Kamis, 03 November 2016

Syekh Wasil Kediri






Kisah Syekh Wasil berdakwah di Wilayah Kerajaan Kediri

Membangun Masjid  Dalam Waktu Semalam
Syekh Wasil merupakan wali yang datang sebelum Walisongo di Jawa. Ia datang saat  Prabu Sri Aji Joyoboyo berkuasa di kerajaan Kediri. Juga  merupakan tokoh wali yang cukup   melegenda dan diakui oleh khalayak  khsusunya di Kediri. Ada kisah unik saat mendirikan masjid. Seperti apakah kisahnya. Berikut ini.

Syekh wasil  punya nama lain  Sulaiman  Al- Wasil Syamsudin, nama  Al- Wasil. Miliki arti  pengajar  atau guru. Beliau adalah pembawa ajaran agama Islam di kerajaan Kediri, Jatim  sekitar abad  12 Masehi. Nama Al-Wasil, terdapat  pada epigraf  di makamnya. Adapun  nama Syam Sudin, tercantum pada sumber tertulis  dan itu terdapat di  museum yang berpusat di Jakarta. Makam Syekh Wasil, di Sentono  Gedong, Kediri, Jatim.
Masa hidup Syekh Wasil  sejaman dengan  Raja Kediri waktu itu, Sriaji Jayabaya merupakan  wali yang datang ke Jawa dari negeri Persia. Kiprah Syekh Wasil yang terangkum dalam sejarah disebut pernah bertemu dengan Raja Kediri Sriaji Jayabaya, kedua tokoh linuwih ini sama-sama membahas kitab  Musyarar
Keduanya  membicarakan  kitab Musyarar dan isi dari pembicaraan merujuk pada isi kitab tersebut adalah, tentang ramalan  berbagai peristiwa-peristiwa  yang akan terjadi dimasa mendatang. Sejarah mencatata bahwa pembahasan kitab tersebut, terjadi sekitar abad XI.
Syekh Wasil  datang ke tanah Jawa  kemudian bersama para  wali  bau membahu  mendirikan Masjid Agung  di Sentono Gedong.  Keberadaan masjid dikala itu, selain untuk sholat berjamaah, tujuan dari pembangunan rumah Allah tersebut tak lain sebagai tempat  bertemu dan berkumpulnya  para Aulia manakala beliau datang ke Kediri. Masjid tersebut, dibangun hanya dalam waktu semalam.
Pembangunan pun dimulai dan dipandegani oleh  Syekh Wasil. Temaram sinar bulan, menjadi satu-satunya pendar sinar di area itu. Sedangkan puluhan oncor (lampu terbuat dari bambu yang diberi sumbu dan minyak, Red) sengaja dipasang disejumlah sudut pelataran untuk menambah penerangan. Tak satu pun orang yang berbicara saat itu.
Mereka seakan larut dalam pekerjaan masing-masing. Ada yang mengangkut batu, membawa pasir dan menimba air dengan piranti seadanya. Syekh Wasil pun tak kalah sibuknya. Setiap  jengkal tanah diawasi dengan seksama,khawatir ada yang kelewatan yang berimbas pondasi tidak rata sehingga nantinya akan mempengaruhi kwalitas bangunan.
Tapi apa yang terjadi pada malam itu. Sungguh membuat para pekerja termasuk Syekh Wasil benar-benar terkesima. Lampu oncor masih menyala, pendar sinar rembulan pun masih sanggup menyinari seisi bumi, isyaratkan kalau masih jauh dari beduk subuh,”ungkap Mujiono. MJ Cendekiawan Muslim dan Budayawan kota Kediri. 
Namun dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara yang sangat mengejutkan,  dhug,...., dhug,...., dhug,...., berulang kali. Kawasan Sentono Gedong yang kala itu masih sedikit rumah dan lebih banyak pepohonan hutan yang tumbuh, membuat suara itu sangat kencang terdengar lantaran terbawa oleh laju angin malam. 
Para pekerja pun saling berpadangan satu sama lain dengan piranti tukang yang masih dibawanya. Raut muka merera tersirat rasa kebingungan yang teramat sangat, tak mengerti apa yang mesti dilakukan. Sebagian mendongak ke atas memandangi sinar rembulan, dan tak sedikit yang memandangi lampu oncor. Tapi suara dhug,...., dhug,... dhug,....,  itu makin lama makin nyaring terdengar.
Reaksi Syekh Wasil saat itu tak kalah kagetnya. Keringat sebesar biji jagung membasi sekujur tubuhnya, wajahnya memerah isyaratkan rasa lelah yang teramat sangat berpadu dengan amarah yang sengaja disimpannya dalam hati. Suara itu makin lama makin nyaring terdengar, dan kali ini diikuti dengan suara kokokan ayam jantan milik penduduk dari kandangnya. Kluruk ayam jago yang diawali dengan kepakan sayapnya itu pun juga terus terdengar, isyaratkan hari sudah beranjak pagi.
Wajah putus asa terpancar dari raut muka Syekh Wasil. Dengan memendam amarah tinggi, semua orang yang membantunya membangun masid disuruhnya berhenti. Pekerja pun tak ada pilihan, selain menuruti perintahnya. Piranti seadanya yang sebelumnya dipakai untuk membuat pondasi, langsung ditinggalkan. Area masjid masih belum terwujud dengan sempurna. Yang nampak hanyalah pondasinya.

Sumur Tua
Pembangunan  tempat peribadatan yang belum selesai ini, ada versi lain yang menyebut karena sabda dari Syekh Wasil. Syekh Wasil mengutus salah seoang santrinya untuk pergi ke kampung terdekat,guna memastikan asal suara. Sejumlah santri pun berbegas berangkat.
Syekh Wasil dan yang lain, harap-harap cemas dengan kabar yang akan dibawa oleh santri yang diutusnya. Lama menunggu, hamparan lahan yang sedianya akan dibangun masjid dipandanginya dengan seksama. Maketnya terlihat jelas, mana tempat imam atau mimbar, kemudian pintu-pintu tempat masuknya para jemah dan juga dan sumur  yang nantinya untuk berwudu. Di lngit rembulan masih terlihat gagah dengan pendar sinarnya.
Syekh Wasil  lalu berjalan ke arah sumur. Dilihatnya air sumur itu dari tanah tempatnya berdiri. Sinar rembulan memantulkan cahaya dari air sumur, sehingga terlihat bayangan dari mulai leher sampai kepala wajah orang linuwih ini. Meski samar, tapi si pemilik wajah seperti tak kuasa menyembunyikan rasa amarah dan keputus asaan dari dalam hatinya.
Setelah menunggu utusan yang diperintahkan untuk mengecek muasal suara, tak lama kemudian utusan itu datang dengan tergopoh-gopoh. Keringat sebiji jagung membasi sekujur tubuhnya. Si utusan ini langsung menemui Syekh Wasil, guna menceriterakan apa yang telah terjadi, setelah dirinya pergi ke kampung terdekat, guna mencari asal-usul suara hingga memunculkan suara gaduh, satoiwen (hewan peliharaan, Red) seperti ayam jago sampai berkokok bersaut-sautan, isyaratkan hari telah beranjak pagi.
Syekh Wasil mendengarkan dengan seksama setiap deret kata yang keluar dari mulut utusannnya itu. Sekarang dirinya paham, bahwa suara dhug,...., dhug,..., dhug,....,  itu ternyata beraal dari para perawan kampung yang tengah membersihkan tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Tempat nasi itu dipukul-pukulkan satu sama sama lain hingga memunculkan suara yang seperti itu. Tujunnya, agar sisa nasi bisa rontok dn tempat nasi itu menjadi bersih dan bisa dipakai kembali untuk tempat nasi yang malam itu nasinya sedang dimasak.  
Mendengar cerita utusannya,  Syekh Wasil terkejut sekaligus marah. Tapi, amarah itu tak sampai pecah, beliau masih mampu meredam emosi hatinya, sederet doa keluar dari mulutnya. Melihat reaksi Syekh Wasil yang seperti itu, si utusan ini balik terkejut. Awalnya, dirinya akan menduga kalau beliau akan marah besar. Tapi yang terjadi, justru sebaliknya. Diam dan hanya mengangguk-nggukan kepalanya.
Peristiwa tersebut menjadikan masjid yang dibangun dengan susah payah tidak mencapai hasil yang maksimal. Pembuatan masjid tidak mencapai kesempurnaan. Kini masjid tersebut hanya  terlihat bentuk pengimaman dan pondasi masjid. HUSNU MUFID




0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat