Kisah Sunan
Bejagung Lor dengan Patih Barat Katigo
Tunjukkan Karomahnya Lewat Buah Maja
Sunan Bejagung
Lor merupakan seorang wali yang hidup di zaman kerajaan Majapahit. Ia tidak
berhubungan dengan Istana kerajaan Demak maupun Majapahit. Lebih memilih
tinggal di sebuah desa Semanding Tuban untuk dijadikan sebagai pusat
dakwahnya. Bagaimana kisahnya.
Sunan bejagung
Lor nama aslinya adalah Syaikh Abdullah Imamuhdin Asy’ari merupakan seorang
wali yang tidak termasuk kedalam kelompok Walisongo. Ia menetap di Semanding
Mojoangung Tuban yang waktu itu masuk
kedalam kadipaten Majapahit. Dasar tersebut itulah ia jadikan sebagai pusat pengembangan dakwah Islam.
Syaikh Ibrahim
Ash-Shamarqandy atau sering disebut Brahim Asmoro, memilih Desa Kradenan yang
berada di pesisir timur kotaraja Tuban sebagai tempat bermukimnya, sementara
Syaikh Abdullah Imammuhdin Asy’ari memilih tempat di dekat kotaraja Mojoagung
Kadipaten Tuban..
Kegiatan
dakwahnya menyentuh dihati rakyat Mojopahit. Oleh karena itu, dalam waktu
singkat banyak yang memeluk agama islam. Hal ini terdengar hingga ke wilayah istana kerajaan
Majapahit yang waktu itu memeluk agama Siwa Budha.
Kemudian Raja
Majapahit menutus seorang patih yang
cukup sakti bernama Patih Barat Ketigo. Setelah sampai di pesantren Syaikh Imammuhdin Asy’ari atau Sunan
Bejagung, maka patih tersebut langsung menantang adu ilmu kesaktian. Tanpa bertarung secara fisik.
Patih Barat
Ketigo berjanji jika mampu mengalahkan Syaikh Imamuhdin Asy’ari, maka pesantren
harus ditutup. Karena dianggap mengancam
keberadaan agam Siwa Budha yang merupakan agama resmi kerajaan Majapahit.
Adu ilmu
kesaktian itu berupa menjatuhkan buah kelapa sebanyak-banyaknya. Siapa paling
banyak, maka dialah yang akan menang. Tantangan itu dilayani oleh Sunan
Bejagung Lor guna menyelamatkan pesantren dan kegiatan dakwahnya.
Untuk pertama
kali yang meruntuhkan buah kelapa adalah Patih Barat Katigo. Kemudian mendekati sebatang pohon kelapa dan dengan
sekali goyang semua buah kelapa berjatuhan di tanah. rasa bangga ditunjukkan
kepada Sunan Bejang. Karena tanpa harus memanjat pohon kelapa. Tapi bisa
menjatuhkan cukup banyak buah kelapa.
Kemudian giliran
Sunan Bejagung Lor mengambil buah kelapa. dengan membaca asma Allah, maka
dipanggillah pohon kelapa itu. Seketika itu pula pohon yang tinggi menjulan
melengkung ke bawah dihadapan Sunan
Bejagung.
Saat itu ia
mengambil satu buah tanpa mengambil semuanya. Seketika itupula pohon kelapa
berdiri tegak menyulang ke langit. Melihat peristiwa itu menjadikan Patih Barat Katigo heran dan takjub akan kesaktian
musuhnya.
Sunan
Bejagung kemudian mengambil sebutir buah
maja seukuran bola tenis, lalu mengisinya dengan air buah kelapa diberikan
kepada patih dari kerajaan Majapahit yang mengalami kehausan. Anehnya, kendati
telah diminum berkali-kali hingga perutnya kekenyangan, air dalam buah maja itu
tak juga habis.
Selanjutnya Syaikh Imamuhdin Asy’ari menasehati Patih
Barat Ketigo agar jangan tamak dalam hal
minum air buah kelapa. Perut manusia hanya cukup diisi air sebanyak buah
maja, tidak harus menjatuhkan seluruh buah kelapa.
Nasehat tersebut
rupanya menyentuh hati sanubari Patih
Barat Katigo. Hingga akhirnya, mengakui ketinggian ilmu Sunan Bejagung. Setelah
itu patih tersebut meninggalkan lokasi pertarungan kesaktian dan pulang ke
Majapahit.
Tempat yang
menjadi sakti adu kesaktian antara Sunan Bejagung dengan Patih Barat Katigo
diberi nama Mojoagung. Lambat laun karena pelafalan dari Mojogung, Mejagung,
terus berubah menjadi Mbejagung sampai sekarang ini.
Hadapi Prajurit
Majapahit
Sesampainya di
istana kerajaan, patih melaporkan kepada raja Majapahit. Mendengar ketidakberhasilannya itu, menjadikan sang
raja naik pitam dan marah besar. Kemudian
Raja Majapahit mengerahkan ratusan prajurit dengan menunggang gajah. Mengetahui hal itu, Sunan
Bejagung mengambil sebatang ranting
pohon dan membuat garis melingkari wilayah pesantrennya yang didirikan.
Atas karomah
yang dimilikinya, prajurit Majapahit tidak melihat apa-apa saat mendekati
pesantrennya di Bejagung. Bahkan mereka bersama gajahnya mendadak menjadi batu.
Kini batu itu dinamakan Watu Gajah. Lokasinya berada di selatan Pesarean Bejagung. Karena
batu-batunya memang sangat mirip barisan gajah.
Setelah
peristiwa penyerbuan itu, ada anak raja Majapahit yang berguru kepada Sunan
Bejagung. Anak raja itu kini mendapat
sebutan nama Sunan Bejagung Kidul. Dengan demikian, ia mampu mengislamkan
seorang patih dan putra raja kerajaan Majapahit.
Kini makamnya
banyak dikunjungi umat Islam. Khususnya Jumat Wage. Lokasi makamnya cukup luar.
Masih banyak pepohonannya. Setiap orang ziarah merasa nyaman dan tentram.
Karena lokasinya mendukung. Masyarakat
sejak dulu masih mempercayai kalau likasi makam memiliki kekeramatan
yang cukup tinggi.
Konon, pada era
imperalisme Eropa di Tanah Jawa, tak ada satupun orang-orang dari belahan dunia
barat itu yang bisa memasuki kawasan Makam Modin Asngari di Desa Bejagung,
Kecamatan Semanding ini.
Kalau Anda
kebetulan berkunjung ke Tuban, dan terlebih juga sedang wisata religi. Jangan lupa berziarah ke makam Sunan
Bejagung. Memang, tidak sepopuler makam Sunan Bonang. Tapi jangan salah, selain
ramai dikunjungi, terlebih pada Jum’at Wage, makam ini juga dianggap bisa
mendatangkan berkah. HUSNU MUFID
Dalam
riwayatnya wilayah Bejagung pun tidak
pernah terjamah penjajahan Belanda. Bahkan hingga masa clash II tahun 1948,
keramat Tanah Bejagung masih bertahan. Tentara NICA yang mendarat di pantai
Glondonggede dan berhasil menguasai kota Tuban, tetap tak mampu menjamah
Bejagung. Bejagung pun tetap menjadi wilayah aman bagi para pengungsi dan
pejuang.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat