Selasa, 15 November 2016

Bedah Buku Surabaya 1945 di UINSA Surabaya








Dari Bedah Buku Surabaya 1945 Sakral Tanahku di Surabaya

Daerah Merdeka Pertama RI dari Kekuasaan Bangsa Asing

Buku yang berjudul Surabaya 1945 Sakral Tanahku karya Frank Palmos, sejarawan dari Australia, mendapat perhatian yang cukup besar dalam acara Bedah Internasional yang diadakan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jumat, (11/11) jam 14.00 WIB di Auditorium UINSA Surabaya kemarin. Seperti apakah isinya?

Bedah Buku Surabaya 1945 Tanah Sakralku dengan narasumber Frank Palmos dan Dr. H. Achmad Muhibbin Zuhri, M.Ag, Ketua PC NU selaku pembanding dan dimoderatori Rizal, Ketua Lembaga Tahlid Wan Naser (LTN) mendapat perhatian cukup besar dari peserta.
Dalam bedah buku tersebut, Frank Palmos menyatakan, Jawa Timur khususnya Surabaya merupakan daerah yang merdeka pertama kali dari kekuasaan bangsa asing. Boleh dikatakan sebagai tanah hitam atau sakral yang tidak masuk dalam kekuasaan. Sedangkan kota-kota lain sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Waktu itu 50 persen wilayah Surabaya telah dikuasai Republik. Belanda tidak mampu menguasai. Kendali kekuasaan ada di tangan Arek Suroboyo yang berani mati.
Hal tersebut karena sikap heroisme rakyat Surabaya membara saat para penjajah ingin kembali menguasai Indonesia sekaligus merenggut kemerdekaan yang hampir diraih. Merdeka atau mati merupakan motto para pejuang ketika melawan para penjajah. Khususnya arek-arek Suroboyo yang kala itu semangatnya tengah berkobar seakan tidak bisa dipadamkan. Hingga puncaknya pada 10 November 1945.
Dengan berani, pejuang di Surabaya mencapai tiga capaian: menaklukkan pasukan Jepang dan melucuti senjatanya, melawan dan menggagalkan kekuatan Belanda yang hendak mengambil kembali bekas jajahannya, dan menantang tentara gabungan Inggris-India dengan misi mereka memulangkan pasukan Jepang yang telah kalah perang dan membantu Belanda berkuasa kembali di Hindia Timur (Indonesia).
”Pertempuran Tiga Hari” berlangsung tanggal 27-29 Oktober 1945. Frank mencatat ini sebagai serentetan sergapan terencana tentara rakyat Surabaya terhadap pasukan Inggris di jalan-jalan Kota Surabaya, hingga kemudian didatangkan Presiden RI Soekarno untuk meredakan pertempuran. Dalam suatu bentrokan dengan pasukan rakyat Surabaya di dekat Jembatan Merah, komandan pasukan Inggris di Surabaya, Brigadir AWS Mallaby, pada 30 Oktober 1945, tewas.

Kiai Enggan Ditulis Sejarah
Peristiwa inilah yang membuat Inggris mengeluarkan ultimatum penyerahan senjata seluruh rakyat Surabaya yang dibatasi hingga 10 November 1945, pukul 06.00. Rakyat Surabaya tidak menggubrisnya. Mereka malah memilih perang meski terdesak sampai selatan Kota Surabaya.
Inilah wujud patriotisme rakyat Surabaya dalam membela simbol negara sekaligus mempertahankan kemerdekaan. Ya, diakui, hanya di Surabaya, pejuang RI mampu memberikan perlawanan yang berarti bagi pasukan Jepang dan Inggris-India. Para Arek Suroboyo, di bawah arahan jitu para tokoh nasionalis lokal, melucuti senjata tentara Jepang, menggagalkan usaha Belanda menundukkan Surabaya dan akhirnya menggempur pasukan Inggris-India di bulan Oktober 1945.
Rakyat Surabaya akhirnya berhasil memenangkan pertempuran, sekaligus mencatat sejarah Surabaya sebagai wilayah Indonesia yang tetap merdeka. Begitulah sedikit gambaran di mana arek-arek-Suroboyo begitu hebatnya saat merebut kemerdekaan.
Sementara Dr. H. Achmad Muhibbin Zuhri, M.Ag, Ketua PC NU mengatakan, buku Surabaya 1945 Sakral Tanahku yang ditulis Frank Palmos mengisahkan tentang perjuangan Arek Suroboyo. Namun tidak mengetengahkan perjuangan kiai dan santri. Padahal perannya dalam Peristiwa 10 November 1945 cukup besar.
Memang sejarah Indonesia tidak mencantumkan peran kiai dan santri. Hal tersebut karena penulisan sejak tahun 1980-an para sejarawan hanya mewawancarai para petinggi militer bekas pejuang kemerdekaan. Ditambah lagi memang pemerintah Orde Baru yang saat itu sedang bermusuhan dengan para kiai tidak mau menuliskan sejarah perjuangan kiai dan santri dalam sejarah.
Ditambah lagi para kiai memang tidak mau ditulis dalam sejarah dengan alasan nanti pahalanya akan hilang. Para kiai waktu itu memang ikhlas dalam berjuangan untuk kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Akibatnya hingga sekarang perannya tidak ada di buku sejarah Indonesia. Salah satunya Resolusi Jihad yang sekarang diperingati sebagai Hari Santri.
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus menulis sejarah versi sendiri. Kalau orang lain tidak mau menulis sejarah Resolusi Jihad dengan alasan tidak pernah diberitakan di koran Asia yang waktu itu terbit. Namun kita punya bukti autentik kalau Resolusi Jihad telah diberitakan di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Koran ini ditemukan di Belanda. Cahya/Haris

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat