Tiga Cahaya Putih  beserta 160 pengikutnya di Gunung Panungkulan di Desa Grantung Kecamatan Karangmoncol,”ungkap KH. KRT. MUrsyiddafa Alfatahillah, SH, MA pewaris ilmu Syekh Jambu Karang dari Banjarnegara. .
Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawab oleh Raden Mundingwangi. Karena tidak paham dengan bahasa Arab. Lantas  Haji Datuk dan  Syekh Maulana Maghribi menyapa dengan bahas India.
Mendengar bahasa India, maka  Raden Mundingwangi menjawab : ‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha yang Sakti’. Kemudian  Syekh Maulana Maghribi meminta kepada pertapa tersebut untuk menunjukkan kesaktiannya. Maka  diambillah tutup kepalanya yang berupa kopiah itu dapat terbang di angkasa.
Syekh Maulana Maghribi  mengimbangi dengan melepaskan bajunya dan dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang di udara dan selalu menutupi kopiah si pertapa. Hal itu menandakan bahwa kesaktiannya lebih unggul. Tetapi Raden Mundingwangi belum mau menyerah dan masih akan mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun telur setinggi langit.
Syekh Patas Angin
Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana Maghribi merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu saja, maka dengan tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau mengambil telur itu satu persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh.
Ternyata pertapa itu tidak sanggup melakukannya. Karena si pertapa sudah benar-benar tidak melakukannya hal tersebut, maka Syekh Maulana Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai dari bawah sampai selesai dengan tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh Maulana Maghribi masih merasa belum puas dan masih meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan memperlihatkan pemupukan periuk-periuk berisi air sampai menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi berkata : ‘Ambillah periuk-periuk itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang berjatuhan’. Setelah ternyata tidak ada kesanggupan dari Raden Mundingwangi, maka beliau sendirilah yang melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan airnya memancar kesegala penjuru.
Akhirnya Raden Mundingwangi menyerah kalah serta berjanji akan memeluk agama Islam.
Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selanjutnya dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah). Kemudian dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung).
Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng tidak mengenal kering dimusim kemarau.
Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Sesaat setelah Syekh Jambu Karang menerima wejangan, turun hujan lebat disertai dengan angin ribut yang mengakibatkan pohon-pohon disekeliling tempat itu menundukkan dahan-dahannya seperti sedang menghormati Gunung Kraton yaitu tempat dimana Syekh Maulana Maghribi sedang memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim.
Sebagai rasa terimakasih, maka  Syekh Jambu Karang mempunyai seorang putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh Maulana Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim dengan mas kawin berupa mas merah setanah Jawa.
Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang, Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari perkawinannya tersebut menurunkan lima orang putera dan puteri, yaitu :Makdum Kusen,  Makdum Medem, Makdum Umar,  Makdum,  Makdum Sekar.
Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk agama Islam, maka namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. Kemudian Syekh Jambu Karang akan mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu tempat yang serasi dan cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit ‘Kraton’.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat