Selasa, 15 November 2016

Sunan Panjunan




Kisah Sunan Panjunan Berdakwah Kesultanan Cirebon

Ajarkan Ilmu Agama dan Ketrampilan Membuat Gerabah

Syekh Abdurrachman oleh masyarakat Cirebon doberi gelar Sunan Panjunan. Karena ia  awalnya bertempat tinggal di Panjunan dan  mendirikan Masjid Panjunan. Kemudian pindah ke daerah Plagon hingga akhir hayatnya. Berikut ini kisahnya.

Sunan Panjunan ketika berada di negeri asalnya bernama Pangeran Abdulrachman. Karena ia  adalah putra  Sultan Bagdad.  Konon asal mula mereka meninggalkan negaranya adalah karena mendapat murka dari ayahandanya sebagai tokoh agama penganut  Islam aliran Al-Hallaj. Ia  diusir beserta semua pengikutnya dalam tiga buah kapal yang berisikan lima ratus orang.
Kapal yang dinaikinya mendarat di pelabuhan Cirebon. Masuk wilayah saudaranya yang kini menjadi raja di Cirebon. Yaitu Sunan Gunung Jati.   
Setibanya di Cirebon, Sunan Panjunan segera menghadap penguasa setempat  dan mohon izin untuk diperkenankan tinggal. Permintaannya disetujui dan mereka semua ditempatkan di daerah Panjunan Cirebon yang tidak jauh dari pusat kerejaan Kesultanan Cirebon.
Di Cirebon  ia menyempatkan diri belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Djati.  Setelah dinyatakan lulus sebagai murid, maka Sunan Panjunan berdakwah dengan masyarakat sekitar. Ia bukan hanya mengajari masyarakat dengan ajaran Islam, tapi juga mengajarkan ilmu membuat  gerabah. Hingga akhirnya menjadi mata pencaharian  masyarakat setempat. Karena itulah sang pangeran mendapat julukan Sunan  Panjunan dan daerah yang mereka tempati kemudian dikenal dengan nama Panjunan.
Kata Panjunan diambil dari kata Jun yang berarti gerabah. Walaupun di kampong Panjunan sekarang  sudah tidak ada lagi pengrajin gerabah, namun sampai saat ini  terdapat beberapa warga yang masih eksis mencari nafkah sebagai pedagang gerabah. Waktu itu gerabah  merupakan barang pecah belah sangat laku keras dan diminati masyarakat.
Selain membuat gerabah, Sunan Panjunan dan pengikutnya mendirikan sebuah masjid  pada tahun 1480. Namanya  Masjid Merah Panjunan terletak di sebuah sudut jalan di Kampung Panjunan. Masjid Panjunan semula bernama mushala Al-Athya namun karena pagarnya yang terbuat dari bata merah menjadikan masjid ini lebih terkenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan.
Awalnya masjid ini merupakan tajug atau Mushola sederhana. Karena lingkungan tersebut adalah tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku bangsa, Pangeran Panjunan berinisiatif membangun Mushola tersebut menjadi masjid dengan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu – Budha. Bangunan lama mushala itu berukuran 40 meter persegi saja,
Arsitektur Masjid Panjunan merupakan perpaduan budaya Hindu, Cina, dan Islam. Barangkali ini adalah sebuah pendekatan kultural yang digunakan dalam penyebaran Agama Islam pada masa itu. Tujuannya agar tidak menyinggung masyarakat beragama lain. Hal tersebut merupakan strategi untuk menyiarkan islam ditanah yang penduduknya masih beragama Hindu Galuh.

Rajaban
Beberapa tahun kemudian  Sunan  Panjunan dan adiknya, Pangeran Kejaksan, serta pengikutnya sekitar 60 orang menuju Giri Toba. Sebelum memasuki Giri Toba  terlebih dahulu memantau daerah disekitarnya dan memerintahkan pasukannya untuk membuat tempat peristirahatan. Tempat peristirahatan ini kemudian kini  dikenal dengan nama Plagon.
Didaerah ini,   Sunan Panjunan  membuat alat-alat pertanian seperti perkakas golok, gergaji, parang, cangkul, bajlong, bodem, linggis, serta perkakas lainnya. Kemudian  mendirikan tempat pandai besi. Tempat Pandai Besi ini kemudian diberi nama Pande Domas yang berlokasi disebelah barat jembatan gantung yang melintas menuju daerah Wanantara.
Sebagai kenang-kenangan atas keberadaan mereka ketika bermukim, Sunan  Panjunan menanam tujuh buah pohon beringin di Pande Domas. ketujuh beringin itu oleh masyarakat babakan dikenal dengan nama Beringin Pitu.
Sunan Panjunan hingga akhir hayatnya meninggal 27 Rajab di Plagon. Kemudian  keluarga dan masyarakat mengadakan haul setiap bulan Rajab. Kemudian menjadi nama terkenal dengan nama Peringatan  Rajaban.  Menurut Pak Bi’in, panggilan akrab Pak Thabi’in, tahun 80-an acara haul banyak dikunjungi anak turun Sunan Panjunan. Namun, sekarang banyak masyarakat umum yang ikut merayakan. Para peziarah  itu tak hanya ingin mengenang jejak sejarah seorang kekasih Allah tetapi juga memohon keberkahan hidup kepada Allah. HUSNU MUFID 

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat